Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

ADAB-ADAB BERKENDARA DAN BERJALAN

Adab-adab berkendara (WEB)

ADAB-ADAB BERKENDARA DAN BERJALAN

Islam termasuk agama yang sempurna, baik yang berkaitan dengqan keyakinan, ibadah, muamalat, adab dan lainnya, yang mana hal ini merupakan keistimewaan dalam agama islam dibandingkan dengan agama lainnya.

Allah azza wa jalla berfirman:

وَٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْأَزْوَٰجَ كُلَّهَا وَجَعَلَ لَكُم مِّنَ ٱلْفُلْكِ وَٱلْأَنْعَٰمِ مَا تَرْكَبُون

لِتَسْتَوُۥا۟ عَلَىٰ ظُهُورِهِۦ ثُمَّ تَذْكُرُوا۟ نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا ٱسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا۟ سُبْحَٰنَ ٱلَّذِى سَخَّرَ لَنَا

هَٰذَا وَمَا كُنَّا لَهُۥ مُقْرِنِينَ

Artinya: “Dan Dia-lah yang meenciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi, supaya kamu duduk di atas punggunnya kemudian kamu ingat nikmat Rabb- muapabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan,  ‘Mahasuci Dia yang telah menundukkan semua ini untuk kami padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami.’” (QS. Az-Zukhruf: 12-13)

Di Antara Adab-Adab Berkendara Dan Berjalan

  1. Larangan Bersikap Angkuh Ketika Berjalan

Angkuh ketika berjalan termasuk di antara sifat-sifat tercela yang tumbuh dari kesombongan dan ‘ujub terhadap diri sendiri. Dan di antara sifat seorang yang beriman adalah tawadhu’ (rendah hati) dan al- istikanah (tenang), tidak memiliki sifat al-kibr (sombong) dan al-ghathrasah (menonjolkan diri).

Sombong adalah selendang Allah, maka barangsiapa yang merampasnya niscaya Allah akan mengadzabnya. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri dan Abu Hurairah رضي الله عنه, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

العز إزاره والكبرياء رداؤه فمن ينازعني عذبته

Artinya: “Kemulian adalah sarung Allah, dan kesombongan adalah selendang-Nya, barangsiapa yang menentang-Ku (demikian Allah berfirman, niscaya Aku akan mengazabnya. “(HR. Muslim no.2620)

Dan Abu Hurairah رضي الله عنه, meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

بينما رجل يمشي في حله تعجبه نفسه مر جل جمّته إذ جسف الله به فهو بتجلجل إلي يوم القيامه

Artinya: “Ketika seseorang berjalan dengan kain hullah yang mengagumkan dirinya dan rambutnya tersisir rapi terurai hingga telinganya, tiba-tiba Allah membenamkannya maka dia terus berteriak hingga hari kiamat. (HR. Al-Bukhari no. 5789)

 

Keangkuhan tidaklah ada kecuali ketika perang untuk membuat marah para musuh, sebagaimana yang Abu Dujanah lakukan ketika mengikatkan imamah miliknya yang berwarna merah kemudian mulailah ia berjalan dengan angkuh di antara dua barisan yang saling berhadapan. Maka ketika Rasulullah melihatnya berjalan dengan angkuh, beliau bersabda, “Sesungguhnya jalan seperti itu adalah jalan yang Allah murkai kecuali di tempat seperti ini.”

  1. Cara Jalan yang Terbaik dan Paling Sempurna

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berjalan, beliau takaffa’a takaffu’ an (condong ke depan). Beliau adalah manusia yang jalannya paling cepat, paling baik, dan paling tenang.”

Abu Hurairah رضي الله عنه, berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih gagah daripada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, seakan matahari berjalan di wajahnya, dan aku tidak pernah melihat seseorang yang jalannya lebih cepat daripada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, seakan bumi terlipat untuknya, dan kami berusaha dengan sungguh-sungguh terhadap diri kami dan beliau tidak terlihat memaksakannya.

Dan ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “Apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berjalan, beliau condong ke depan seakan-akan beliau turun dari shabab.

