Melihat jauh kebelakang sejarah pendidikan dalam Islam, kita akan disuguhkan pemandangan model pendidikan yang dinamis dan visioner.
Sejak pertama kali menginjakkan kakinya di kota Madinah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam langsung membangun pondasi peradaban Islam dengan mendirikan masjid. Tidak hanya sebagai tempat ibadah, masjid menjadi model sekolah pertama dalam peradaban islam. Di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, pada abad ke-7 ada sembilan masjid di kota Madinah. Dengan demikian sekolah pertama muncul di kota ini dan menyebar luas, kemudian bersemi di Damaskus, Syria pada tahun 744 M. Pada akhir abad ke-9 di Cordoba, sebagai pusat peradaban Islam baru, hampir setiap masjidnya memiliki sekolah dasar bagi anak laki-laki dan perempuan.
Pada usia 6 tahun, hampir semua anak laki-laki, kecuali orang kaya (yang memiliki pengajar sendiri), beberapa anak perempuan dan beberapa anak budak, memulai sekolah dasar. Sekolah-sekolah ini umumnya adalah gratis atau sangat murah sehingga dapat dijangkau oleh semua kalangan.
Pada abad ke-10 di Persia, untuk kali pertama Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) berpindah dari masjid ke rumah-rumah guru, menandakan model pendidikan sekolah mulai berkembang secara bertahap. Kemudian pada tahun 1066, ketika bangsa Norman menginvasi Inggris, bangsa Seljuk membangun sekolah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk di Baghdad. Inilah sekolah pertama yang memiliki ruang kelas yang terpisah (dari masjid).
Seperti bangunan-bangunan muslim lainnya, sekolah dibangun dengan biaya yang tidak sedikit, dan keindahan menjadi pertimbangan yang utama. Setiap bangunan memiliki halaman dengan satu, dua, tiga atau empat iwans (aula lengkung besar yang terbuka langsung ke halaman) yang digunakan sebagai tempat belajar, juga tempat sholat, kamar akomodasi, dan tempat wudhu. Pada masa inilah untuk pertama kalinya, penguasa mulai mengatur dan mengawasi proses KBM, dan para guru harus mendapatkan ijin sebelum mengajar.
Pada abad ke-15, pemerintahan Turki Utsmani membuat perubahan revolusioner pada sekolah-sekolah dengan membuat kompleks pendidikan di kota-kota seperti di Bursa dan Edirne. Sistem sekolah ini mereka sebut Kulliye, menyerupai kampus pendidikan yang memiliki masjid, rumah sakit, dapur umum dan ruang makan. Hal ini menjadikan pendidikan mudah dijangkau oleh masyarakat umum dengan menawarkan makan gratis, perawatan kesehatan, dan terkadang akomodasi. Fatih Kulliye di Istanbul adalah semacam kompleks pendidikan dengan 16 sekolah yang mengajarkan sains dan teologi.
Dari mana sumber dana untuk membiayai lembaga-lembaga pendidikan seperti ini? Sumber dananya tidak mengandalkan pajak melainkan dana masyarakat yang diberikan secara sukarela melalui lembaga waqaf. Adapun pembiayaan keuangannya meliputi perawatan, gaji guru, akomodasi, makanan buat pelajar dan juga beasiswa bagi yang membutuhkan.
Karena pendidikan punya kedudukan yang mulia, maka uang diberikan dengan sukarela dan proses belajar tumbuh dengan subur. Ibnu Batutah, seorang petualang muslim abad ke-14, berbicara mengenai para pelajar yang mendapat dukungan seratus persen ini: “… siapapun yang ingin menuntut ilmu atau mencurahkan hidupnya untuk beribadah maka akan dibantu untuk menunaikan tujuan ini”,
Universitas
Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah, para pelajar akan kembali mendalami ilmu tata bahasa Arab dan syair, logika, aljabar, biologi, sejarah, hukum dan teologi di perguruan-perguruan tinggi. Ada pula beberapa akademi sain yang memiliki rektor sendiri.
