Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

NASIHAT UNTUK PEMUDA AHLUSSUNNAH

nasihat-untuk-pemuda-ahlussunnah

Segala puji hanya miik Allah, Rabb semesta alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa di limpahkan kepada nabi kita, nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, keluarganya dan seluruh sahabatnya. Amma ba’du. Berikut ini adalah untaian nasihat yang ditunjukan kepada pemuda Ahlussunnah wal-jama’ah, yang harus ditulis untuk menasihati kaum muslimin. Dan mendamaikan antara sesama Ahlussunnah sebagaimana dianjurkan dalam banyak dalil syariat.

Berikut ini adalah untaian-untaian nasihat untuk pemuda Ahlussunnah :

1. Termasuk salah satu prinsip dalam agama Islam, bahwa setiap muslim berkepentingan dengan memperbaiki dirinya. dan berusaha mewujudkan keselamatan dirinya, serta menjauhi sebab-sebab kebinasaannya, sebelum dia menyibukkan dirinya terhadap orang lain.

Sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala berfirman :

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan saling menasihati di dalam kebenaran dan saling menasihati di dalam kesabaran” [Al-Ashr: 1-3]

Allah Subhanahu Wata’ala mengabarkan orang-orang yang selamat dari kerugian (tidak merugi) yaitu orang-orang yang pada dirinya tertanam padanya sifat-sifat tersebut. Allah Subhanahu Wata’ala menyebutkan, bahwa mereka terlebih dahulu telah merealisasikan keimanan dan amal shalih pada diri mereka, sebelum mendakwahi orang lain. Dakwah dengan nasihat-menasihati supaya menetapi kebenaran, dan menasihati supaya menetapi kesabaran. Inilah dasar penetapan masalah ini.

Oleh karena itu, setiap pemuda hendaklah memperhatikan agar pembenahan dirinya sendiri, sebelum berusaha membenahi orang lain. Tatkala dirinya telah mencapai istiqomah dalam hal itu, dan telah menyatukan antara penerapan ajaran agama pada dirinya dengan perjuangan mendakwahi orang lain, maka ia benar-benar diatas petunjuk salaf, dan Allah Subhanahu Wata’ala akan melimpahkan manfaat dari (dakwah-Nya) mereka menjadi da’I yang menyeru kepada sunnah dengan ucapan dan prilakunya. Dan sungguh, demi Allah Subhanahu Wata’ala, inilah kedudukan yang tinggi. Bila seseorang berhasil mencapainya maka ia termasuk hamba Allah Subhanahu Wata’ala yang paling baik kedudukannya pada hari kiamat. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata:’sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” [Fusilat: 33]

2. Hendaklah diketahui, bahwasanya yang benar-benar dikatakan Ahlussunnah, ialah mereka yang menjalankan dengan sempurna (ajaran agama islam), baik secara ideologi (i’tiqad) maupun perilaku (suluk).

Suatu kekeliruan, bila yang dianggap sebagai Ahlussunnah atau seorang salafy, ialah seseorang yang merealisasikan aqidah Ahlussunnah semata, tanpa memperhatikan sisi perilaku, adab-adab islam, ataupun menunaikan hak-hak sesama muslim.

Syaikhul Islam ibnu taimiyah di akhir kitab aqidah wasitiyah setelah menyampaikan pokok-pokok ajaran Ahlussunnah dalam masalah I’tiqad, beliau berkata: ”Kemudian mereka (Ahlussunnah wal jama’ah), selain merealisasikan prinsip-prinsip ini (yaitu) saling memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari yang mungkar sesuai tuntunan syariat (maka) mereka memandang pelaksanaan ibadah haji, jihad, sholat jumat, sholat ied dilakukan bersama para pemimpin (penguasa), baik pemimpin yang baik (adil) maupun yang jahat (zhalim). Mereka senantiasa menegakkan shalat berjamaah dan menjalankan tanggung jawab memberikan nasihat kepada ummat. Mereka juga meyakini makna sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam:

المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضها بعضا

Permisalan (peran) mukmin terhadap seorang mukmin lainnya bagaikan bangunan yang kokoh yang sebagian menguatkan (menopang) sebagian yang lain” (HR Muslim)

Mereka memerintahkan untuk sabar tatkala tertimpa cobaan (kesusahan), dan bersyukur tatkala mendapatkan kelapangan, serta ridha dengan perjalan takdir yang pahit. Mereka menyeru kepada akhlak mulia, amal-amal terpuji. Dan meyaini makna sabda nabi  Shallallahu Alaihi Wasallam .

أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا

“Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya, ialah orang yang paling baik ahlaknya.” (Muttafaq Alaihi)

Mereka senantiasa menganjurkan utk menyambung(hubungan dengan) orag yang memtuskan huungan denganmu, dan memberi orag yang enggan memberimu, memaafkan orag yang menzalimimu. Mereka juga saling memerintahkan untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, juga untuk bersilaturrahmi dan berbuat baik kepada etangga. Mereka juga melarang dari perangai berbangga diri, sombong, mlampaui batas, melanggar hak orang lain, baik dengan alasan yang dibenarkan maupun tidak, mereka senantiasa memerintahkan agar komitmen dan menjaga akhlak terpuji, dan menjaga dari akhlak tercela. Semua perkataan dan perbuatan mereka yang disebutkan diatas, atau lainnya, mereka senantiasa mengikuti alkitab (al-quran) dan assunnah. Dan jalan hidup mereka ialah agama islam, yang dengannya Allah mengutus nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

3. diantara tujuan agung untuk diraih dan dianjurkan agama islam, ialah mengajak manusia untuk menganut agama ini.

Sebagaimana yang disampaikan kepada sahabat Ali ketika nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengutusnya ke khaibar, yaitu pada saat perang khaibar.

والله لأن يهدي الله بهداك رجلا واحدا خير لك من حمر النعم

Seandainya Allah memberi petunjuk denganmu seorang saja, itu lebih baik bagimu daripada (memiliki) unta merah. (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh sebab itu orang-orang yang telah dikaruniai hidayah (petunjuk) untuk mengamalkan sunnah, hendaklah bersungguh-sungguh mendakwahi orang lain yang masih tersesat dari sunnah, atau kurang memperhatikannya. Dalam mendakwahi mereka agar benar-benar merealisasikan sunnah, hendaklah menempuh dengan segala daya dan upaya yang dapat mereka lakukan dalam menuntun manusia dan mendekatkan hati mereka untuk menerima kebenaran.

Hal itu, diwujudkan dengan mendakwahi mereka dengan cara lemah lembut, sebagaima firman Allah Subhanahu Wata’ala tatkala berkata kepada nabi musa ‘alaihis salam dan nabi Harun ‘alaihis salam.

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ( ) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Pergilah kalian berdua kepada Firaun, sesungguhnya ia telah melampaui batas, maka bicaralah kamu kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. [Taha: 43-44].

4. Para pelajar (penuntut ilmu) terutama para da’i, hendaklah dapat membedakan antara al-mudarah dan al-mudahanah.

Al-mudarah adalah sesuatu yang dianjurkan. Ia berhubungan dengan sikap lemah lembut dalam pergaulan, sebagaimana disebutkan dalam kitab lisanul ‘arab “bersikap al-mudarah terhadap orang lain, yaitu bersikap ramah tamah kepada mereka, bermuamalah dengan cara yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, sehingga mereka tidak menjauh darimu.”

Sedangka al-mudahanah (menjilat) adalah sikap yang tercela. Ia berhubungan dengan masalah agama. Allah berfirman:

وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula) kepadamu. [al-Qalam: 9]

Dengan demikian, orang yang bersikap mudarah akan berlemah lembut dalam pergaulan, tanpa meninggalkan sedikitpun dari prinsip agamanya. Sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian prinsip agamanya.

Hendaklah para pelajar memperhatikan perbedaan antara dua perangai ini, karena sebagian orang beranggapan bahwa bersikap ramah tamah kepada orang lain dan berlemah lembut sebagai tanda kelemahan dan luluh dalam (mengemban perintah) agama.

Pada saat lainnya ada yang beranggapan bahwa sikap membiarkan orang lain dalam kebatilan dan berdiam diri tatkala melihat kesalahan merupakan bagian dari sikap (ar-rifqu). Sudah barang tentu kedua kelompok (anggapan) ini salah dan tersesat dari kebenaran. Hal ini, hendaklah benar-benar diperhatikan dengan baik karena salah paham dalam permasalahan ini sangat berbahaya dan tidak selamat darinya kecuali orang-orang yang diberi taufik (bimbingan) dan petunjuk dari Allah Subhanahu Wata’ala.

