Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Terkait dengan Permasalahan Tayammum

TERKAIT PERMASALAHAN DENGAN TAYAMMUM

 

TERKAIT DENGAN PERMASALAHAN TAYAMMUM

Apabila tidak ada air dan Anda juga tidak dapat menemukannya, atau Anda khawatir akan keselamatan diri Anda jika menggunakan air (baik karena sakit maupun karena dingin yang amat sangat) maka dibolehkan bagi Anda untuk bertayammum dengan menggunakan tanah.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ

Artinya: Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Ma’idah: 6)

Dan diriwayatkan dari Nabi, “Debu (tanah) yang baik itu adalah alat bersucinya seorang muslim, meskipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun.”  (HR. Muslim)

Dan beliau juga bersabda, “Telah dijadikan untukku dan untuk umatku seluruh bumi sebagai masjid dan tempat bersuci, maka di mana saja salah seorang dari umatku menemui waktu shalat, maka ia telah mempunyai masjidnya dan juga tempat bersucinya.” (HR. Muslim)

Dan diriwayatkan dari Amr ibn Ash bahwa tatkala ia diutus dalam Perang Dzatus Salasil, ia berkata, “Pada suatu malam yang sangat dingin, aku mengalami mimpi (basah), sehingga aku khawatir akan celaka jika aku mandi. Lalu aku pun mengimami pasukanku dalam shalat Shubuh. Saat kami kembali menemui Nabi, mereka menceritakan hal itu kepada beliau, maka beliau berkata, “Hai Amr, engkau mengimami pasukanmu dalam shalat sementara engkau junub ?” maka aku berkata, “Aku teringat akan firman Allah Subhanahu Wata’ala,

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ  ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

Maka aku pun bertayammum dan kemudian shalat.” Maka Rasulullah tertawa dan tidak mengatakan apapun.”

Dan secara umum, umat ini telah berijma’ mengenai dibolehkannya bertayammum.

Kapankah tayammum dilakukan ?

Tayammum dapat dilakukan dalam dua kondisi :

  1. Saat ketiadaan air,baik dalam keadaan musafir maupun mukim.
  2. Saat terhalang untuk menggunakan air, baik karena sakit maupun alasan lain yang sejenis. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤئطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا

Artinya: “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah.” (QS. Al-Ma’idah: 6)

Dibolehkan bagi Anda untuk bertayammum karena hadats kecil ataupun hadats besar. Dari Imran ibn Hushain berkata, “Kami pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah, lalu beliau mengimami orang-orang di dalam shalat. Dan ternyata ada seorang laki-laki yang menyendiri (tidak ikut shalat), maka beliau bertanya, “Apa yang menghalangimu untuk shalat ?” Ia menjawab, “Aku terkena junub dan tidak ada air.” Maka beliau berkata, “Hendaklah engkau menggunakan tanah, sesungguhnya itu cukup bagimu.”

Apabila Anda memiliki penyakit di sebagian tubuh Anda sehingga Anda tidak bisa menggunakan air, maka bertayammumlah dan shalatlah pada waktunya. Ini adalah pendapat sebagian ulama. Dan sebagian lain berpendapat bahwa Anda harus membasuh bagian tubuh yang bisa dibasuh, dan bertayammum pada bagian tubuh yang tidak boleh terkena air. Akan tetapi pendapat yang lebih kuat adalah yang mencukupkan dengan bertayammum, karena dalilnya lebih kuat, karena yang lebih sahih adalah tidak menggabungkan antara yang pokok (wudhu) dengan penggantinya (tayammum).

Apabila Anda hendak berwudhu atau mandi, sementara Anda tidak memiliki air selain yang Anda butuhkan untuk makan, minum, memasak, ataupun menghilangkan najis, maka bertayammumlah dan simpanlah air itu.

Apabila waktu shalat telah sangat sempit, sehingga apabila Anda menggunakan air maka waktunya akan habis, maka pendapat ulama yang paling kuat adalah bahwa dibolehkan bagi Anda untuk bertayammum guna melaksanakan shalat itu sebelum waktunya habis. Dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Imam Malik, Ibnu Hazm, dan pendapat ini pulalah yang dipilih oleh Syaikhul Islam. Dan dasarnya adalah hadis dari Abu Juhaim al-Anshari, ia berkata, “Rasulullah datang dari arah sumur Jamal, dan beliau bertemu dengan seorang laki-laki yang memberi salam kepada beliau, akan tetapi beliau tidak menjawab salamnya hingga beliau sampai di sebuah dinding, dan beliau mengusap wajah dan kedua tangannya, dan setelah itu barulah beliau menjawab salamnya.”

