Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Negosiasi dan Kompromi Kaum Kafir

Negosiasi dan Kompromi Kaum Kafir – Tatkala hidayah telah masuk kepada seorang manusia yang kuat, maka dakwah akan menjadi lebih kuat.  Dan para penentang kebenaran yang hendak menyebarkan kebatilanpun mulai merasa gentar.  Demikian juga kaum kafir quraisy yang mulai merasa gentar ketika Hamzah dan Umar telah menjadi garda terdepan dan memperkuat barisan dakwah risalah Nabi.  Hingga akhirnya kaum kafir pun membuat langkah lainya dalam menghadapi dakwah nabi, yakni dengan negosiasi dan kompromi yang akhirnya tetap berujung dengan tindakan kekerasan dan pembunuhan.

Harapan Quraisy untuk berunding tidak berenti sebatas jawaban beliau  karena jawaban tersebut tidak secara terus terang menolak atau menerima.  Untuk itu, mereka bermusyawarah, lalu berkumpul di depan kabah setelah matahari terbenam.  Lalu mengirim utusan untuk mengajak Rasulullah  bertemu disana.  Tatkala beliau datang kesana, mereka kembali menggajukan tawaran yang sama seperti yang diajukan oleh Utbah.  Disini beliau menjelaskan bahwa beliau tidak melakukan itu, sebab beliau seorang Rasul.  Beliau hanyalah menyampaikan Risalah Rabb-Nya.  Jika menerima maka mereka akan beruntung di dunia dan akhirat dan jika tidak,  beliau akan bersabar hingga Allah yang memutuskannya.

Mereka meminta beliau untuk membuktikan dengan beberapa tanda, diantaranya; agar beliau  memohon kepada Rabbnya membuat gunung-gunung bergeser dari mereka, membentangkan negeri-negeri buat mereka,  mengalirkan sungai-sungai serta menghidupkan yang telah mati hingga mereka mau mempercayainya.  Namun beliau menjawabnya seperti jawaban sebelumnya.

Mereka juga meminta agar beliau memohon kepada Rabbnya untuk mengutus seorang malaikat yang membenarkan kerasulan beliau dan menyediakan taman-taman, harta terpendam serta membuat istana dari emas dan perak untuknya, namun beliau tetap menjawab seperti jawaban sebelumnya.

Bahkan mereka menantang beliau agar mendatangkan azab, dengan cara menimpakan kepingan-kepingan langit ke atas mereka.  Beliau menjawab, “Hal itu semua merupakan kehendak Allah Subahanahu Wata’ala; Jika dia berkehendak maka Dia akan menjatuhkannya.”

Menanggapi jawaban itu mereka malah membantah dan mengancam beliau.  Akhirnya beliau pulang dengan hati yang teriris sedih.[1]

Tatkala Rasululah berlalu, Abu Jahal dengan sombongnya berkata kepada kaum Quraisy! “Sesungguhnya Muhammad sebagaimana yang telah kalian saksikan, hanya ingin mencela dan menghina agama dan nenek moyang kita, menuduh kita menyimpang dari kebenaran serta mencaci tuhan-tuhan kita.  Sungguh aku berjanji atas nama Allah Subhanahu Wata’ala untuk duduk di dekatnya dan membawa batu besar yang mampu aku angkat dan aku hempaskan ke atas kepalanya saat dia sedang bersujud dalam shalatnya.  Maka saat itu kalian hanya punya dua pilihan; menyerahkanku atau melindungiku.  Dan setelah hal itu terjadi, silahkan Bani Abi Manaf berbuat apa saja yang mereka mau.”

Mereka menjawab, ”Demi Allah! Sekali sekali kami tidak akan menyerahkanmu pada sesuatupun selamanya. lakukanlah apa yang ingin engkau inginkan.”

Pagi harinya, Abu jahal rupanya benar-benar mengambil batu besar sebagaimana yang dia katakan,  kemudian duduk sambil menunggu kedatangan Rasulullah.  Tak berapa lama,  Rasulullah pun datang sebagaimana biasa. Lalu beliau shalat sedangkan kaum quraisypun sudah datang dan duduk di tempa biasa mereka berkumpul sambil menunggu apa yang akan dilakukan Abu Jahal.  Manakala Rasulullah sedang sujud, Abu Jahalpun mengangkat batu tersebut,  kemudian berjalan menuju ke arah beliau hingga  jaraknya sangat dekat sekali.  Akan tetapi anehnya, dia justru berbalik mundur wajahnnya pucat pasi ketakutan.  Kedua tangannya tidak mampu lagi menahan beratnya batu hingga dia melemparnya.  Menyaksikan kejadian itu,  para pemuka quraisy segera menyongsongnya seraya bertanya, ada apa denganmu wahai Abu al-Hakam?

