Cara Mudah Menuju Ikhlas (Bagian 1)

cara mudah menuju ikhlas bagian 1

Cara Mudah Menuju Ikhlas (Bagian 1) – Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Kami memuji, meminta pertolongan, dan memohon ampunan kepada-Nya. Kami juga berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa dan buruknya amal perbuatan kami. Shalawat dan salam semoga senantiasa ditujukan atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya. Pada pembahasan kali ini kita akan membahas tentang “Cara Mudah Menuju Ikhlas bagian ke-1”. Dalam bab ini kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan Definisi Ikhlas, Urgensi Ikhlas, Tempatnya Ikhlas. Untuk pembahasan yang lebih rinci sebagai berikut.

BAB 1 IKHLAS

(Definisi, Urgensi, dan Tempat)

A. Definisi

Menurut bahasa kata (خَلِصَ يَخْلُصُ خُلُوْصًا وَخَلَاصًا), artinya sesuatu itu pada awalnya tercampuri yang lainnya, kemudian menjadi selamat, murni dan bersih. Sesuatu yang mengalami proses tertentu disebut (خَالِصٌ).

Makna ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala:

وَإِنَّ لَكُمْ فِى الْأَنْعَمِ لَعِبْرَةًصا نُّسْقِيكُم مِّمَّا فِى بُطُونِهِ, مِنم بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَّبَنًا خَالِصًا سَآئِخًا لِّلشَّرِبِينَ

Artinya:“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya, (berupa) susu yang bersih antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (Qs. An-Nahl: 66)

Pada ayat di atas, susu yang bersih, tidak tercampuri kotoran maupun darah dikatakan khaalisban (murni).

Adapun kata ikhlas, secara bahasa terbentuk dari (أَخْلَصَ-يُخْلِصُ-إِخْلاَصَا) artinya memurnikan sesuatu dan membersihkannya dari sesuatu yang mencampuri dan menodainya. Orang yang memurnikan sesuatu tersebut disebut (مُخْلِصٌ).

Dalam kitab at-Tauqiif ‘alaa Muhimmaatit Ta’aariif1 disebut bahwa kata ikhlas ini kemudian menjadi satu istilah bahasa yang berarti meninggalkan riya’ (ingin dilihat orang) dalam ketaatan kepada Allah. Sedangkan menurut istilah, ikhlas itu adalah membersihkan hati dari segala sesuatu yang menodai kejernihannya. Perbuatan orang yang membersihkan hatinya ini disebut ikhlas.

Amal-amal hati menentukan bagus dan rusaknya amal badan. Dan ikhlas merupakan amal hati yang paling pertama dan utama, paling penting, paling tinggi, dan merupakan pondasi dari seluruh amal. Ikhlas merupakan hak-hak agama dan merupakan kunci dakwah para Rasul ‘alaihimussalam.

Firman Allah Ta’ala:

وَمَآ أُمِرُواْ إِلَّا لِيَعْبُدُواْ اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَآءَ

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Qs. Al-Bayyinah: 5)

Dan Firman Allah Ta’ala:

أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُج

Artinya: “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Qs. Az-Zumar: 3)

Definisi ikhlas yang dikemukakan oleh para ulama Salaf tidak jauh berbeda, di antaranya:

  • Beramal untuk Allah semata, tidak ada bagian untuk selain Allah
  • Melakukan ketaatan dengan tujuan semata-mata menunaikan hak Allah Ta’ala
  • Membersihkan amal dari perhatian makhluk
  • Membersihkan amal dari segala hal yang menodainya

Inti dari definisi-definisi itu menunjukkan bahwa seluruh peribadatan seorang hamba haruslah ditujukan secara murni hanya kepada Allah semata, tidak kepada yang lainnya. Ikhlas adalah mentauhidkan tujuan ibadah hanya kepada Allah Yang Maha Esa. Karena ini pula, maka surat Qul huwallaahu ahad yang sarat dengan makna tauhid dinamai surat al-Ikhlaash. Dan karena itu pula maka kalimat tauhid (Laa ilaaha illallaah) dinamai pula dengan kaliimatul ikhlaash.