Ini adalah dasar dari dibolehkannya bertayamum karena khawatir akan luputnya sebuah kewajiban.

Adapun jika Anda bangun tidur dalam keadaan junub misalnya dan waktu shalat telah sempit, maka pendapat yang paling sahih dalam keadaan ini adalah bahwa Anda harus mandi dan kemudian shalat meskipun waktunya telah habis. Karena waktu (shalat) bagi orang yang tidur tetap ada. Sebagaimana sabda Nabi, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya tidaklah dikatakan meremehkan shalat bagi orang yang ketiduran, sesungguhnya meremehkan (shalat) itu adalah bagi orang yang tidak melaksanakan shalat sampai datang waktu shalat yang berikutnya. Maka barangsiapa melakukannya (tidur), maka hendaklah ia segera shalat saat tersadar dari tidurnya. ”

Dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

Tayammum adalah pengganti dari wudhu dan mandi, sehingga dibolehkan dengannya apa-apa yang dibolehkan dengan wudhu dan mandi.

Apakah jenis tanah yang digunakan untuk bertayammum? Dibolehkan untuk berwudhu dengan apa-apa yang ada di permukaan tanah, baik itu debu yang suci, atau kerikil, atau batu, maupun yang sejenisnya, karena yang dimaksud dengan tanah di sini adalah:

Permukaan bumi, baik itu debu (tanah) maupun yang lainnya. Dan inilah pendapat ulama yang paling kuat.

Tata Cara Tayammum

  1. Berniatlah di dalam hati Anda untuk bersuci dari hadats kecil ataupun dari junub.
  2. Pukullah dengan kedua tangan Anda tanah (debu) yang bersih, lalu tiuplah, dan kemudian usapkanlah pada wajah dan kedua tangan Anda hingga pergelangan tangan.

Dengan demikian, maka Anda telah melakukan tayammum. Sebagaimana sabda Nabi, “Sesungguhnya cukup bagimu melakukan seperti ini.” Dan beliau memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah, lalu meniup keduanya, dan kemudian mengusapkannya ke wajah dan kedua telapak tangannya.

Hal-hal yang membatalkan tayammum

  1. Hal-hal yang membatalkan tayammum sama dengan yang membatalkan wudhu, dan ditambah dengan keberadaan air bagi yang sebelumnya tidak menemukannya, dan kemampuan untuk menggunakannya bagi yang sebelumnya tidak bisa menggunakannya.
  2. Apabila Anda menemukan air setelah shalat, dan Anda masih berada dalam waktu shalat tersebut, maka tidak diwajibkan bagi Anda untuk mengulangi shalat itu, akan tetapi hal ini dianjurkan. Berdasarkan kepada hadis dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Ada dua orang laki-laki yang melakukan suatu perjalanan, lalu masuklah waktu shalat dan mereka tidak memiliki air. Maka mereka pun bertayammum dengan tanah yang baik dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air saat masih berada di dalam waktu shalat tersebut, maka salah seorang dari mereka mengulangi shalatnya, sementara temannya tidak mengulangi shalatnya. Setelah itu mereka menemui Nabi dan menceritakan hal itu kepada beliau. Maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah mengikuti sunnah, dan shalatmu telah cukup bagimu.” Dan beliau berkata kepada orang yang berwudhu dan mengulangi shalatnya, “Engkau memperoleh pahala dua kali.”

MEMBERSIHKAN NAJIS

syariat telah menerangkan cara-cara untuk membersihkan najis-najis tertentu, sehingga tidak selayaknya menggunakan cara yang lain, berikut beberapa cara membersihkan najis:

  1. Air merupakan sarana utama dalam membersihkan najis, dan tidak ada yang dapat menggantikan kedudukannya kecuali dengan izin syariat.
  2. Membersihkan pakaian dari darah haid. Membersihkannya adalah dengan cara menggosoknya dan mengeriknya dengan ujung-ujung jari hingga darah itu terurai dan keluar dari (serat) pakaian, lalu dibasuh dengan air.

Ini sesuai dengan hadis Asma’ yang telah disebutkan di atas, dan juga hadis dari Aisyah, ia berkata, “Salah seorang dari kami mengalami haid, dan saat ia telah suci, ia mengerik darah haid itu dari pakaiannya, lalu ia mencucinya dan membasuh pakaiannya itu secara keseluruhan, dan kemudian ia shalat mengenakan pakaiannya itu.”