“Aku sudah berdiri ke arahya untuk melakukan apa yang telah aku katakan kepada kalian semalam, namun Ketika aku mendekatinya seakan ada unta jantan menghalangiku.   Demi Allah aku tidak pernah melihat unta jantan yang lebih menakutkan daripadanya, baik rupanya, lehernya, ataupun taringnya.  Binatang itu ingin memangsaku.” Katanya.

Ibnu Ishak Rahimahullah berkata.” Disebutkan kepadaku bahwa Rasulullah bersabda, ‘itu  adalah Jibril.  Andai Abi Jahal mendekat maka dia akan disambarnya.”[2]

Manakala kaum quraisy gagal berunding dengan cara membujuk, janji yang menggiurkan bahkan mengancam, demikian pula Abu Jahal gagal melampiaskan kedunguan dan niat jahatnya untuk menghabisi beliau, mereka seakan tersadar tentang perlunya mencari jalan tengah yang kiranya dapat menyelamatkan mereka.  Mereka sebenarnya, tidak menyatakan secara tegas bahwa Nabi berjalan di atas kebatilan, akan tetapi kondisi mereka adalah sebagiamana yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wata’ala:

وَإِنَّهُمْ لَفِى شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيبٍ

Artinya: “Sesungguhnya mereka orang kafir dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap Al-Quran.” (QS. Hud: 110)

Karena itu mereka melihat perlunya mengupayakan negosiasi dengan beliau dalam masalah agama.  Yaitu mencari titik temu dengan beliau.  Dengan cara meninggalkan Sebagian urusan agama yang mereka yakini, dan menyuruh Nabi melakukan hal yang sama.  Mereka mengira bahwa dengan cara  ini mereka akan meraih kebenaran,  jika memang apa yang diajak oleh Nabi itu adalah benar.

Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya, dia berkata ,”Al-Aswad bin al-Muthalib bin As’ad bin Abdul Uzza, al-Walid bin al-Mughirah,  Ummayah bin Khalaf serta al-ash bin Wa’il as-Sahmi merupakan orang-orang berpengaruh di tengah kaum mereka, suatu Ketika mereka mengahadang Rasulullah yang tengah melakuakan thawaf di Ka’bah seraya berkata, “Wahai Muhammad biarlah kami menyembah apa yang engkau sembah dan engkau juga menyembah apa yang kami sembah sehingga kami dan engkau dapat berkongsi dalam menjalankan urusan ini.   Jika yang engkau sembah ini lebih baik dari apa yang kami sembah, maka kami telah mengambil bagian kami darinya. Demikian juga jika apa yang kami sembah lebih baik dari apa yang  kamu sembah, maka berarti engkau telah mendapatkan bagianmu darinya. “Lalu Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan tentang mereka surat al-Kafirun seluruhnya.[3]

Abd bin Humaid dan yang lainya mengeluarkan dari Ibnu Abbas bahwasannya orang-orang  quraisy berkata ,”Andaikan engkau usap tuhan-tuhan kami, niscaya kami akan menyembah tuhanmu. “ lalu turunlah surat Al-kafirun keseluruhan.[4]

Ibnu Jarir dan yang lainnya mengeluarkan dari Ibnu Abbas juga bahwasannya orang-orang quraisy berkata kepada Rasulullah, “Engkau sembah tuhan kami satu tahun maka kami akan menyembah tuhanmu selama satu tahun juga .” lalu Allah menurunkan firmannya:

قُلْ أَفَغَيْرَ ٱللَّهِ تَأْمُرُوٓنِّىٓ أَعْبُدُ أَيُّهَا ٱلْجَٰهِلُونَ

Artinya: “Katakanlah ,’Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selian Allah, hai orang orang yang tidak berpengetahuan?” (QS. Az-Zumar: 64)

Manakala Allah telah memberikan keputusan final terhadap perundingan yang menggelikan tersebut melalui perbandingan yang tegas, orang-orang quraisy tidak berputus asa dan berhenti hingga disitu bahkan semakin mengendurkan nilai negosiasi mereka asalkan nabi mau mengadakan perubahan perubahan terhadap petunjuk yang diberikan Allah ,mereka berkata sebagaiamana firman-Nya,

