Patut untuk kita cermati dan kita renungkan kehidupan diri kita. Seberapa lelah kita melakoni kehidupan ini?! Atau kalau kita masih belum merasa, lihatlah kehidupan umat manusia di sekitar kita. Orang yang miskin, dengan tak kenal lelah, ia mengais rejeki untuk sekadar dapat menyambung nafasnya. Sudah terbayang di benak kita bagaimana payah dan sengsaranya hidup yang ia lalui. Kalau orang kaya…? Mereka pun sebenarnya lelah dan penat. Mereka forsir pikiran dan tenaga mereka untuk memutar kekayaan mereka. Dan belum lagi kepenatan batin yang seringkali menjadikan mereka lebih menderita dari orang yang papa.
Kehidupan yang dijalani anak manusia memang berliku dan berkelok. Apapun pilihan hidupnya, selalu saja tak lepas dari kepenatan dan kepayahan. Seluruh fase hidupnya, selalu saja dililit kepayahan. Dan ini memang berlaku untuk semua kalangan, siapapun dia, baik itu si miskin, juga si kaya. Sejak anak manusia berada di dalam kandungan, ketika lahir, dewasa, tua, bahkan ketika ia memasuki fase alam kubur dan kemudian alam akhirat, terus saja ia dihantui kondisi ini.
Manusia Penuh Dengan Kepayahan
Alloh sendiri sudah menegaskan dalam Al-Quran mengenai hal ini.
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4)
Ibnu Abbas menyatakan bahwa makna fî kabad adalah ‘dalam kepayahan’. Al-Hasan berkata: “Manusia menanggung derita berbagai musibah dunia dan kesusahan di negeri akhirat.”[1] Memang demikian keadaannya. Ia senantiasa berada dalam kepayahan. Selalu saja ia menanggung beban dan derita semenjak ia masih berbentuk janin di kandungan ibunya, hingga ia menjumpai kematiannya. Dan tidak berhenti sampai di situ saja, iapun juga menanggung beban berat di alam kuburnya dan di akhirat. Kemudian setelah itu perjalananunya akan ditentukan, apakah ia akan ke negeri kenikmatan yang sama sekali tak ada kepayahan dan derita di dalamnya. Ataukah akan dihempaskan ke neraka; di mana derita abadi nan sungguh pedih akan senantiasa menyertainya.[2] Na`ûdzu billâh min dzâlik.
Ayat di atas sekaligus memberikan pelajaran berharga bagi setiap manusia yang mau berpikir. Karena bila ia sadar bahwa dirinya selalu berada di dalam kepayahan yang berkepanjangan, tentunya ia harus berupaya agar jerih payahnya yang melelahkan itu tak terbuang sia-sia. Lelah dan payahnya haruslah berlabuh di dermaga kebahagiaan abadi, yang sama sekali tak ada kepenatan dan kesusahan di sana. Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di berkata: “Sudah seharusnya bagi anak manusia untuk mengupayakan amal yang bisa membuatnya terbebas dari berbagai kesusahan ini. Untuk mengusahakan amal yang pasti akan mendatangkan kebahagiaan dan kesenangan yang abadi. Kalau ia tidak melakukannya, maka ia akan senantiasa menanggung derita siksa yang begitu pedih sepanjang masa.”[3]
Semua Ingin Bahagia, Akan Tetapi…
Tak dipungkiri bahwa jerih payah anak manusia di muka bumi ini sebenarnya adalah dalam rangka untuk menggapai kebahagiaan. Si miskin bekerja membanting tulang, si kaya memeras pikiran dan tenaga untuk mengolah hartanya, itu semua adalah untuk membahagiakan diri. Bahkan si malas pun punya alasan sendiri mengapa ia berleha-leha tak mau berpayah-payah. Ia ingin menyenangkan dirinya dengan tidak mau repot-repot bekerja. Dan sebenarnya iapun juga dalam keadaan yang sangat payah. Karena hatinya sudah sakit. Bila hati seseorang dijangkiti penyakit, dipecundangi oleh hawa nafsunya, bahkan kalau hatinya terhalangi dari cahaya kebenaran, sehingga ia sama sekali lalai kepada Tuhannya, maka itu artinya orang itu hidup penuh derita. Hatinya senantiasa tersiksa, tak dapat mengecap lezatnya amal. Dan kondisi ini lebih payah daripada kepayahan raga.
