Negara Darurat Moral – Puncak keberhasilan seorang Muslim dalam beragama tercermin dalam budi pekerti yang agung, moral yang luhur, dan akhlak yang mulia. Prestasi sebuah negara juga akan meningkat bersama meningkatnya moralitas bangsanya. Rasulullah telah berprestasi sempurna memberi keteladanan kepada umat dengan akhlaknya yang mulia dan budi pekertinya yang agung dalam beragama.
BILA BANGSA TAK BERMORAL
Allâh memberikan pujian kepada Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam, dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam/68: 4)
Sebagai umat yang mengaku mencintai Rasûlullah, maka seyogyanya kita mengikuti apa yang Beliau contohkan kepada kita, baik dalam beribadah kepada Allâh maupun dalam berakhlak dan bermuamalah dengan sesama makhluk. Tidak seperti kondisi umat manusia saat ini yang sungguh sangat memprihatinkan. Budi pekerti tidak lagi diperhatikan, moral tidak lagi terpelihara dan akhlak mulia tidak menjadi ukuran sehingga eksistensi kehidupan merosot kepada titik yang paling nadir. Akibatnya, budaya kekerasan, kedzaliman, kecurangan, penindasan dan berbagai perilaku buruk lainnya melanda masyarakat di dunia ini. Tegur sapa, sopan antun, simpati dan empati sulit ditemukan.
Yang ada, memanfaatkan kesempitan, kesusahaan dan kesulitan orang lain menjadi kesempatan emas bagi sebagian orang untuk meraup keuntungan duniawi. Sehingga benar apa yang dinyatakan oleh Ahmad Syauqi:
إِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاقُ مَا بَقِيَتْ فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلاقُهُمْ ذَهَبُوا
“Sesungguhnya eksistensi umat-umat itu sangat bergantung pada akhlaknya, Apabila akhlak mereka pudar, maka punahlah eksistensinya”.
Alasannya, akhlak adalah cermin keimanan, pondasi peradaban, pilar tegaknya tatanan masyarakat yang maju, instrumen pergaulan dan modal utama untuk menciptakan keadilan, kedamaian dan keamanan. Lebih dari itu, akhlak sebagai landasan komunikasi sosial dan politik yang melahirkan suasana batin yang harmonis, hubungan yang humanis, interaksi yang toleran dan fleksibel. Bahkan akhlak memiliki peran penting dalam mewujudkan revolusi mental yang damai dan konstruktif serta sebagai mercusuar bangsa untuk mendapat pengakuan dan pujian tulus dari komunitas internasional sehingga hikmah utama diutusnya Rasûlullah adalah membenahi Akhlak/ perilaku manusia:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَتِمَ صَالِحَ (مَكَارِمَ) الْأَخْلَاقِ
Artinya: “Saya diutus dalam rangka menyempurnakan kesalihan (kemuliaan akhlak).” (Shahih, HR. Ahmad bin Hambal dalam musnadnya)
Bukankah nama umat dan bangsa terdahulu harum namanya sehingga tetap dikenang oleh sejarah karena akhlak mereka yang luhur? Imam Ibnu Khaldun menuturkan tentang faidah belajar sejarah bahwa sesungguhnya sejarah merupakan mazhab keilmuan yang bergengsi dan faidahnya sangat banyak. Dengan mengenang sejarah kita mampu mengenali akhlak umat-umat terdahulu, jejak hidup para Nabı, dan bentuk pemerintahan dan tata politik raja-raja, dengan tujuan agar kita bisa mengikuti perikehidupan dan mengambil faidah dari mereka untuk kepentingan dunia dan agama.