Dan apabila seorang perempuan mau menggunakan kayu atau yang lainnya untuk menghilangkan darah itu, dan mencucinya dengan air dan sabun ataupun pembersih lainnya, maka itu lebih baik. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Qais binti Muhshin, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Nabi tentang darah haid yang menempel di baju, dan beliau berkata, “Gosoklah darah itu dengan kayu dan cucilah dengan air dan daun bidara. ”

  1. Membersihkan pakaian dari air kencing bayi yang masih menyusu. Nabi bersabda, “Air kencing anak perempuan itu dicuci, dan kencing dari anak laki-laki cukup disiram.”
  2. Membersihkan pakaian dari air madzi.

Karena air madzi ini sering keluar, maka terdapat keringanan dalam cara membersihkannya, di mana ia cukup disiram dengan air pada bagian pakaian yang terkena madzi.

Sebagaimana hadis Sahl ibn Hunaif, yang sering merasa kesulitan karena permasalahan madzi ini. Ia pun bertanya kepada Nabi, “Bagaimana dengan pakaianku yang terkena air madzi ?” Beliau menjawab, “Cukuplah engkau ambil air sepenuh telapak tanganmu dan kemudian engkau siramkan pada bagian pakaianmu yang engkau lihat terkena oleh air madzi itu.”

  1. Membersihkan ujung pakaian wanita.

Apabila ujung bagian bawah pakaian wanita terkena najis, maka pakaian itu akan menjadi suci jika menyentuh tanah yang suci. Seorang perempuan pernah bertanya kepada Ummu Salamah istri Nabi, “Aku adalah seorang perempuan yang suka memanjangkan ujung pakaianku, bagaimana jika aku berjalan di tempat yang kotor?” Ummu Salamah menjawab, “Nabi berkata, ‘la (bagian yang kotor) akan disucikan oleh tanah yang disapunya.”

  1. Membersihkan bagian bawah (telapak) sandal/sepatu. Dari Abu Sa’id bahwa Nabi bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian mendatangi masjid, hendaklah ia membalikkan kedua sandalnya, dan melihatnya, jika ia melihat kotoran di sana, hendaklah ia membersihkannya dengan tanah, lalu ia shalat dengan mengenakannya.”
  2. Membersihkan bejana yang dijilat oleh anjing.

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah bersabda, “Sucinya bejana kalian apabila ia dijilat oleh anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, yang salah satunya dengan menggunakan tanah.”

  1. Membersihkan kulit bangkai dengan cara disamak.

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Nabi  bersabda, “Apabila kulit (dari bangkai binatang) telah disamak, maka ia menjadi suci.

  1. Membersihkan tanah dari air kencing atau yang lainnya.

”Dengan cara menyiramnya dengan air, sebagaimana yang diperintahkan Nabi untuk menyiram tempat yang dikencingi oleh seorang arab baduy. Nabi memerintahkan demikian agar ia lebih cepat menjadi

Suci. Kalaupun dibiarkan sampai kering, dan bekas najis itu telah hilang, maka tanah itu akan menjadi suci dengan sendirinya.

  1. Membersihkan sumur atau minyak samin jika ada najis yang jatuh ke dalamnya.

Yaitu dengan cara mengangkat atau menghilangkan najis dan daerah yang ada di sekitarnya, sementara sisanya tetap suci. Di dalam Shahih al-Bukhari (adz-Dzabâ’ih bab 34) dan yang lainnya, disebutkan bahwa Nabi pernah ditanya tentang seekor tikus yang terjatuh ke dalam samin, maka beliau berkata, “Buanglah tikus itu dan yang ada di sekitarnya, lalu makanlah minyak samin kalian.”

  1. Apabila sifat dari inti najis itu berubah, di mana sebutannya sebagai najis itu hilang dan ia sudah berubah menjadi sesuatu yang suci, maka hukumnya adalah suci, seperti kotoran apabila sudah berubah menjadi tanah.
  2. Apabila air susu seorang perempuan mengenai pakaiannya, maka tidak ada hukum apa pun mengenainya. Ia tidak wajib mencucinya, karena air susu itu suci dan bukan najis. Pendapat ini juga diutarakan oleh Ibrahim an-Nakha’i, sebagaimana yang terdapat pada Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/172) dengan sanad yang hasan.

REFERENSI:

Diringkas dari Buku Fikih Sunnah Wanita/Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, Penerjemah, Firdaus; Penyunting, Sudjilah Ayu. Jakarta: Qisthi Press, 2013.xviii+644; 15,5 x 24 cm.

Oleh: Ellin Anjani

Baca juga artikel:

Jalan Meraih Kecintaan Kepada Allah

Ambillah Aqidahmu

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.