قَالَ ٱلَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَآءَنَا ٱئْتِ بِقُرْءَانٍ غَيْرِ

Artinya: “Datangkanlah Al-Quran yang lain dari ini atau gantilah dia” (QS. Yunus: 15)

Lantas Allah menumpas cara seperti ini dan menurukan ayat berikutnya sebagai bantahan Nabi terhadap meraka, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُنَا بَيِّنَٰتٍ ۙ قَالَ ٱلَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَآءَنَا ٱئْتِ بِقُرْءَانٍ غَيْرِ هَٰذَآ أَوْ بَدِّلْهُ ۚ قُلْ مَا يَكُونُ لِىٓ أَنْ أُبَدِّلَهُۥ مِن تِلْقَآئِ نَفْسِىٓ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰٓ إِلَىَّ ۖ إِنِّىٓ أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّى عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

Artinya: “Katakanlah,’ tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri,  Aku tidak mengikuti kecuali yang diwahyukan kepadaku.  sesungguhya aku takut mendurhakai tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)” (QS. Yunus: 15)

Allah Ta’ala juga memperingatkan akan besarnya bahaya perbuatan tersebut dengan firmannya:

وَإِن كَادُوا۟ لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ ٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ لِتَفْتَرِىَ عَلَيْنَا غَيْرَهُۥ ۖ وَإِذًا لَّٱتَّ  خَذُوكَ خَلِيلًاوَلَوْلَآ أَن ثَبَّتْنَٰكَ لَقَدْ كِدتَّ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْـًٔا قَلِيلًاإِذًا لَّأَذَقْنَٰكَ ضِعْفَ ٱلْحَيَوٰةِ وَضِعْفَ ٱلْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَي

Artinya: “dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah kami wahyukan kepadamu, Agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami;  dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.  Dan kalau kami tidak memperkuat hatimu, niscaya kamu jadi hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah, kami akan rasakan kepadamu  (siksaan)  berlipat ganda di dunia ini dan begitu pula (siksaan) berlipat ganda sesudah mati, maka kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap kami,” (QS. Al-Isra; 73-75)

Setelah semua negosiasi dan kompromi yang diajukan oleh kaum musrikin mengalami kegagalan, jalan jalan yang terbentang dihadapan mereka seakan gelap gulita.  Mereka bingung apa yang harus dilakukan hingga salah seorang dari syaitan mereka berdiri tegak, yaitu  Nadhar bin Al-Harist seraya menasehati mereka , ‘Wahai kaum quraisy! Demi Allah! Sungguh urusan yang kalian ini tidak ada lagi jalan keluarnya, Di masa mudanya, Muhammad adalah orang yang paling kalian agungkan amanatnya hingga akhirnya sekarang kala melihat uban tumbuh di kedua sisi kepalanya dan membawa apa yang dibawanya kepada kalian.  kemudian kalian mengatakan bahwa dia adalah tujang sihir, Demi Allah, Dia bukanlah tukang sihir.  Kita telah melihat para tukang sihir dan jenis-jenis sihir mereka sedangkan yang dikatannya bukannya kenis Nafs (hembusan) atau uqaf (buhul-buhul) mereka.  Lalu kalian katakan dia adalah seorang dukun, Demi Allah dia bukanlah seorang dukun.  kita telah melihat bagaimana para dukun,  sedangkan yang dikatakannya bukan seperti komat-kamit atau puan sajak (mantra-mantra) para dukun.  Lalu kalian katakan lagi bahwa dia adalah seorang penyair.  Demi Allah! Dia bukan seorang penyair.  Kita telah mengenal semua bentuk syair;  baik itu rajaz  maupun hajaz, sedangkan yang dikatakannya bukanlah syair.  Lalu kalian  katakan bahwa dia adalah seorang gila.  Demi Allah! Dia bukanlah seorang yang gila.  Kita telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya sedangkan yang dikatakannya bukan dalam kategori kecekikikan, kerasukan ataupun was-was sebagaiamana kondisi kegilaan tersebut.  Wahai kaum quaraisy! Perhatikannalah urusan kalian, demi Allah! Sesungguhnya  kalian telah menghadapi masalah yang maha serius. “

