Adab-adab Dalam Safar dan Berkendaraan (bagian 1)

adab-adab dalam safar dan berkendaraan

Adab-adab Dalam Safar dan Berkendaraan (bagian 1) – Di antara kondisi yang dapat mengetahui akhlak seseorang yang sesungguhnya adalah ketika dalam kondisi safar. Secara etimologi الشفر bermakna menyingkap. Imam al-Ghazali Rahimahullah menyebutkan:

وَإِنَّمَا سُمِّيَ السَّفَرُ سَفَرًا لِأَنَّهُ يُسْفِرُ عَنِ الْأَخْلَاقِ

Artinya: “Sejatinya safar dinamakan dengan safar karena menyingkap tentang akhlak.”[1]

Secara umum, adab yang harus diperhatikan selama dalam safar adalah akhlak kepada teman safar, yaitu dengan saling menghargai, saling membantu untuk kepentingan bersama, memakan bekal bersama, tidak saling menyinggung perasaan dan akhlak terpuji lainnya yang harus diperhatikan, baik di dalam safar maupun diluar safar. Diantara akhlak safar adalah sebagai berikut:

  1. Membaca doa ketika menaiki kendaraan

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Rabi’ah Rahimahullah berkata:

شَهِدْتُ عَلِيًّا، أُتِيَ بِدَابَّةٍ لِيَرْكَبَهَا، فَلَمَّا وَضَعَ رِجْلَهُ فِي الرِّكَابِ، قَالَ: «بِسْماللَّهِ ثَلَاثًا، فَلَمَّا اسْتَوَى عَلَى ظَهْرِهَا، قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ»، ثُمَّ قَالَ: ” سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا، وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ }، ثُمَّ قَالَ: «الْحَمْدُ لله ثَلَاثًا، «اللهُ أَكْبَرُ ثَلَاثًا، «سُبْحَانَكَ إِنِّي قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ»، ثُمَّ ضَحِكَ. فَقُلْتُ: مِنْ أَيِّ شَيْءٍ ضَحِكْتَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ؟ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَنَعَ كَمَا صَنَعْتُ، ثُمَّ ضَحِكَ، فَقُلْتُ: مِنْ أَيِّ شَيْءٍ ضَحِكْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: “إِنَّ رَبَّكَ لَيَعْجَبُ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا قَالَ: رَبِّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ غَيْرُكَ

Artinya: “Aku melihat Ali bin Abu Thalib didatangkan tunggangan kepadanya tatkala dia meletakkan kakinya di pijakan dia mengucapkan, ‘Bismillah’ (3x). Setelah dia berada di atas punggung  tunggangannya, maka dia mengucapkan, ‘Alhamdulillah’, kemudian dia berdo’a,‘Subhanalladzi  sakhkhara lana hadza wa maa kunna lahuu muqriniin wa inna ilaa rabbina lamunqalibuun’. (Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami (di hari kiamat) kemudian dia mengucapkan, ‘Alhamdulillah’ (3x), Allahu Akbar (3x), ‘subhaanaka innii dzalamtu nafsii faghfirlii fa innahu laa yaghfirudzdzunuuba illa anta’, (Maha Suci Engkau ya Allah, sesungguhnya aku menganiyaya diriku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau)’, kemudian dia tertawa, maka aku berkata, ‘kenapa engkau tertawa wahai Amirul Mukminin’, maka dia berkata; Aku melihat Rasulullah melakukan seperti yang aku lakukan, kemudian beliau tertawa, lalu aku bertanya kepada beliau wahai Rasulullah apa yang membuat engkau tertawa?. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Rabb-mu kagum melihat seorang hamba ketika dia mengucapkan ‘Ya Allah ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau’ (hamba tersebut tahu bahwa tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali  Aku (Allah).”[2]

  1. Membaca doa ketika pulang dari safar

Ketika seseorang pulang dari safar menuju rumahnya, maka hendaknya dia membaca doa yang sama. Namun, hendaknya dia menambahkan di dalam doanya,

آيبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُون

“Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Tuhan kami.”