B. Urgensi Ikhlas

Dalam islam, ikhlas menempati kedudukan yang sangat tinggi dan penting. Hal ini karena:

  1. Ikhlas merupakan syarat amal agar diterima

Ikhlas dalam ibadah merupakan salah satu prinsip dari dua prinsip yang sangat penting dan vital dalam islam. Ibadah tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala apabila tidak disertai dua syarat, yakni:

Pertama: ikhlas (murni karena Allah), dan

Kedua: Ittiba’ (dengan tata cara ibadah yang mengikuti teladan dan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Prinsip ikhlas merupakan konsekuensi dari syahadat (kesaksian) bahwa Laa ilaaha illallaah (tidak ada illah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata). Sedangkan prinsip ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) merupakan konsekuensi dari syahadat wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasuuluh (Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya).

Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِى خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَواةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاًج

Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kami, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Qs. Al-Mulk: 2)

Yang dimaksud dengan kalimat “yang lebih baik amalnya”, menurut al-Fudhail bin ‘Iyadh adalah “yang paling ikhlas dan paling benar”. Lalu beliau ditanya, “Wahai Abu ‘Ali (panggilan kunyah tersebut dengan menyebut Wahai Abu ‘Ali = Wahai Ayahnya ‘Ali), apa yang dimaksud dengan yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Maka ia menjawab, “Sesungguhnya, jika suatu amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar, maka amal itu tidak akan diterima. Demikian pula apabila dilakukan dengan benar namun tidak ikhlas, maka ini pun tidak akan diterima. Suatu amal hanya akan diterima apabila amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah amal yang ikhlas karena Allah, sedangkan amal yang benar adalah yang berdasarkan as-sunnah (mengikuti suri tauladan Nabi).”

Hal ini sesuai pula dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَلِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدَما

Artinya: “Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (Qs. Al-Kahfi:110)

Amal shalih adalah amal yang sesuai dengan petunjuk Nabi. Dan tidak menyekutukan Allah dalam ibadah artinya beribadah dengan ikhlas karena Allah semata.

  1. Ikhlas adalah pondasi dari kesuksesan dunia dan akhirat

Ikhlas merupakan pondasi dari bangunan amal yang membawa kesuksesan di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam Neraka Jahannam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Qs. At-Taubah:109)

Oleh karena itu, maka amal perbuatan orang kafir akan hancur berantakan, bagai bangunan yang rapuh tanpa pondasi yang kuat. Amal mereka tidak diterima oleh Allah Ta’ala, karena ia tidak ikhlas karena Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali Neraka.” (Qs. Huud:15-16)

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya Neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (Qs. Al-Israa’:18)

Dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat.” (Qs. Asy-Syuuraa:20)

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Al-Anfaal:47)

Ikhlas pun laksana ruh bagi jasad. Maka amal tanpa ikhlas, ibarat jasad yang mati, tanpa ruh di dalamnya. Amalnya tidak berharga sama sekali di sisi Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقَدِمْنآ إِلَى مَا عَمِلُواْ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَهُ هَبَآءً مَّنثُورًا

Artinya: “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (Qs. Al-Furqaan: 23)

 

C. Tempat Ikhlas

Tempatnya ikhlas adalah hati, dan ikhlas termasuk jenis amalan hati. Selain menempati hati, ikhlas juga sekaligus menjadi benteng hati. Manakala hati tersebut baik, karena diramaikan oleh penghuninya yang berupa keikhlasan, maka anggota badan seluruhnya akan baik. Manakala hati hancur, karena diisi dengan riya’, ingin dilihat dan ingin dikomentar oleh manusia, lalu ia mengusahakan kecintaan manusia, serta pujian dan sanjungan mereka, ditambah dengan rakus terhadap apa yang ada pada mereka, maka seluruh anggota badan pun akan dikerahkan untuk menghasilkan tujuan-tujuan yang hina itu. Tidak ada yang lebih gamblang menjelaskan keadaan ini selain sabda Rasulullah yang artinya: “Ingatlah, bahwa sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging. Apabila ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila buruk, maka buruklah seluruh jasadnya. Ingatlah, bahwa ia adalah hati.2

