HUKUMAN QADZAF (TUDUHAN ZINA TANPA BUKTI)
Definisi Qadzaf
Menurut bahasa, al-qadzaf adalah ar-ramy (melempar) secara mutlak. Di antaranya, ialah firman Allah
سبحا نه وتعالى :
أن اقذفيه في التابوت فاقذفيه في اليم
Artinya:
Yaitu: ‘Letakkanlah ia (musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil). “(QS.Thaha: 39)
Ada beragam pendapat dari para ahli fiqih mengenai definisi qadzaf yang mengakibatkan hukuman, namun kesemuanya bermiripan. Ada pun definisi yang komprehensif, bisa dinyatakan: Qadzaf adalah menuduh berzina, atau menyangkal keturunan, yang mengharuskan hukuman pada keduanya.
Hukum Syar’i Menuduh Zina
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama umat ini bahwa menuduh zina adalah diharamkan secara pasti, bahkan termasuk dosa-dosa besar yang membinasakan:
- Firman Allah سبحانه وتعالى :
والذين يرمون المحصنت ثم لم يأتوا بأربعة شهدآء فاجلدو هم ثمنين جلدة ولا تقبلواْ لهم
شهدة أبدا وألئك هم الفسقون
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. “(QS. An-Nur: 4)
- Firman Allah سبحانه وتعالى :
إن الذين يرمون المحصنت الغفلت المؤمنت لعنواْ في الدنيا والأخرة و لهم عذاب عظيم
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar. “ (QS. An-Nur: 23)
- Diriwayatkan dari Abu Hurairah رضي الله عنه , Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
اجتنبوا السبع الموبقات
Artinya:
“Jauhilah tujuh perbuatan yang akan membinasakan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja itu?” Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:
الشرك بالله, والسحر, وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق, وأكل الربا, وأكل مال البتيم,
والتولي يوم الزحف, وقدف المحصنات الغافلات المؤمنات
Artinya:
“Mempersekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan cara yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri sewaktu bertempur, dan menuduh berzina kepada kaum wanita beriman yang menjaga kehormatan diri lagi lengah (tidak terlintas di benak mereka untuk melakukan perbuatan keji itu). (Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (89), an-Nasa’i (3671), Abu Daud (2874))
Tuduhan zina Berdasarkan Pihak yang Dituduh, Ada Dua Macam:
- Tuduhan zina yang diucapkan suami terhadap istrinya. Ini jenis tuduhan zina yang bersifat khusus, dan pembahasannya telah dipaparkan dalam bab Li’an, dan itu telah dikemukakan secara terperinci dalam Kitab Talak.
- Tuduhan zina yang tidak diucapkan dari antara suami istri. Inilah yang menjadi topik pembahasan pada bab ini.
Syarat-syarat Hukuman Tuduhan Zina
Dari pendefinisian tentang qadzaf di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa rukunnya ada tiga, yaitu: penuduh, tertuduh, dan tuduhan (redaksi tuduhan). Agar hukuman menuduh zina wajib diterapkan atas penuduh, maka harus terpenuhi syarat-syarat yang terkait dengan semua rukun ini.
Pertama, Syarat-syarat yang Berkaitan dengan Penuduh
Untuk diberlakukannya hukuman terhadap penuduh, disyaratkan:
- Mukallaf, yaitu baligh dan berakal sehat. Hukuman tidak berlaku terhadap anak kecil dan orang gila, berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتى يستيقظ, وعن الصبي حتى يحتلم, وعن المجنون
حتى يفيق
Hukum tidak dapat diberlakukan atas tiga golongan, yaitu: orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia bermimpi basah (baligh) dan orang gila sampai ia sadar. ( Shahih, takhrijnya baru dikemukakan).
Namun, anak kecil dan orang gila bisa dikenai sanksi ta’zir sesuai dengan kondisi mereka.
- Dilakukan atas kehendak sendiri. Hukuman tidak dapat di berlakukan, bila si pelaku melontarkan tuduhannya karena dipaksa, berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
رفع عن أمتي الخظأ والنسيان وما استكر هوا عليه
(pena pencatat amal) diangkat dari umatku karena kesalahan, lupa dan apa yang di paksakan kepada mereka (untuk melakukannya). (HR. Ahmad, dll. Hasan, takhrijnya sudah sering dikemukakan).
Kedua syarat ini disepakati oleh semua ahli fiqih, dan itu berlaku pada semua pelaku, baik laki-laki maupun perempuan, orang merdeka maupun hamba sahaya. Muslim maupun non-Muslim.
Ada syarat-syarat lainnya yang diperselisihkan oleh para ahli fiqih untuk dikategorikan sebagai syarat untuk menerapkan hukuman terhadap si penuduh. Di antaranya:
- Mengetahui keharaman perbuatan itu. Ini syarat yang dikemukakan oleh ulama madzhab Syafi’iyah, dan kecenderungan ulama madzhab Hanafiyah. Maka, hukuman tidak berlaku bagi orang yang tidak mengetahui keharaman perbuatan ini. Misalnya, karena baru memeluk Islam, atau karena jauh dari para ulama.
Penulis berkata: pokok-pokok syariat mengakui syarat ini, dan pembahasan serupa telah dikemukakan pada bab Hukuman Zina.
- Tidak diizinkan oleh tertuduh. Ini syarat menurut ulama madzhab Syafi’iyah. Maka, hukuman tidak dapat diterapkan, bila pihak tertuduh mengizinkannya, seperti di nukil oleh ar-Rafi’i dari banyak ulama.
