Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

MENGENDALIKAN SYAHWAT

mengendalikan syahwat

MENGENDALIKAN SYAHWAT – Allah Ta’ala menciptakan manusia dengan disertai syahwat. Adanya syahwat pada diri manusia tidak sia-sia, akan tetapi terdapat faidah dan manfaat didalamnya. Bahkan jika manusia tidak memiliki syahwat (selera) makan, misalnya, kemudian dia tidak makan, sehingga akan menyebabkan dirinya binasa. Demikian juga jika manusia tidak memiliki syahwat terhadap lawan jenis, maka keturunan akan menjadi terputus.

Oleh karena itu keberadaan syahwat pada manusia tidak tercela. Celaan itu tertuju apabila manusia melewati batas dalam memenuhi syahwat. Karena ada beberapa manusia yang tidak memahami hal ini, mengira bahwa syahwat pada manusia merupakan hal yang tercela, sehingga mereka berusaha meninggalkan semua yang sebenarnya diinginkan oleh jiwanya. Bahkan diantara mereka ada yang berkata: “Aku memiliki istri selama sekian tahun, aku menginginkannya, namun aku tidak pernah menyentuhnya!” Hal seperti ini sesungguhnya merupakan perbuatan zhalim terhadap jiwa, karena menghilangkan haknya. Padahal jiwa memiliki hak yang harus dipenuhi, sebagaimana sabda Nabi kepada sahabat beliau yang bernama ‘Usamah bin Mazh’un’ :

فإني أنام وأصلي وأصوم وأفطر وأنكح النساء فاتق الله يا عثمان فإن لأهلك عليك حقا وإن لضيفك عليك حقا مإن لنفسك عليك حقا فصم وأفطر وصل ونم

Artinya: Sesungguhnya aku biasa tidur dan shalat, berpuasa dan berbuka, dan aku menikahi wanita-wanita. Maka bertakwalah kepada Allah, Wahai Utsman, karena sesungguhnya  menjadi kewajibanmu. Maka berpuasalah, berbukalah, shalatlah (pada sebagian waktu malam) dan tidurlah (pada sebagian waktu malam) (HR. Abu Dawud dalam sunannya)

Anggapan bahwa syahwat pada manusia merupakan perkara yang tercela juga merupakan penyimpangan dari keyakinan terhadap sesuatu yang halal, dan menyelisihi sunnah Nabi. Karena beliau biasa meminum madu dan minuman manis, dan itu merupakan kesukaan Beliau. Adapun sebagian manusia yang meninggalkan perkara-perkara yang mereka sukai itu dengan alasan zuhud terhadap dunia. Tetapi kezuhudan mereka itu diiringi dengan kebodohan terhadap agama shingga zuhud mereka itu tidak bernilai kebaikan. Karena mengharamkan sesuatu yang dihalalkan agama.

Mengendalikan Syahwat Perut

Walaupun memenuhi kebutuhan hidup yang disukai itu diperbolehkan, namun bukan berarti seorang mukmin dibolehkan selalu menuruti hawa nafsunya, bahkan dia harus mengendalikannya. Diantaranya, yaitu mengendalikan syahwat perut. Karena syahwat perut ini termasuk salah satu yang membinasakan manusia. Syahwat ini pula menjadi penyabab Nabi Adam dikeluarkan dari surga yang kekal. Dan dari syahwat perut ini kemudian timbul syahwat kemaluan dan rakus terhadap harta benda. Rasulullah shallalohu’alaihi Wasallam  telah menghawatirkan fitnah (kesesatan, ujian) syahwat dan fitnah syubhat terhadap umatnya.

Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إن مما أخشى عليكم شهوات الغي في بطونكم وفروجكم ومضلات الفتن

Artinya: Sesungguhnya diantara yang aku takutkan atas kalian, ialah syahwat mengikuti hawa nafsu pada perut dan kemaluan kalian, serta fitnah-fitnah yang menyesatkan. (HR. Ahmad dalam musnadnya)

Syahwat mengikuti nafsu perut dan kemluan merupakan fitnah syahwat, sedangkan fitnah-fitnah yang menyesatkan adalah fitnah syubhat. Oleh karena itu seorang mukmin mempunyai cara makan yang berbeda dengan orang-orang kafir. dalam hadits yang shahih diriwayatkan:

عن نافع قال كان ابن عمر لا يأكل حتى يؤتى بمسكين يأكل معه فأدخلت رجلا يأكل معه فأكل كثيرا فقال يا نافع لا تدخل هذا علي سمعت النبي يقول المؤمن يأكل في معى واحد والكافر يأكل في سبعة أمعاء

Artinya: Dari Nafi’, ia berkata: “Kebiasaan Ibnu ‘Umar, tidak makan sehingga didatangkan seorang miskin yang akan makan bersamanya,” maka aku masukkan seorang laki-laki yang akan makan bersamanya. Laki-laki itu makan banyak, maka Ibnu ‘Umar berkata: “Wahai Nafi’ jangan lagi engkau masukkan orang ini kepadaku. Aku telah mendengar Nabi bersabda, ‘Seorang mukmin makan memenuhi satu usus, sedangkan orang kafir makan memenuhi tujuh usus.” (HR. Bukhari dalam shahihnya, no.5391)

Para ulama berbeda pendapat tentang makna sabda Nabi ini. Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud hadits ini ialah bukan zahirnya. Sedangkan sebagian lain mengatakan bahwa hadits ini benar sesuai dengan zahirnya. Kemudia para ulama berbeda pendapat tentang maknanya. Adapun makna yang tepat ialah sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar bahwa hadits ini sesuai dengan zahirnya, yaitu menunjukkan kebiasaan/keadaan dominan. Maksud yang dikehendaki dengan bilangan tujuh, yaitu sebagai penekanan untuk menunjukkan banyak. Sehingga makna hadits ini, bahwa keadaan orang mukmin ialah sedikit makan, karena mereka sibuk melakukan sarana-sarana ibadah, dan mengetahui tujuan makan menurut syariat, ialah untuk menghilangkan lapar, melangsungkan kehidupan, dan menguatkan ibadah. Dan karena seorang mukmin takut terhadap hisab yang disebabkan karena melampaui batas dalam hal makanan. Sedangkan orang kafir sebaliknya karena tidak memahami maksud syariat bahkan ia mengikuti hawa nafsunya, tanpa ada rasa takut terhadap akibat-akibat keharamannya. Maka jadilah maknanya seorang mukmin sepetujuh, jika dibandingkan dengan makanya orang kafir. Namun hali ini tidak berarti berlaku umum untuk semua orang mukmin ataupun kafir.

Kesimpulannya, diantara keadaan orang mukmin, ialah semangat dalam berbuat zuhud dan merasa cukup dengan perbekalan. Dan ini berbeda dengan orang kafir. Sehingga jika seorang mukmin atau seorang kair tidak berada pada sifat ini, maka bukan berarti membatalkan hadits ini. Adapun tidak disukainya banyak makan, juga disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai berikut:

ما ملأ ادمي وعاء شرا من بطن بحسب ابن آدم أكلات يقمن صلبه فإن كان لا محالة فثلث لطعامه فثلث لشرابه وثلث لنفسه

Artinya: Tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukup bagi anak Adam beberapa suap yang menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak ada pilihan maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk nafasnya. (Shahih, HR. At-Tirmidzi dalam sunannya)

Penjelasan Nabi ini ialah puncak kebaikan. Sedangkan keadilan dalam makan, yaitu menyudahi makan ketika masih ada keinginan untuk menambah. Adapun menyedikitkan makan secara terus menerus, akan menyebabkan lemahnya kekuatan. Banyak orang yang menyedikitkan makan, sehingga mereka juga melalaikan terhadap kewajiban-kewajiban agama karena faktor kebodohan. Mereka menyangka bahwa hal tersebut merupakan keutamaan. Padahal anggapan itu tidak benar. Adapun maksud para ulama yang menjelaskan tentang keutamaan lapar, ialah menunjukkan keadaan sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi di atas. Dan para ulama, sama sekali tidak membolehkan menyimpang terhadap syariat.

