Urgensi Berbekal
Dalam setiap hal yang akan kita kerjakan, pasti tak bisa lepas dari perihal menyiapkan perbekalan. Tak bisa dibayangkan bagaimana seseorang yang hendak melakukan perjalanan misalnya, tanpa mempersiapkan bekal yang cukup. Ia hanya akan menuai sengsara, dan tak bisa sampai pada tempat yang menjadi tujuannya.
Ibnu Abbas menceritakan bahwa dulu, para penduduk Yaman berhaji, namun mereka tidak membawa perbekalan. Mereka mengatakan, bahwa kami adalah orang-orang yang bertawakkal. Ketika mereka tiba di Mekah, merekapun meminta-minta kepada orang-orang. Lalu Allah Ta’ala pun menurunkan firman-Nya:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”. (QS. Al-Baqoroh: 197)
Mereka ini mengatakan bahwa mereka ini akan melakukan haji dengan maksud tujuan yang suci; dan mereka mengklaim bahwa kami adalah orang-orang yang bertawakkal. Namun sebenarnya keadaan mereka yang sebenarnya adalah orang-orang yang berpangku tangan, bertawaakul (bukan tawakkul, tapi tawaakul), atau mereka adalah orang-orang yang mengandalkan orang-orang (pasrah dengan mengandalkan pada makhluk) di mana mereka mengandalkan pemberian orang-orang kepada mereka untuk menyambung hidup selama mereka di jalan atau di tanah suci. Dan mereka berkata: kami berhaji ke Baitullah, lalu apakah Allah Ta’ala tidak memberi makan kepada kita? Maka Allah Ta’ala pun menurunkan ayat di atas; agar mereka mengambil bekal. Ambillah bekal kalian, hindarilah meminta-minta, jangalah membuat orang merasa jengah dan jengkel serta merasa berat disebabkan kalian meminta-minta kepada mereka, yang membuat mereka merasa terganggu. Karena sebaik-baik bekal adalah menjaga diri dari meminta-minta (takwa, asal maknanya secara bahasa adalah menjaga diri). Jadi seolah-olah maknanya adalah bahwa sebaik-baik bekal adalah ketika musafir menjaga diri dari kebinasaan dan menjaga diri dari meminta-minta.
Namun kita bisa juga mengambil makna ayat ini dari sisi yang lain. Kita mengambil apa pesan umum yang terkandung di dalamnya; dengan melihat pada keumuman makna yang ada di dalamnya. Terutama bila kita melihat pada ayat “Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”. Ayat ini juga bisa diartikan sebagai perintah untuk mengambil bekal untuk hari kebangkitan kelak, yaitu hari akhirat. Dan bekal ini adalah takwa; yang berbentuk amalan-amalan sholih yang merupakan bekal untuk bepergian menuju ke negeri akhirat. Sesungguhnya itu adalah sebaik-baik bekal. Ketika Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk mengambil bekal di dunia, maka Dia juga memberi pengarahan kepada mereka agar berbekal dengan bekal akhirat, yaitu dengan menyertai takwa menuju akhirat. Ini seperti firman Allah Ta’ala: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik”. (QS. Al-A’rof: 26)
Ketika Allah Ta’ala menyebutkan pakaian fisik, Dia mengingatkan dengan penuh anjuran untuk menuju pada pakaian maknawi; yaitu ketundukan, ketaatan dan ketakwaan. Dan ia menyebutkan bahwa itu lebih baik dan lebih bermanfaat daripada sekedar pakaian fisik.
Maka manusia pastilah melakukan perjalanan di dunia; dan ia pun pasti membutuhkan bekal. Ia memerlukan makanan, minuman, kendaraan. Dan iapun pasti melakoni perjalanan dari dunia ini menuju akhirat. Dan ia pun harus mengambil bekalnya, yaitu takwa kepada Allah Ta’ala, mengamalkan ketaatan kepada-Nya, dan menjauhi segala hal yang dilarang. Dan bekal ini lebih utama daripada bekal yang pertama yang hanya sekedar makanan dan kendaraan. Karena bekal dunia hanya menghantarkan pada hasrat diri dan syahwatnya, sedangkan bekal akhirat akan mengantarkan menuju kenikmatan abadi di akhirat.