Ada tumpang tindih antara pendidikan sekolah dan perguruan tinggi. Keduanya dimulai dari masjid, akan tetapi perguruan tinggi dalam bahasa Arab adalah Jami’ah bentuk feminim dari ‘masjid’ yang dalam bahasa Arab berarti Jami’. Oleh sebab itu dalam Bahasa Arab, tempat ibadah dan perguruan tinggi menjadi tak terpisahkan. Tak ada kebudayaan di dunia ini yang menyerupai tradisi ini dan beberapa masjid dalam Islam adalah perguruan tinggi tertua.
Universitas masjid yang terkenal adalah Al-Azhar, Mesir, yang masih berkontribusi sampai hari ini. Menjadi titik fokus pendidikan tinggi di Mesir, ia mampu menarik minat banyak intelektual terbaik. Sehingga ia dikenal karena usianya dan juga kemasyhuran alumninya. Sebutlah Ibn Al-Haitsam yang menemukan ‘bagaimana kita melihat’, tinggal disana dalam waktu yang lama, lalu, Ibnu Khaldun, sosiolog unggul abad ke-14 juga pernah mengajar disana.
Komplek masjid-universitas terbesar adalah Al-Qorowiyin di Fez, Maroko. Universitas ini awalnya dibangun untuk masjid pada pemerintahan raja Idris di tahun 841M oleh Fatimah Al-Fihri, seorag wanita muda yang shalihah dan dermawan. Ia adalah seorang yang sangat terpelajar, setelah diwarisi kekayaan yang banyak dari ayahnya, ia menjadi pebisnis yang sukses, berjanji menghabiskan semua warisannya untuk membangun masjid/ universitas bagi masyarakatnya di Fez. Ia meminta semua bangunan diambil dari tanah yang sama. Ketika menjalankan proyek besar ini, ia mulai berpuasa setiap hari sampai selesai pembangunan selesai.
Fatimah Al-Fihri menginginkan adanya pusat pendidkan bagi masyarakat Fez. Layaknya beberapa masjid agung. Al-Qorowiyin segera dikembangkan menjadi tempat mengajar agama dan diskusi politik, kemudian terus berkembang kepada semua disiplin ilmu, khususnya ilmu alam. Oleh sebab itu Al-Qorowiyin dianggap sebagai universitas (modern) pertama dalam sejarah.
Universitas ini dilengkapi dengan baik, khususnya alat-alat astronomi dan ‘ruang timer’ yang memiliki ruang astrolabe, jam pasir, dan instrumen lain untuk menghitung waktu. Disamping astronomi, ada juga disiplin ilmu Al-Quran dan teologi, hukum, retorika, penulisan prosa dan syair, logika, aritmatika, geografi dan kedokteran. Ada juga pengajaran tata bahasa, sejarah muslim, dan elemen-elemen kimia dan matematika. Ragam disiplin ilmu dan kualitas pengajaran yang tinggi menarik minat ilmuan dan pelajar dari seluruh dunia. Saking banyaknya peminat maka perguruan tinggipun menerapkan sistem seleksi yang sangat ketat seperti yang terjadi pada perguruan tinggi sekarang. Persyaratan meliputi penguasaan Al-Quran, pengetahuan bahasa Arab dan ilmu sains umum.
Universitas masjid tidak hanya merekrut para pelajar lokal, melainkan internasional. Seperti di universitas Abbasiyah Baghdad, Iraq, ilmu kedokteran, farmakologi, teknik, astronomi dan disiplin ilmu yang lain diajarkan kepada para pelajar dari Syria, Persia, dan India. Para pelajar di Universitas Al-Azhar di Kairo meliputi pelajar luar negeri dalam jumlah besar, disamping bangsa Mesir dari luar Kairo. Mereka, yag berkuliah di Al-Azhar mendapatkan tempat tinggal dan makan gratis. Setiap komplek hunian yang besar terdiri dari perpustakaan, dapur dan toilet. Dukungan keuangan bagi para pelajar adalah bagian dari paket pendidikan. Di universitas-masjid Al-Qorowiyin Maroko para pelajar tidak dibebani biaya seperti saat ini, dan diberikan tunjangan keuangan untuk makan dan akomodasi. Semua ini menjadi mungkin dengan sokongan dana dari para dermawan. Para pelajar tinggal di gedung berlantai dua dan tiga, masing-masing 50 sampa seratus peghuni.