Sekali waktu ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Apabila beliau berjalan, beliau berjalan dengan taqla (turun kebawah)

Saya (penulis) katakan, “Makna at-Taqallu’ adalah ketinggian pada tanah secara keseluruhan, sebagaimana keadaan seseorang yang miring dari tempat yang rendah. Jalan seprti ini adalah jalannya para ulul ‘azmi (orang-orang yang mempunyai ‘azam atau tekad), dan mempunyai himmah (keinginan yang kuat) serta keberanian. Dan cara jalan seperti ini paling sempurna dan lebih memberikan ketenangan untuk anggota badan, lebih jauh lagi dari jalan seorang yang marah, hina dan lemas.

Faidah: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan dalam al-Hadyu  tentang sepuluh macam cara berjalan:

  1. Yang paling baik dan paling sempurna adalah berlajan takaffu’ dan taqallu’, seperti keadaan orang yang turun dari ash-shabab (tempat yang miring atau curam), dan cara jalan seperti ini adalah cara jalannya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
  2. Berjalan dengan gelisah dan sempoyongan laksana seekor unta yang bingung. Cara jalan tercela ini, juga menunjukkan kekurangan akal orang yang melakukannya. Terlebih lagi apabila orang tersebut seiring menengok ke kiri dan ke kanan ketika berjalan.
  3. Berjalan lemas dan selangkah demi selangkah , seperti sepotong kayu yang diangkut, dan cara jalan ini adalah cara jalan yang tercela dan jelek.
  4. Jalan dengan cepat.
  5. Ar-raml, cara jalan yang paling cepat disertai langkah yang saling berdekatan, disebut juga al-khabab.
  6. An- naslan, yaitu jalan sambil berjinjit kecil yang tidak mengganggu orang yang berjalan.
  7. Al-khauzali, yaitu jalan dengan berlenggak-lenggok, yakni cara jalan yang disertai kelemah-lembutan dan kebanci-bancian.
  8. Al-qahqara, yaitu jalan ke belakang.
  9. Al-jamza, yaitu jalan smbil melompat.
  10. At-tabakhtur, yaitu jalan orang yang ‘ujub dan sombong.

 

  1. Makruhnya Berjalan dengan Satu Sandal

Disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Darinya (dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu), ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَمْشِ أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ, وَلْيُنْعِلْهُمَا جَمِيعًا, أَوْ لِيَخْلَعْهُمَا جَمِيعًا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا.

Artinya: “Janganlah salah seorang di antara kalian berjalan dengan satu sandal. Hendaklah ia memakai kedua-duanya atau melepas kedua-duanya.” (Muttafaqun ‘alaihima) [HR. Bukhari, no. 5855 dan Muslim, no. 2097. Imam Al-Bukhari menyebutkan hadits ini dalam Kitab “Pakaian”, Bab “Dilarang berjalan dengan satu sandal”]

  1. Termasuk Sunnah Sekali-kali Bertelanjang Kaki

Berdasarkan perkataan Fudhalah bin ‘Ubaid رضي الله عنه, “Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan kami agar sekali-kali bertelanjang kaki (ketika berjalan).

Dan disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar رضي الله عنه, tentang ziarahya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada Sa’d bin ‘Ubadah, ia berkata, “Ketika Nabi berdiri, kami pun ikut berdiri bersama beliau dan kami berjumlah sekitar sepuluh orang, kami tidak memakai sandal. Tidak pula khuff. Tutup kepala (kopyah) dan tidak pula gamis. Kami berjalan di atas tanah yang becek itu……. (HR. Muslim).

Jalan tanpa alas kaki mengandung hikmah untuk menghilangkan kebiasaan seseorang merasakan nikmat dengan seringnya memakai sandal.

  1. Pemilik Kendaraan Lebih Berhak Duduk Di Bagian Depan Kendaraanya

Barangsiapa yang memiliki sesuatu maka ia lebih berhak atasnya dibanding selainnya. Dan mengendarai kendaraan berupa makhluk hidup atau benda mati hukumnya sama. Maka pemilik unta, kuda atau mobil lebih berhak duduk di depan kendaraanya dan didahulukan daripada orang lain. Maka janganlah seseorang mengendarai kendaraan di bagian depan kecuali atas izin pemiliknya.