Ketika kaum quraisy memutuskan untuk menghubungi seorang Yahudi guna memastikan kelanjutan perihal Muhammad maka mereka menunjuk an-Nadhar bin al-Harist untuk pergi menemui orang Yahudi di Madinah bersama dua orang lainya.  Ketika tiba mereka disana, para pemuka agama yahudi (Ahbar) berkata kepada mereka, ‘Tanyakan keduanya (Muhammad) tiga hal;  jika dia dapat memberitahukannya maka dia memang Nabi yang diutus, dan jika tidak, maka dia hanyalah orang yang berbiacra dusta.  Tanyakan kepadanya tentang sekelompok pemuda yag sudah pergi pada masa lampau, bagaimana kisahnya mereka?  Karena sesungguhnya cerita tentang mereka amatlah menakjubkan.  Juga tanyakan  kepadanya tentang seorang laki-laki pengelana yang menjelajahi dunia hingga ke belahan timur bumi dan belahan bumi barat, bagaimana kisahnya?  Terakhir, tanyakan kepadanya apa itu ruh?”

Setibanya di Makkah, an-Nadhar bin al-Harsit berkata “kami datang kepada kalian dengan membawa (pemisah) apa yang terjadi antara kita dan Muhammabd.” Lalu dia memberitahukan meraka perihal apa yang dikatakan oleh orang-orang yahudi.  Setelah itu, orang orang quraisy bertanya kepada Rasulullah tentang tiga hal tersebut,  maka setelah beberapa hari turunlah surat Al-Kahfi yang di dalamnya terdapat kisah sekelompok pemuda tersebut , Yakni Ashhaul kahfi dan kisah seorang laki-laki pengelana, yaitu Dzul Qarnain.  Demikian pula turunlah jawaban tentang ruh dalam surat al-Isra.  Jetika itu jelaslah bagi kaum Quraisy bahwa beliau berada dalam kebenaran dan kejujuran, namun orang-orang dzalim lebih memilih kekufuran.[5]

Demikianlah kamu quraisy secara umum.  Sedangkan Abu Thalib secara khusus menghadapi tuntutan kaum kepada mereka untuk dibunuh.  Abu Thalib mengamati gerak gerik dan tidak tanduk mereka.  Dia mencium kainginan kuat mereka untuk benar-benar menghabisi Nabi dan mengabaikan jaminan perlindungan    terhadapnya, sebagaimana dilakukan oleh Uqbah bin Abi Mua’aith, Umar bin Al-Khathab  (sebelum masuk islam) dan Abu Jahal.  Akhirnya dia mengumpulkan seluruh keluarganya Bani Hasyim dan Bani Muthalib untuk menghimbau mereka agar menjaga nabi mereka semua memenuhi imbauan tersebut, baik yang sudah masuk islam maupun yang masih kafir sebagai sikap fanatisme Arab.  Mereka berikrar dan mengikat janji di Ka’bah.  Hanya saja saudaranya Abu Lahab lebih memilih untuk menentang mereka dan berada dipihak kaum quraisy.

Demikianlah negosiasi dan komproni kaum kafir pada masa Rasulullah.  Mereka tidak bisa menghentikan dakwah Rasulullah hingga akhirnya ingin menghilangkan kemurniannya dengan cara berkompromi untuk mencampuradukannya.  Namun semuanya terbantahkan dan Allah Subhanahu Wata’ala pun menjaganya.  Negosiasi ini terjadi hingga saat ini.  Kaum kafir senantiasa berusaha melakukan negosiasi kepada umat muslim agar mencampur adukan yang haq dan yang batil.  Kaum muslim berkembang namun tidak meninggalkan keyakinan pada kepercayaan  nenek moyangnya.  Kaum muslim banyak terbesar namun tidak ada perbedaan antara kaum muslimin dan bukan kaum muslim, hal ini bisa jadi karena mereka meyakini agama islam namun mereka juga masih berkompromi dengan hal hal di luar islam.  Wallohu alam bishawab

Referensi : Sirah Nabawiah Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad

Penulis : Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri

Diringkas oleh : Iis Rosmi Rojibah S.S. (pengajar di Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadist)

[1] Diringkas dari Riwayat Ibnu Ishak, Ibnu Hisyam, op.,cit.,hal. 295-298

[2] Ibnu Hisyam,op.cit., hal, 298-299

[3] Ibid, hal. 362.

[4] Ad-Durr al-Mantsur, op.cit., 6/692

[5] Ibnu Hisyam, op.cit., hal 299-301.

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.