Mengendalikan Syahwat Kemaluan

Hendaklah kita mengetahui, syahwat terhadap lawan jenis yang diciptakan pada diri manusia memiliki hikmah dan faidah. Antara lain ialah untuk memelihara keberlangsungan hidup manusia dimuka bumi sampai waktu yang Allah kehendaki. Demikian juga agar manusia merasakan kenikmatan, yang dengan kepemilikan syahwat itu, ia dapat membandingkan kenikmatan dunia dengan kenikmatan kehidupan di akhirat. Karena orang yang belum pernah merasakan suatu jenis kenikmatan maka ia tidak akan merindukannya. Tetapi jika syahwat terhadap lawan jenis tidak dikendalikan dengan baik, akan dapat memunculkan banyak keburukan dan musibah. Karena sesungguhnya fitnah (ujian) terbesar bagi laki-laki adalah wanita, sebagaimana sabda Nabi yang artinya:

“Tidaklah aku meninggalkan fitnah, setelah aku (wafat), yang lebih berbahaya atas laki-laki dari pada wanita.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari hadits ini dengan perkataan: “Hadits ini menunjukkan bahwa fitnah yang disebabkan wanita merupakan fitnah terbesar dari fitnah lainnya. Hal itu dikuatkan firman Allah: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita…” (QS. Ali-Imran:14) yang Allah menjadikan wanita termasuk hubbu syahawat (kecintaan perkara-perkara yang diingini), bahkan Dia menyebutkannya pertama kali sebelum jenis-jenis yang lainnya, sebagai isyarat bahwa wanita-wanita merupakan hal utama dalam masalah itu.” (FathulBari)

Sesungguhnya perkara yang mudah untuk menjaga diri dari fitnah wanita sejak permulaannya, ialah sebagaimana telah diajarkan Allah Ta’ala yaitu dengan menahan pandangan. Allah Subahanahu Wata’ala berfirman:

قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم  إن الله خبير بما يصنعون

Artinya: Katakanlah kepada orang-orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS. An-Nur: 30)

Dalam hal ini, Allah Ta’ala juga tidak mencukupkan hanya dengan memerintahkan kepada laki-laki beriman saja agar menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, tetapi Allah juga mengirimkan perintah-Nya kepada wanita-wanita:

وقل للمؤمنت يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن

Artinya: Katakanlah kepada wanita-wanita beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.  (QS. An-Nur: 31)

Karena beratnya menjaga dan mengendalikan fitnah syahwat ini, maka Nabi Shallahu’alaihi Wasallam memberikan jaminan surga terhadap orang yang dapat mengendalikannya dengan baik.  Nabi Shallahualaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa menjamin untuknya apa yang ada diantara dua rahangnya dan apa yang ada diantara dua kakinya niscaya aku menjamin surga baginya. (HR. Al-Bukhori)

Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan: makna “menjamin (untuk Nabi)”, ialah memenuhi janji dengan meninggalkan kemaksiatan. Beliau menyebutkan dengan menjamin sedangkan yang beliau maksudkan kewajibannya. Sehigga maknanya, barangsiapa yang menunaikan kewajiban pada lidahnya yaitu berbicara sesuai kewajbannya, atau diam dari apa yang tidak bermanfaat baginya; dan menunaikan kewajiban pada kemaluannya yaitu meletakkan pada yang halal dan menahannya dari yang haram.

Sedangkan yang dimaksud dengan “apa yang ada diantara dua rahangnya”, yaitu lidah dan apa yang dilakukannya, yaitu perkataannya. Sedangkan “apa yang ada diantara dua kakinya” ialah kemaluannya. Sesungguhnya pengertian hadits ini berbicara dengan lidah merupakan hal utama dalam meraih semua yang dicari. Jika seorang tidak berbicara kecuali didalam kebaikan, maka dia selamat. Ibnu Baththal berkata, hadits ini menunjukkan bahwa bencana terbesar atas seseorang didunia adalah lidah dan kemaluannya. Sehingga barang siapa yag menjaga keburukan keduanya, dia telah menjaga dirinya dari keburukan yang terbesar.

Allahu Alam bii Shawaab.

 

REFERENSI:

DIRINGKAS DARI : Majalah As-Sunnah edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M

DIRINGKAS OLEH : Ayesa Artika Aprilia (Pengajar Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)

 

BACA JUGA:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.