Buraidah رضي الله عنه, menjelaskan hal tersebut, ia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berjalan, seorang laki-laki datanng dengan naik keledai, orang itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, naiklah.’ Orang itu mundur ke belakang. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Tidak, engkau yang lebih berhak duduk di depan kendaraanmu dibanding aku, kecuali jika memang engkau menetapkannya untukku.’ Orang itu berkata, ‘Aku telah menetapkan untukmu.’ Maka beliau mengendarainya.” (HR.  Dawud no.2573) dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani.

  1. Bolehnya Membonceng Di Atas Kendaraan Jika Tidak Memberatkannya

Diantara adab berkendara adalah dibolehkan dua atau tiga orang berkendara di atas satu kendaraan selama kendaraan tersebut mampu untuk itu . Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam membonceng sebagian shahabat beliau, seperti Mu’adz, Usamah dan al-Fadhl. Demikian pula beliau membonceng ‘Abdullah bin Ja’far dan al-Hasan atau al-Husain secara bersamaan dan juga selain mereka, mudah-mudahan Allah meridhai mereka semua.

  1. Makruhnya Menjadikan Kendaraan Sebagai Mimbar

Abu Hurairah رضي الله عنه, menerangkan masalah ini, ia berkata, “Janganlah kalian menjadikan punggung-punggung hewan tunggangan kalian sebagai mibar-mimbar, karena Allah memudahkannya untuk kalian hanya untuk membawa kalian ke negeri yang belum pernah kalian capai kecuali dengan bersusah payah. Dan Allah azza wa jalla telah menjadikan bumi untuk kalian, maka di atasnyalah hendaknya kalian menunaikan hajat kalian.

Maknanya, janganlah kalian duduk di punggung-punggung hewan kendaraan dan kalian berhenti untuk membicarakan jual-beli

Dan selainnya, akan tetapi tetapi turun dan tunaikanlah kebutuhan kalian, lalu setelah itu tunggangilah. Demikian yang dikatakan oleh al-Qari.

Dan janganlah seseorang menyamarkan masalah ini dengan alasan berhentinya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di atas hewan tunggangan beliau ketika melaksanakan Haji Wada’, karena hal itu beliau lakukan untuk suatu maslahat yang kuat dan hal tersebut tidak terulang-ulang.

Ibnul Qayyim berkata, “Adapun berhentinya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di atas hewan tunggangan beliau ketika melaksanakan Haji Wada’ dan beliau berkhutbah di atasnya, hal tersebut tidak termasuk sesuatu yang terlarang. Hal tersebut beliau lakukan karena adanya maslahat umum di waktu itu, dan tidak dilakukan terus-menerus. Hewan tunggangan beliau pun tidak kepayahan dan tidak merasa berat sebagaimana didapati dari orang yang terbiasa melakukannya bukan kemashlahatan. Bahkan mereka menjadikannya sebagai tempat tinggal dan tempat duduk yang mana seseorang bermunajat di atasnya, dan mereka tidak turun ke tanah. Hal itu sering terulang dan berlangsung lama, berbeda dengan khutbah beliau di atas hewan tunggangan beliau agar orang-orang bisa mendengar khutbah yang beliau sampaikan dan mengajari mereka tentang Islam dan hukum-hukum manasik. Hal tersebut tidaklah terulang dan tidak berlangsung lama, sedangkan maslahatnya bisa dirasakan seluruh manusia.

Faidah: (Mobil) tidak dianggap hewan tunggangan dari sisi lamanya orang duduk di atasnya dan berbicara dengan orang lain, karena mobil tersebut tidak merasa berat dan payah, akan tetapi hendaklah seseorang menjaga kendaraannya dari pengguna jalan, jangan sampai mengganggu, membuat mereka gelisah dan membuat jalan mereka sempit, karena mengganggu mereka adalah perkara yang diharamkan. Allah azza wa jalla berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤذُونَ المُؤمِنِينَ وَالمُؤمِنٰتِ بِغَيرِ مَا اكتَسَبُوا فَقَدِ احتَمَلُوا بُهتَانًا وَّاِثمًا مُّبِينًا

Artinya: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya merek telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)

 

Peringkas            : Khoirul Anam

Referensi            : Kitab Kumpulan Adab Islami karya Syeikh Fuad bin Abdil Aziz Asy-Syalhub (terjemahan Indonesia) hal. 393-399

Baca juga artikel:

Orang Yang Terperdaya

Menggunakan Jimat untuk Pelaris dan Mempercantik Diri

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.