  1. Membaca doa ketika mendapati tempat yang tinggi atau tempat yang rendah

Di antara adab di dalam safar ataupun berkendaraan, jika seseorang menaiki tempat yang tinggi, maka hendaknya dia bertakbir. Jika mendapati tempat yang menurun, maka hendaknya bertasbih.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu Anhu berkata:

كُنَّا إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا، وَإِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا

Artinya: “Jika kami mendapati jalan naik, maka kami bertakbir dan jika mendapati jalan turun, maka kami bertasbih.”[3]

Para ulama menjelaskan bahwa di antara hikmahnya adalah ketika seseorang menaiki tempat yang tinggi atau naik di dalam kendaraan yang bagus atau kendaraan yang mampu membawanya ke tempat yang tinggi, lalu dia akan merasa lebih tinggi, maka hendaknya dia ingat bahwa ada Dzat yang lebih tinggi yaitu Allah. Allah Maha Besar dan Maha Tinggi dari segalanya. Adapun ketika tasbih ketika dia menuruni jalan, sebagaimana kisah Nabi Yunus ketika berada di perut ikan, dengan tasbihnya Allah menyelamatkannya dari kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. [4]

  1. Mendoakan orang yang hendak bersafar

Demikian juga di antara adab yang diajarkan Nabi Muhammad ketika safar adalah beliau mendoakan orang yang hendak bersafar, beliau mendoakannya dengan mengucapkan:

أَسْتَوْدُعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ

Artinya: “Aku menitipkan kepada Allah agamamu, amanahmu dan penutup-penutup amalanmu.”[5]

Ibnu Abdil Barr Rahimahullah menyebutkan di antara hikmah seseorang berpamitan untuk bersafar dengan orang-orang yang ditinggalkannya adalah agar mereka mendoakannya selama dalam kondisi safar, sehingga dia mendapatkan keberuntungan dengan doa-doa yang ditujukan kepadanya. Jika mereka berdoa dengan tulus berharap agar Allah selalu memberikan penjagaan dan perlindungan kepadanya.[6]

  1. Bersafar dengan istri atau keluarga

Di antara hal yang disunahkan jika kita hendak bersafar adalah hendaknya bersafar dengan istri. Nabi Muhammad selalu bersama istrinya setiap kali melakukan safar. Bahkan, di dalam safar mengerikan, yaitu safar untuk berjihad. Ini merupakan sunah dari Nabi Muhammad. Jika kita memiliki harta yang berlebih, maka hendaknya kita mengajak istri kita setiap kali hendak melakukan safar. Jika seseorang memiliki istri lebih dari satu, maka dia bisa mengundi di antara istri yang mana yang hendak diajak untuk ikut menemaninya safar. Jika ada uzur sehingga tidak mampu membawa serta keluarganya untuk bersafar, maka tidak menjadi masalah. Namun, selama dia mampu membawa keluarganya, maka hendaknya dia melakukannya.

Dengan hadirnya istri kita yang menemani safar, sejatinya membuat kita lebih bertakwa kepada Allah, lebih menjaga pandangan kita selama dalam safar, lebih sering mengingatkan kita ketika kita hendak terjerumus di dalam satu keburukan dan mengingatkan kepada kebaikan-kebaikan yang lain. Oleh karenanya, hendaknya seseorang selalu berpamitan kepada keluarga, kerabat, saudara maupun temannya ketika hendak bersafar. Bagi mereka yang hendak ditinggal safar, hendaknya tidak merasa malu untuk mendoakannya. Semoga dengan doa yang dipanjatkannya bermanfaat kepada musafir, sehingga Allah selalu memberikan penjagaan kepada musafir dan membuat perjalanannya menjadi berkah.