NEGERI DARURAT MORAL
Krisis moral menerpa negeri kita tercinta. Kondisi anak negeri bejat moralnya, rusak akhlaknya dan hilang tata kramanya. Pergaulan bebas sudah menjadi tradisi, pacaran menjadi budaya bahkan bila tidak pacaran dianggap tidak normal dan membuat sebagian orang tua sedih anaknya tidak mempunyai pacar. Padahal pacaran sering menimbulkan kejahatan seperti: Mencuri, memperkosa, membunuh, aborsi dan kejahatan lainnya. Perzinaan tidak dianggap dosa besar, bahkan dianggap biasa bukan dosa. Narkoba tidak lagi dianggap barang haram. Kedurhakaan merajalela, ada anak tega membunuh orang tuanya dan orang tua tega membunuh anaknya. Kekacauan dan kekerasan terjadi dimana-mana sehingga kondisi mereka bagaikan sampah yang tidak berharga dan bernilai di mata bangsa lain, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasûlullah dalam sebuah hadits:
يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمُ الْأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ أو مِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ – يَوْمَئِذٍ ؟ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ . كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ ؟ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ – قالوا يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا – وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Artinya: Hampir-hampir umat lain bersatu memperebutkan kalian seperti orang berebut hidangan dari piring Mereka bertanya, “Wahai Rasûlullâh apakah lantaran jumlah kita sedikit? Nabi menjawab, “Bahkan kalian ketika itu banyak, tetapi keadaan kamu laksana buih seperti buih banjir, dan Allah akan mencabut dari hati musuh kalian perasaan takut kepada kalian. Lalu Allah akan menimpakan kepada kalian penyakit Wahn. Mereka bertanya: Wahai Rasûlullah apakah Wahn itu. Beliau menjawab, “Cinta dunia dan benci mati “ (Muttafaqun Alaih)
Kezhaliman dari skala terkecil hingga skala terbesar baik dilakukan oleh rakyat atau penguasa menjadi tontonan sehari-hari. Berbohong, menipu, dan berbuat curang sudah tidak asing lagi. Pembegalan dan perampokan menjadi menu berita harian di media massa, baik elektronik maupun cetak. Seolah tidak ada tempat lagi di Negeri ini kecuali sudah penuh dengan berbagai kejahatan. Dalam bersosial, berpolitik dan berbisnis pun tidak lepas dari manipulasi, berbohong, menipu dan curang sehingga mereka ramai membalas kebaikan Allah dengan kufur nikmat bahkan kufur syari’at Padahal Allah sudah mengingatkan dalam firman-Nya:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ ءامِنَةً مُّطْمَينَةً يَأْنِيهَا رِزْقُهَا رَعَدًا مِن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْف بما كَانُوا يَصْنَعُون
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. (QS An-Nahl/16: 112)
Lebih mengenaskan lagi kondisi kaum wanita yang terjebak pada lingkaran setan, menjadi sarana perusak dan pemuas budak nafsu bejat, untuk menghinakan atau merendahkan derajat orang-orang yang lemah iman. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَاللَّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا
Artinya: “Dan Allah hendak menerima taubatmu sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenarannya). (QS. An-Nisa’/4.27)
Mereka berusaha memancing kaum wanita agar keluar rumahnya untuk bekerja dalam satu kantor, pabrik, atau wilayah bersama kaum laki-laki. Di antara mereka ada yang menjadi perawat untuk mendampingi dokter laki-laki, pramugari di pesawat terbang, pengajar di sekolah yang ikhtilath, pemain sinetron atau film, penyanyi, penari, penyiar radio atau presenter siaran televisi dengan penampilan yang mengundang fitnah. Dengan demikian, mereka menjadi sumber fitnah bagi kaum laki- laki sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةٌ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
Artinya: “Aku tidak meninggalkan sesudahku, suatu fitnah yang lebihberbahaya bagi pria daripada wanita.” (Muttafaqun Alaih)
Tidak sedikit wanita yang bekerja sebagai budak pemuas hawa nafsu laki-laki. Mereka dipajang di cover-cover majalah dengan tampilan sensual yang memikat. Mereka di iming- iming imbalan uang yang melimpah, fasilitas materi berupa kendaraan atau rumah tinggal yang menggiurkan, sehingga kaum wanita pun banyak yang langsung tergoda dan dengan sekejap terbawa arus fitnah yang menyesatkan. Rasûlullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءَ
Artinya: “Sesungguhnya dunia itu manis lagi elok (namun menipu) dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, maka Dia melihat apa yang kalian perbuat, berhati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita karena fitnah pertama kali yang menimpa bani Israil adalah dari kaum wanita”. (Muttafaqun Alaih)
Akhirnya, banyak wanita yang tidak betah tinggal di rumah dan memilih menjadi wanita karier. Mereka begitu bangga saat berangkat ke kantor dengan gaya seksi dan memfitnah.
Mereka sangat tersanjung saat ada orang yang memujinya sebagai eksekutif muda, wanita modis, artis berbakat, foto model beken, miss world, ratu catwalk, atau selebriti. Pada akhirnya, suami istri terpaksa menyerahkan urusan rumah dan pendidikan anaknya kepada para pembantu sehingga memicu timbulnya berbagai fitnah dan kejahatan di dalam rumah tangga.
Banyak kita saksikan pemandangan aneh berupa maksiat, tabarruj, pamer aurat dan ikhtilath. Hal ini merupakan pelecehan terhadap syari’at Islam karena syariat melarang hal itu sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولى
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.“ (QS. Al-Ahzab/33: 33)
Setiap hamba Allah terutama Muslimah seharusnya memiliki semangat untuk mengamalkan Islam, memelihara kehormatan dan kesucian serta tidak ikut-ikutan meniru budaya yang mendatangkan murka Allah dan Rasul-Nya.
Referensi:
Diringkas oleh: Laila Tazkiyatun M (Santriwati Khidmah Ponpes Darul Qur’an wal Hadits OKU Timur)
Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (02-03)/Thn XIX/Sya’ban-Ramadhan 1436H/Juni-Juli 2015 M/Zainal Abidin bin Syamsuddin, Lc.
BACA JUGA :
Leave a Reply