5. Seorang da’i dalam berdakwah kepada manusia memiliki dua metode syar’i yang disebutkan dalam banyak dalil. Yaitu: metode menarik simpati dan targhib (menganjurkan), metode hajr (memboikot) atau menjauhi dan mengancam (at-tarhib).

Sehingga merupakan kesalahan bila seseorang bersikap monoton (hanya menerapkan satu metode saja) kepada seseorang. Oleh karena itu, dalam menghadapi seseorang yang menyelisihi kebenaran, hendaklah ia memilih metode yang paling memiliki harapan besar sehingga orang yang menyelisihi kebenaran itu dapat menerima kebenaran dan kembali kepada jalan yang lurus.

Apabila dengan menarik simpatilah yang lebih bermanfaat dan lebih besar harapannya bila diterapkan kepada seorang pelanggar, agar ia mejadi lebih baik, maka cara inilah yang disyariatkan (dibenarkan) untuk menghadapi orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, dalam menerapkan hajr (memboikot) itu lebih berguna bila diterapkan kepadanya, maka cara inilah yang disyariatkan.

Barangsiapa yang menerapkan metode menarik simpati (ta’lif) terhadap orang yang selayaknya di-hajr (diboikot), maka ia telah bertindak gegabah dan lalai. Dan barangsiapa yang menerapkan metode hajr (boikot) terhadap orang yang selayaknya ditarik simpatinya maka ia telah berbuat munaffir (menjadikan orang lain lari) dan ekstrim (menyimpang).

Sehingga apabila manfaat dan kemaslahatan yang dipetik dari sikap (boikot) lebih besar (dibandingkan) dengan kerugiannya, sehingga dengan ia diboikot, kejelekkan menjadi melemah dan hilang, maka pada saat itulah hajr (boikot) disyariatkan. Akan tetapi (sebaliknya), bila orang yang diboikot dan orang selainnya tidak menjadi jera, bahkan kejelekannya semakin bertambah, sedangkan pelaku hajr (boikot) kedudukannya lemah, sehingga kerugian yang ditimbulkan lebih besar dibandingkan mashlahatnya, maka pada keadaan ini, tidak disyariatkan hajr (boikot).

Bahkan terkadang menarik simpati (ta’lif) untuk sebagian orang itu lebih berguna disbanding memboikotnya, dan boikot untuk sebagian lainnya lebih berguna dibanding cara ta’lif (menarik simpatinya). Oleh Karena itu, dahulu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menarik simpati sebagian orang dan memboikot sebagian lainnya.

Sebagaimana yang demikian ini terkadang disyariatkan untuk menghadapi musuh dalam peperangan, saat perdamian, dan terkadang dengan cara mengambil jizyah (upeti). Semua itu disesuaikan dengan situasi dan kemaslahatan.

Jawaban para imam, seperti imam ahmad dan lainnya tentang permasalahan ini didasari oleh prinsip tersebut.  Beliau juga menjelaskan orang yang menyamaratakan penerapan hajr (boikot) maupun ta’lif (menarik simpati) tanpa memperhatikan prinsip diatas, dengan mengatakan: “sebagian orang menerapkan hajr (boikot) itu secara umum, sehingga meng-hajr (mengingkari) orang yang tidak disyariatkan untuk dihajr itu, sehingga tidak diwajibkan dan juga tidak disunnahkan. Dan mungkin saja tidak memberlakukan hajr merupakan kewajiban atau disunnahkan, dan melakukannya menjadi terlarang. Sedangkan sebagian orang ada yang berpaling dari itu semua, sehingga ia enggan untuk memboikot (menjauhi) sesuatu yang diperintahkan untuk diboikot (dijauhi) yaitu berupa hal-hal buruk lagi bid’ah”.

 

Nasihat Untuk Pemuda Ahlussunnah

Diringkas oleh : Nurul Lathifah

Dari Majalah As-Sunnah Edisi Ramadhan 06-07/TAHUN XI/1428H/2007M

artikel lainnya:

Untuk Apa Berwudhu?

Bahaya Kebiasaan Berhutang

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.