Dimakruhkan bersafar dalam keadaan sendiri, apalagi safar pada malam hari. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar, dari Nabi Muhammad  Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي الوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ، مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ

Artinya: “Seandainya manusia tahu apa yang aku tahu saat dia bersendirian, maka tidak ada seorang pun yang berkendara pada malam hari dalam keadaan sendirian.”[7]

Sebagian ulama menjelaskan bahwa pada zaman dahulu ketika seseorang sedang berpendirian atau bersafar dalam keadaan sendiri pada malam hari sangat membahayakan bagi dirinya. Hendaknya seseorang tidak melakukan safar pada malam hari dalam keadaan sendiri, karena banyak bahaya yang akan dijumpainya, baik itu berupa perampok, ketika mendapati kesulitan atau kesakitan, maka tidak ada orang yang melihatnya atau bahkan menolongnya, jika tiba-tiba dia meninggal dunia, maka tidak ada yang mampu menolongnya dan hal-hal berbahaya lainnya.

Adapun pada zaman sekarang -sebagian ulama menyebutkan bahwa- illah tersebut hampir tidak ada. Banyak orang yang melakukan safar pada malam hari dengan beramai-ramai, baik dengan menaiki kereta api, pesawat, kapal atau kendaraan yang lain. Meskipun satu musafir tidak mengenali musafir yang lain, tetapi mereka melakukan perjalanan dalam rombongan, sehingga menjauhkan dari risiko yang membahayakan bagi orang yang bersafar sendirian.

  1. Menunjuk pemimpin di dalam safar

Di antara adab di dalam safar adalah menunjuk pemimpin di dalam rombongan safar. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

Artinya: “Jika tiga orang pergi bersafar, hendaknya salah satu dari mereka menjadi pemimpin.”[8]

Barang siapa yang hendak melakukan safar dengan cara beramai- ramai, baik untuk haji, umrah, kunjungan memberikan bantuan bencana alam atau kepentingan banyak orang, maka harus ada yang menjadi pemimpin di antara mereka. Pentingnya kehadiran pemimpin dalam safar ini adalah agar tidak ada pertikaian. Pemimpin mereka bertugas untuk memberikan keputusan. Adapun yang lain harus menaati perintahnya dalam masalah safar. Semua keputusan pemimpin di dalam safar harus ditaati. Inilah di antara sunah agar tidak terjadi pertikaian di dalam safar. Oleh karenanya, hendaknya satu rombongan tersebut memilih pemimpin yang baik, bisa melihat situasi dan kondisi, memiliki ilmu, mampu mengendalikan emosi dan bijak dalam memimpin safar mereka.

Setelah kita telah menunjuk pemimpin di dalam safar, maka perkara selebihnya dan sesudahnya kita serahkan kepada Allah. Semua keputusan pemimpin di dalam safar harus ditaati selama itu adalah ketaatan kepada Allah.

  1. Berdoa ketika singgah pada suatu tempat yang asing

Barang siapa yang bersafar dan singgah dalam suatu tempat, maka hendaknya berdoa sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَق

Artinya: “Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan apa saja yang Dia ciptakan.”[9]

Alangkah baiknya seseorang ketika singgah di dalam suatu tempat mengucapkan doa tersebut. Bisa saja seseorang singgah di dalam tempat peristirahatan yang asing baginya, sehingga ada saja orang- orang atau hewan-hewan yang akan mencelakainya. Dengan membaca doa tersebut Allah akan melindunginya.

 

REFERENSI:

Diringkas oleh Nurul Latifah

Dari “KITABUL JAMI’”, penjelasan hadits-hadits adab dan akhlak jilid 2 (Adab-adab bersafar dan berpergian part 1). Karya Al-Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc., M.A. Ustadz Firanda Andirja Office.

 

[1] Ihya’ ‘Ulumiddin, (2/246).

[2] HR. Bukhari No. 2602.

[3] HR. Bukhari No. 2993.

[4] Lihat: Fathu al-Bari Karya Ibnu Hajar (6/136).

[5] HR. Ahmad No. 4524, hadits shahih.

[6] Bahjah al- majalis, (hlm.50).

[7] HR. Bukhari No. 2998.

[8] HR. Dawud No. 2608 dan hadits dinyatakan shahih oleh al-Albani

[9] HR. Muslim No. 2708

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.