Alloh berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thôhâ: 124)
Dalam ayat ini ditegaskan dengan gamblang bahwa orang yang menyelisihi apa yang diturunkan Alloh kepada Rosul-Nya, maka kehidupannya akan menjadi sempit, penuh dengan berbagai keresahan, kegalauan, kesedihan dan kesudahan yang begitu buruk, meskipun ia memiliki harta triliunan. Karena kehidupan yang baik hanyalah bisa terwujud saat seseorang selalu taat kepada Alloh. Berikut ini saduran dari ucapan Ibnu Katsir mengenai masalah ini: “Orang yang berpaling dari petunjuk-Nya, maka baginya kehidupan yang sempit di dunia. Ia tidak punya ketenangan hati, dadanya tak merasa lapang. Bahkan dadanya terasa sempit menghimpit dikarenakan kesesatannya, meskipun keadaan lahiriahnya bergelimang nikmat, meski ia bisa mengenakan busana sesuka hati, meski ia bisa makan sesuka diri, dan meski ia bisa menghuni hunian manapun yang ia mau. Selama hatinya tidak bisa mencapai yakin dan tidak bisa meraih petunjuk, maka selama itu ia selalu dalam keresahan, kebimbangan dan keragu-raguan.” Maka bila seperti ini keadaannya, maka pastilah kehidupannya di alam kubur dan di negeri akhirat juga akan sempit terhimpit, penuh dengan derita dan siksa.
Peran Islam Dalam Ketenangan Hati
Maka di sinilah pentingnya peran Islam dalam memberikan ketenangan dan kebahagiaan hati. ini sudah menjadi harga mati. Sehingga kalaupun ada orang di luar pagar Islam yang mengaku menikmati ketenangan batin, maka sejatinya itu adalah ketenangan semu yang menipu.
Patut kiranya kita mencermati paparan berikut. Banyak orang yang dikaruniai kesehatan yang prima, dan juga harta yang berlimpah. Bahkan diri mereka telah ditempa dengan berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Akan tetapi justru mereka banyak mengeluh dan sangat bimbang. Hampir-hampir mereka tidak pernah merasakan ketenangan, dan tidak pernah merasakan kenikmatan. Seolah-olah hal yang nikmat dan menyenangkan bagi mereka adalah kepedihan dan kesedihan. Kepedihan telah menggelayuti hati mereka. Dan mereka tidak tahu apa penyebabnya. Mereka merasakan kepedihan hati yang tak bisa mereka tepis kecuali dengan menghilangkan akal mereka; dengan menenggak minuman keras. Itulah mengapa mereka sangat gandrung dengan minuman setan ini, karena itu adalah satu-satunya ‘obat penawar’ yang bisa meringankan derita mereka –menurut sangkaan mereka-.[4]
Dan rahasia ini semua adalah bahwa mereka tidak mempunyai satu hal yang sekiranya bisa digenggam jiwa mereka, pastilah jiwa akan tenang dan merasa nyaman secara haikiki. Hal ini adalah keyakinan yang benar, yakni Islam.
Penghidupan yang sempit memang Alloh jadikan bagi mereka yang berpaling dari peringatan-Nya. kesempitan ini sesuai dengan tingkat berpalingnya dari kebenaran, meskipun ia sendiri secara materi bergelimang dalam lautan nikmat. Hatinya gersang, hina, sedih, dijejali angan-angan palsu dan siksa batin yang hebat. Hanya saja hal-hal ini tertutupi karena ia dibuat mabuk oleh nafsu, syahwat dan cinta dunia; apalagi kalau ditambah dengan mabuk karena khomr. Orang yang mabuk syahwat dan nafsu tak bisa sadar kecuali bila ia sudah sekarat. Sedangkan kehidupan yang baik hanya diperuntukkan bagi orang yang beriman dan beramal shalih.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Maka bagaimanapun susah kehidupan yang kita lalui, namun kita berupaya agar kehidupan ini menjadi seperti yang diungkapkan sebagian ulama: Sungguh, di dunia ini ada surga. Surga dunia ini seperti halnya surga akhirat. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak bisa masuk surga akhirat.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 03 Tahun 02
[1] Tafsir Al-Baghawi dalam surat Ai-Balad.
[2] Aisarut Tafâsîr dalam surat Ai-Balad.
[3] Tafsir As-Sa`di dalam surat Ai-Balad dengan sedikit penyesuaian.
[4] Dikutip dari Mahâsinut Ta’wîl
Leave a Reply