Layaknya universitas terkemuka lainnya, universitas-masjid juga memiliki perpustakaan yang fenomenal dengan jumlah koleksi yang sangat banyak, yang berasal dari koleksi-koleksi pribadi. Di masjid Az-Zaituna di Tunisia, ada beberapa manuskrip tata bahasa, logika, dokumentasi, etika penelitian, kosmologi, aritmetika, geometri, mineral dan pelatihan kejuruan. Di perpustakaan Atiqa Qoyrawan milik masyarakat Qoyrawan, ada terjemahan Arab dari ‘Sejarah Bangsa-Bangsa Kuno’ yang ditulis oleh Jerome sebelum tahun 420M.
Proses belajar dilakukan dalam satu kelompok yang diberi nama halaqatul ilm atau halaqah. Para pelajar duduk semi lingkaran di depan guru. Ilmuwan tamu dipersilahkan duduk disamping pemateri/ dosen untuk memuliakan mereka, dan dibanyak halaqoh-halaqoh, bagian khusus selalu dipersiapkan untuk para pengunjung. Masjid Amr dekat Kairo memiliki 40 halaqoh, dan di masjid pusat Kairo ada 120 halaqoh.
Menyelesaikan pendidikan di universitas-masjid tidaklah mudah. Sebagai contoh yang terjadi pada disipln ilmu kedokteran. Seperti universitas-universitas saat ini, kedokteran harus melalui ujian yang panjang dan sulit. Bagi yang tidak lulus ujian tidak dapat melakukan praktek dan secara formal dinyatakan inkompeten.
Para pelajar ilmu hukum harus melalui pelatihan undergraduate, mereka yang lulus dipilih oleh guru/ dosen sebagai rekan kerjanya dan diperbolehkan melanjutkan ke jenjang sarjana tanpa periode waktu yang terbatas. Biasanya sampai 20 tahun sebelum mereka menduduki kursi professor sendiri. Pelajar hukum harus mendapatkan sertifikat otoritas dan lisensi sebelum praktek.
Sertifikat-sertifikat ini yang dikenal dengan sebutan ijazah, kemungkinan asal mula dari istilah ‘baccalareus (BA)’ yang merupakan tingkat perguruan tinggi yang paling rendah. Istilah ini pertama kali muncul di Universitas Paris yang disetup pada tahun 1231 oleh Pope Gregory IX. Ini bisa jadi bahasa latin untuk istilah dalam bahasa Arab ‘Bi haq al-Riwayah’ yang berarti hak untuk mengajar yang diberikan oleh pihak otoritas dan frase ini digunakan dalam sertifikat sarjana/Ijazah, selama enam abad. Ketika seorang pelajar telah dinyatakan lulus maka Ia diberikan lisensi ini yang secara literal berarti ia sekarang memiliki hak mengajarkan. Sekarang ‘BA Internasional’ adalah kualifikasi untuk pelajar internasional sehingga mereka dapat diterima di universitas manapun di dunia.
Umat Islam telah melembagakan pendidikan tinggi. Ada ujian masuk, ujian akhir, sertifikat sarjana, lingkaran belajar, pelajar internasional dan terakhir adalah jaminan pendidikan. Faktanya ada korespondensi atau korelasi luar biasa antara model universitas abad pertengahan dengan metode-metode yang ada saat ini.
Tulisan ini disarikan dari pembahasan tentang ‘Sekolah’ dalam buku Al-Hasani, Salim TS. 2007. 1001 Inventions: Muslim Heritage In Our World 2nd Edition. UK: Foundation for Science, Technology and Civilization
Sumber: Majalah Lentera Qolbu, Tahun ke-4 Edisi ke-9
Sumber gambar: madinahstudent.co.uk
Bismillah, ikuti juga:
https://tulisansulaifi.wordpress.com/2016/09/13/sejarah-sekolah-dalam-islam/
Barakallah fiikum