Hadits diatas memberikan pengertian kepada kita bahwa baik buruknya amal perbuatan yang dilakukan oleh anggota badan itu tergantung kepada baik buruknya hati. Pengertian ini dijelaskan pula dalam sabda beliau yang artinya: “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu tergantung kepada niat-niatnya. Dan seseorang hanya akan mendapatkan apa yang di niatkan. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh, atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya tergantung kepada apa yang ia niatkan ketika hijrah.3

Ikhlas diperlukan dalam ibadah-ibadah seperti do’a, shalat, zakat, puasa, jihad, amar ma’ruf, nahi munkar, dan pada segala sesuatu yang disyari’atkan Allah Ta’ala, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Dalam penunaian semua tugas yang disyari’atkan Allah tersebut, maka memotivasi seorang muslim adalah untuk menjunjung tinggi perintah Allah Ta’ala, takut terhadap siksa-Nya, dan penuh harap terhadap balasan dan pahala yang disediakan Allah Ta’ala disisi-Nya.

Adapun ikhlas dalam berdo’a, maka artinya: seorang hamba hanya berdo’a kepada Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Maka berdo’alah kepada Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (Qs. Ghaafir:14)

Jika ia menyekutukan-Nya dalam berdo’a dan beribadah, maka amal-amalnya akan gugur sia-sia, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu. ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Az-Zumar:65)

Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka jangnlah kamu menyembah seorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (Qs. Al-Jinn:18)

Ikhlas pun sangat diperlukan pada berbagai aktivitas manusia yang erat kaitannya dengan kegiatan sehari-hari mereka. Ikhlas dituntut dari seorang pekerja, pebisnis, guru, pelajar, pegawai sipil, pejabat, dan lain sebagainya. Baik-buruknya akhirat mereka tergantung kepada keikhlasan mereka.

Rasulullah pun pernah menceritakan bagaimana keikhlasan tiga orang yang terjebak di dalam gua, menyebabkan mereka diselamatkan oleh Allah Ta’ala.11 Lalu tengoklah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, imam orang-orang yang bertauhid, bagaimana keikhlasan beliau ‘alaihissalam memberikan bekas yang sangat agung bagi segenap umat manusia hingga hari Kiamat. Ingatlah keikhlasan beliau ketika dibakar. Renungkanlah keikhlasan beliau ‘alaihissalam ketika diperintahkan untuk meninggalkan anak istrinya di suatu lembah yang tandus. Dan perhatikanlah bagaimana keikhlasan beliau ‘alaihissalam dalam menjalankan perintah Allah untuk menyembelih putranya, Ismail ‘alaihis salam.

Apa yang Allah karuniakan kepada beliau atas semua keikhlasan itu?

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذِ ابْتَلَىآ إِبْرَهِيمَ رَبُّهُ, بِكَلِمَتٍ فَأَتَمَّهُنَّصا قَالَ إِنِّى جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إَمَامًاصا قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِىصا قَالَ لاَيَنَالُ عَهْدِى الْظَّلِمِينَ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikamu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zhalim.’” (Qs. Al-Baqarah:124)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah telah menguji Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan berbagai perintah dan larangan. Lalu beliau menunaikannya dengan ikhlas. Maka Allah jadikan beliau sebagai imam bagi seluruh manusia. Bahkan, Rasulullahpun diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti millah-nya.

Allah Ta’ala berfirman:

ثُمَّ أُوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ اتَّنِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًاصا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Artinya: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.’ Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (Qs. An-Nahl: 123)

Perhatikan pula bagaimana keikhlasan seorang pemuda dalam kisah ash-haabul ukhduud. Ia berhasil membawa sebagian besar penduduk negerinya menjadi mukmin dalam sehari, dengan keimanan mereka yang sangat kuat, hingga mereka rela dan lebih baik mati terbakar di parit api, daripada dipaksa untuk kembali lagi kepada kekufuran. Bersambung …

 

Referensi: Al-‘Abbad, Syaikh ‘Abdul. M. & Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Munajjid. (2014). Cara Mudah Menuju Ikhlas. Pustaka Ibnu ‘Umar.

Diringkas oleh : Dwi Hidayatun, S.Pd. (Staff Pengajar Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur)

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.