- Penuduh bukan leluhur dari orang yang tertuduh (ayah,kakek dan seterusnya). Bila seorang ayah menuduh zina terhadap anaknya sendiri, maka hukuman tidak diberlakukan terhadapnya, menurut jumhur: Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad dan para sahabatnya, serta Ishaq. Ini juga merupakan madzhab ulama Malikiyah. Mereka berargumen dengan dalil-dalil sebagai berikiut:
Firman Allah سبحا نه وتعالى :
وبالولدين إحسنا
Artinya:
“Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra: 23)
Firman Allah سبحا نه وتعالى :
فلا تقل لهمآ أف ولا تنهرهما
Artinya:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka.” (QS. Al-Isra: 23)
Menurut mereka, tidaklah berbakti, tidak berbuat baik, dan tidak pula bersikap sopan, bila seorang anak “memukul ayahnya” akibat tuduhan zina yang dilontarkan sang ayah terhadapnya.
Kalangan yang menyelisihi pandangan ini menjawab bahwa pandangan ini keliru, karena berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua adalah dengan memberlakukan hukuman yang telah ditentukan terhadap keduanya. Karena hukuman itu adalah ketetapan Allah سبحا نه وتعالى yang jika tidak ada ketetapan itu, tentu tidak diwajibkan berbakti kepada kedua orang tua, sehingga gugurlah keterkaitan mereka dengan ayah tadi.
Pengguguran hukuman tuduhan zina terhadap anak diqiyaskan dengan pengguguran qishash (hukuman mati) karena membunuh anak. Sebab orang tua tidak boleh dihukum mati karena membunuh anaknya sendiri. Hukuman kejahatannya terhadap jiwa anaknya saja bisa dihapuskan, terlebih tindakannya mencemari kehormatan anaknya tentu lebih bisa dihapuskan. Demikian pula pengguguran hukuman pencurian darinya, bila ia mencuri harta anaknya.
- Penuduh bisa berbicara. Ini syarat, menurut Hanafiyah. Orang yang bisu tidak bisa dikenai hukuman ini.
- Penuduh bermukim di negeri yang adil (aman). Ini syarat, menurut ulama Hanafiyah, dan tidak berlaku bagi orang yang bermukim di wilayah perang (Dar al-Harb). Mengenai masalah ini telah dipaparkan di awal kitab Hudud. Tegasnya bahwa hukuman tidak berlakukan di wilayah perang. Namun, tidak digugurkan secara keseluruhan, tapi hanya ditunda hingga kembali ke negeri Islam.
- Mengikuti hukum-hukum Islam. Ini syarat, menurut ulama Syafi’iyah. Hukuman tidak berlaku terhadap orang kafir harbi, karena ia tidak mengikuti hukum-hukum Islam.
Kedua, syarat-syarat yang Berkaitan dengan Tertuduh ( Tertuduh Tersebut Muhshan)
Orang yang tertuduh yakni karena tuduhan yang diucapkan kepadanya menyebabkan diharuskannya hukuman terhadap si penuduh, baik laki-laki maupun perempuan disyaratkan berstatus muhshan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai syarat-syarat orang yang tertuduh, karena perbedaan pandangan mereka mengenai arti ihshan dalam firman-Nya:
إن الذين يرمون المحصنت الغفلت المؤمنت لعنواْ في الدنيا و الأخرة ولهم عذاب عظيم
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka terkena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar.” (QS. An-Nur:23)
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ihshan pada kasus tuduhan zina artinya adalah baligh, berakal sehat, merdeka, Islam dan menjaga diri dari zina. Ini pendapat jumhur ahli fiqih. Mereka menetapkan kelima hal ini sebagai syarat pada orang yang dituduh berzina.
Di antara mereka ada juga yang mengartikan ihshan dengan al-man’u (mencegah), sebagaimana disinyalir dalam bahasa Arab, sehingga tidak menjadi baligh, berakal dan merdeka sebagai syarat ihshan. Ini pendapat Ibnu Hazm . ia mengatakan, “Karena anak kecil, orang gila dan budak adalah orang-orang yang terjaga, karena Allah mencegah mereka dan keluarga mereka mencegah dari perbuatan zina. Demikian juga karena mereka memelihara diri dari perbuatan zina.
Penulis berkata: Dari sini jelas bahwa syarat-syarat tertuduh (syarat-syarat ihshan) ada yang disepakati para ulama dan ada juga yang diperselisihkan.
- Syarat-syarat yang Disepakati:
- Memelihara diri dari perbuatan zina. Orang yang dituduh zina itu disyaratkan sebagai orang yang memelihara diri dari perbuatan keji yang dituduhkan kepadanya, baik ia memelihara kesucian diri dari perbuatan selainnya maupun tidak.
- Syarat-syarat yang Diperselisihkan:
- Islam. Jumhur ulama berpendapat, disyaratkan Islam pada orang yang tertuduh. Menurut mereka, tidak ada hukuman terhadap orang yang melontarkan tuduhan zina terhadap orang kafir. Mereka berdalil dengan firman Allah سبحا نه وتعالى :
إن الذين يرمؤن المحصنت الغفلت المؤمنت
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina) .” (QS. An-Nur:23)
Juga berdalil dengan riwayat marfu’ dari Ibnu Umar رضي الله عنهما :
من أشرك بالله فليس بمحصن
Artinya;
“Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka ia bukanlah orang muhshan”. (Dikeluarkan oleh ad-Daruquthni (3/147), ia membenarkan status mauquf-nya).
Sementara Ibnu Hazm berpendapat tentang wajibnya diberlakukan hukuman terhadap orang yang menuduh zina terhadap wanita muhshan dari kalaangan Ahli Kitab, bila ia memelihara diri dari perbuatan itu.
SUMBER :
PUSTAKA At-Tazkia, Rabiul Akhir 1429 H / April 2008 M
PENULIS : Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim
Diringkas oleh : Dewi Sartika Ummu Uwais (Pengajar di Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)
Baca juga artikel:
Leave a Reply