Mengutip perkataan Ar-Rozi,
Bahwa manusia mempunyai dua safar (perjalanan), yakni safar di dunia dan safar bepergian dari dunia. Bepergian di dunia pastilah membutuhkan bekal, yaitu makanan, minuman dan kendaraan serta harta. Sedangkan bepergian dari dunia juga pasti memerlukan bekal; yaitu makrifat kepada Allah Ta’ala, mencintai-Nya, dan berpaling dari selain Dia. Dan bekal ini lebih baik daripada bekal yang pertama ditimbang dari beberapa sudut pandang:
1. Bekal dunia membebaskanmu dari siksa yang dipersangkakan. Sedangan siksa akhirat menyelamatkanmu dari siksa yang pasti sifatnya.
2. Bahwa bekal dunia menyelamatkanmu dari siksa yang pasti terputus, sedangkan bekal akhirat menyelamatkanmu dari siksa yang abadi.
3. Bahwa siksa dunia menghantarkanmu menuju kelezatan yang terkontaminasi dengan kepedihan, sakit dan bala bencana. Sedangkan bekal akhirat menghantarkanmu menuju kelezatan yang kekal lagi murni dari berbagai noda kerugian, kelezatan yang sama sekali tidak terputus dan tidak lenyap.
4. Bahwa bekal dunia; setiap saat pasti akan berlalu dan lenyap; sedangkan bekal akhirat akan menghantarkanmu menuju ke akhirat; dan setiap saatnya semakin mendekat, semakin menjelang dan makin dekat untuk sampai.
5. Bahwa bekal dunia menghantarkanmu menuju panggung syahwat dan nafsu; sedangkan bekal akhirat menghantarkanmu menuju pijakan pintu keagungan dan kesucian.
Berbekal Untuk Setiap Hal
Sedia payung sebelum hujan. Demikian pepatah mengatakan. Memang seseorang tak bisa lepas dari bekal. Dan bekal ini bermacam-macam, sesuai dengan keadaan dan peristiwa. Orang bepergian, haruslah berbekal dengan makanan ataupun bekal uang. Orang menempuh ujian, haruslah berbekal belajar. Orang berperang, haruslah berbekal dengan persenjataan dan kemantapan hati yang tentunya disertai doa dan keyakinan dalam bertawakkal kepada-Nya. Meskipun ini adalah sarana, namun kita diperintahkan untuk mengambil sebab dan sarana.Dan mengambil sebab tidaklah bertentangan dengan tawakkal seseorang. Orang yang mengambil sebab dan sarana, bukan berarti ia tidak yakin dengan pertolongan Allah Ta’ala.
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam sendiri kala hendak berhijrah ke Madinah, beliau membawa bekal. Ini seperti dikisahkan oleh Asma’ Binti Abi Bakar yang dimana sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah, Asma’ membuatkan bekal makanan untuk Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam di rumah Abu Bakar, namun Asma’ tidak mendapati tali untuk mengikat wadah makanan dan minum beliau. Lalu karena tidak ada yang bisa dijadikan tali pengikat selain kain pengikat milik Asma’ yang biasa ia pakai untuk mengikatkan pakaian di badannya, maka Abu Bakar memerientahkannya untuk merobeknya menjadi dua, yang satu untuk mengikat wadah makanan, yang satu lagi untuk mengikat wadah air. Karena itulah Asma’ digelari dengan Dzatu nithooqain (yang punya dua kain sabuk pengikat).
Inilah pentingnya mengambil bekal. Baik bekal yang sifatnya materi, maupun yang bersifat rohani; yakni bekal akhirat. Dan berkenaan dengan bekal dunia, ini tidaklah bertentangan dengan makna tawakkal; seperti yang telah diisyaratkan di muka. Makna tawakkal sendiri adalah menyerahkan urusan kepada Allah Ta’ala; dan mengandalkan hanya kepada Allah Ta’ala saja; serta tidak bergantung pada hamba. Lihatlah firman Allah Ta’ala:
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ
“Maka mintalah rezki itu di sisi Allah Ta’ala”. (QS. Al-Ankabut: 17)
Artinya mintalah rezeki dari sisi Allah Ta’ala, bukan dari sisi lain-Nya. Karena selain Dia tak ada yang memiliki sesuatupun. Bertawakkal kepada Allah Ta’ala adalah engkau mengosongkan hatimu dari kebergantungan kepada makhluk; dan engkau menyerahkan urusanmu kepada Allah Ta’ala; engkau mengharapkan kelapangan dari Allah Ta’ala; mengharapkan rezeki dengan disertai usaha melakukan sebab-sebab. Rosulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda:
وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي
“Dijadikan rezekiku di bawah naungan tombakku”. (HR. Ahmad)
Yakni ghanimah, yang didapat dari jihad. Betapakah jihad memerlukan persiapan-persiapan, perbekalan-perbekalan; menghimpun kekuatan, mengambil sebab-sebab kekuatan! Itu semua tidak hanya didapat dari sekedar berdoa, namun perlu pula persiapan kekuatan dan sebab-sebabnya.
Berbekallah dengan yang Baik dalam Mendidik Anak
Begitu pula dengan mendidik anak; perlu bekal yang cukup. Jangan disepelekan perkara bekal dalam mendidik anak. Karena anak sangat tergantung dengan pola kita mendidik mereka. Dan pola mendidik anak sangat ditentukan oleh bekal seseorang yang ia gunakan untuk mendidik anak. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya anak bila orangtua tidak punya bekal untuk mendidik anak. Atau ia punya bekal, namun bekal yang dimilikinya hanyalah bekal palsu. Seseorang bisa saja mengumpulkan semua teori dan semua trik dalam mendidik anak, namun yang ia koleksi dan ia pelajari justru teori dan trik yang ia ambil dari kaum kafir di mana mereka telah menyilaukan mata mereka. Seolah kemajuan anak adalah apabila si anak maju dalam berbahasa asing, maju dalam mengembangkan bakat dan talenta yang sebenarnya itu justru mengajarkan mereka untuk mengekor pada kaum kafir, dan hal-hal serupa yang seringkali dijumpai di kalangan kita.
Namun bila kita tak berbekal dengan bekal yang baik dalam mendidik mereka, maka itu sama saja kita telah menyia-nyiakan mereka. Dan dengarlah bagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai orang yang menyia-nyiakan mereka yang menjadi tanggungannya:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
“Cukuplah bagi seseorang untuk mendapat dosa bila ia menyia-nyiakan mereka yang tanggungan makannya (kehidupannya) ada padanya”. (HR. Abu Daud)
Bila seseorang menelantarkan anak-anak yang merupakan tanggungannya dengan tidak memberi makan dan nafkah kepada mereka dengan baik, maka bagaimana pula dengan orangtua yang menyia-nyiakan pendidikan anaknya? Padahal makanan rohani bagi anak khususnya dan bagi manusia secara umum jauh lebih penting dan bernilai dibandingkan makanan ragawi. Maka, kalau seseorang menelantarkan pendidikan anak, dikarenakan ia tidak mencari bekal untuk mendidiknya, iapun akan menanggung dosa, karena ia telah melantarkan anak untuk mengenal Islam dengan baik. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan kepada kita untuk mencari bekal dalam segala hal, termasuk bekal dalam mendidik anak, yang hasilnya pun akan kembali juga kepada kita. Amin.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu tahun ke-4 edisi ke-8
Leave a Reply