Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Berjihad Memerangi Ujub

berjihad memerangi ujub

BERJIHAD MEMERANGI UJUB. Sesungguhnya segala pujian hanyalah milik Allah semata. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan, juga meminta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari keburukan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami.

  1. BAHAYA UJUB

Betapa banyak diantara kita yang berusaha menjauhi riya’  karena takut merusak amalan. Namun pada waktu yang bersamaan jiwa kita terulur kan dalam dekapan ujub, seperti bangga dengan amalan yang telah dimiliki, bangga dengan keberhasilan dakwah, dan bangga dengan kalimat-kalimat Indah yang di rangkai. Bukankah ujub juga menggugurkan amalan sebagaimana riya ?

Riya’ merupakan syirik dari sisi orang yang beramal shaleh yang menyertakan orang lain bersama Allah dalam mencari ganjaran (berupa pujian dan sanjungan). Adapun ujub merupakan kesyirikan dari sisi orang yang beramal shaleh serta menyertakan dirinya sendiri bersama Allah dalam keberhasilannya beramal shaleh.

Ibnul Qayyim menukil perkataan seorang salaf, “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar melakukan sebuah dosa dan dosa tersebut menyebabkan ia masuk surga. Kemudian seorang hamba benar-benar melakukan sebuah kebaikan yang menyebabkannya masuk neraka. Ia melakukan dosa dan memperlihatkan dosa yang ia lakukan di hadapan kedua matanya hingga merasa takut, khawatir, menangis, menyesal, dan malu kepada Rabb-Nya, menundukkan kepalanya di hadapan Rabb-Nya dengan hati yang luluh. Maka dosa tersebut mendatangkan kebahagiaan dan keberuntungan bagi pelakunya. Hingga dosa tersebut lebih bermanfaat baginya daripada banyak ketaatan.

Dan seorang hamba benar-benar melakukan kebaikan yang menjadikannya merasa telah berbuat baik kepada Rabb- nya hingga menjadi takabur dan ujub serta membanggakannya dengan berkata, ” Aku telah beramal ini, ” “aku telah berbuat itu.” Maka hal ini mewariskan sifat ujub dan kibr (takabur) pada dirinya serta sifat bangga dan sombong yang merupakan sebab kebinasaan nya.” (Al- Wabil Ash- Shayyib, 9-10)

Seorang penyair berkata:

والعجب فاحذره إن العجب مجترف أعمال صاحبه في سي له العرم

Terjemahannya:

“Jauhilah penyakit ujub, sesungguhnya penyakit ujub akan menggeret amalan pelakunya ke dalam aliran yang deras arusnya.”

 

Ujub akan mengantarkan pelakunya pada penyakit lainnya, diantaranya:

  1. Lupa bersyukur kepada Allah bahkan mensyukuri diri sendiri, seakan-akan amalan yang di lakukan nya adalah atas kehebatannya.
  2. Lenyap darinya sifat tunduk dan merendahkan di hadapan Allah yang telah menganugerahkan segala kelebihan dan kenikmatan kepadanya.
  3. Terlebih akan lenyap sikap tawaddhu’ di hadapan manusia.
  4. Bersikap sombong (merasa tinggi) dan merendahkan orang lain, tidak mau mengakui kelebihan yang dimiliki oleh orang lain. Jiwanya senantiasa mengajak untuk menyatakan bahwa dialah yang terbaik, dan apa yang telah di amalkan oleh orang lain merupakan perkara yang biasa yang tidak patut untuk di puji.

Kalimat indah yang pernah di ucapkan oleh seorang ulama:

“Orang yang ujub merasa bahwa dirinya paling tinggi di hadapan manusia yang lain, bahkan merasa dirinya lebih tinggi di sisi Allah, namun pada hakikatnya dialah orang yang paling rendah dan hina di sisi Allah.”

Dari sini jelas bahwa ujub merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya. Rasulullah telah mengingatkan akan bahaya tersebut dalam sabdanya:

ثلاث مهلكات شح مطاع وهوى متبع وإعجاب المرء بنفسه

Artinya:

“Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang di taati, hawa nafsu yang diikuti dan ujub nya seorang terhadap dirinya sendiri.” ( HR. Ath- Thabrani dalam Al- Ausath, no. 5452 dan di shahih kan oleh Syaikh Albani dalam Ash- Shamilah, no. 1802)

 

Demikian pula sabda beliau Shallallahu Alaihi Wasallam:

لولم تكونوا تذنبون خشيت عليكم ما هو أكبر من ذلك العجب العجب

Artinya:

“Jika kalian tidak berdosa maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya (yaitu) ujub! Ujub!”  (HR. Al- Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 6868, hadits ini di nyatakan isnadnya jayyid (baik) oleh Al- Munawi dalam At-Taisir, dan di hasan kan oleh Syaikh Albani dalam shahih Al- Jami’, no. 5303)

 

Al- Munawi Rahimahullah berkata, “Ibnu Mas’ud mengumpulkan dia perkara ini karena banyak orang yang putus asa tidak akan mencari kebahagiaan karena dia sudah putus asa, demikian juga orang yang ujub tidak akan mencari kebahagiaan karena ia menyangka bahwa ia telah meraihnya.” ( At- Taisir bin syarh Al- Jami’ Ash- Shaghir, 2/606)

Ada seorang melihat Bisyr Al- Hafi dalam keadaan lama dan indah ibadahnya. Maka Bisyr berkata kepadanya  yang artinya:  “Janganlah engkau teperdaya dengan apa yang engkau lihat dariku, sesungguhnya iblis beribadah kepada Allah ribuan tahun kemudian dia menjadi kafir kepada Allah.”  (At-Taisir bin syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir (2/606))

Imam Al-munawi Asy- Syafi menyebutkan, diantara tanda-tanda orang yang ujub adalah:

Pertama, dia merasa heran jika doanya tidak di kabulkan oleh Allah (* Dia merasa bahwa ketakwaan dan amalannya mengharuskan doanya di kabulkan oleh Allah, hal ini menunjukkan ke-ujub-an dengan amalan shaleh nya. Sehingga saat doanya tidak di kabulkan ia pun merasa heran)

Kedua, dia merasa heran jika orang yang menyakitinya dalam keadaan istiqomah.

Ketiga, jika orang yang mengganggunya ditimpa dengan musibah, dia merasa itu sebagai karamahnya, lalu ia berkata,”Tidakkah kalian melihat apa yang telah Allah timpakan kepadanya,” atau ia berkata, ” Kalian akan melihat apa yang akan Allah timpakan kepadanya.”

Al- Munawi menjawab dengan perkataannya, “Orang dungu (* yang ujub) ini tidak tahu bahwa sebagian orang kafir memukul sebagian para nabi lalu mereka di berikan kenikmatan hidup di dunia, dan kemudian mereka masuk Islam sehingga akhir kehidupan mereka adalah kebahagiaan. Maka orang yang ujub ini seakan-akan merasa dirinya lebih baik daripada nabi.” (At- Taisir bin syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir 2/606)

  1. MENGAPA HARUS UJUB?

Sebelum kita terlena dengan ujub yang menggerogoti hati, hendaknya kita merenungkan diri. Mengapa kita berlaku ujub? Apakah ujub tersebut karena amalan serta hasil karya yang banyak dan hebat? Jika demikian hendaknya renungkanlah perkara-perkara berikut ini:

Pertama, sudah yakinkah amalan kita dibangun diatas keikhlasan kepada Allah?

Ikhlas merupakan perkara yang sangat mulia, yang menjadikan pelakunya memiliki derajat tinggi dan mulia di sisi Allah. Orang ikhlas hatinya sibuk mengharapkan keridhaan Allah dan tidak peduli dengan komentar dan penilaian manusia yang tidak memberi manfaat dan mudharat. Penilaian Allah terhadap amalannya adalah yang terpenting menurut nya. Orang yang ikhlas adalah orang yang ketika melakukan ibadah lebih banyak daripada saat dilihat oleh orang lain.

Kedua, bukankah banyak hal yang dapat menggugurkan amalan-amalan kita.

Riya’ -sekecil apa pun- merupakan penggugur amal dan mempunyai bentuk yang sangat banyak. Demikian juga amalan yang tidak dibangun diatas ittiba’ sunnah akan gugur amalannya. Sikap al-mann dalam hati terhadap Allah ( yaitu merasa telah berbuat baik kepada Allah dengan mengungkit dan menyebut kebaikan tersebut, -pen) juga menghancurkan amalan. Demikian juga sikap al-mann (yaitu mengungkit-ungkit) dalam sedekah, berbuat kebaikan, dan bersilaturahmi juga membatalkan amalan, sebagaimana firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan  menyakiti (perasaan si penerima). (QS. Al- Baqarah: 264)

Dan mayoritas manusia tidak mengetahui hal-hal buruk yang bisa menggugurkan amalan-amalan kebajikannya. Allah telah berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.”  (QS. Al- Hujurat: 2)

Maka (dalam ayat ini, -pen) Allah telah mengingatkan kaum mukmin agar amalannya tidak di gugurkan dengan mengeraskan suara kepada Nabi sebagaimana mereka mengeraskan suara diantara mereka. Hal ini bukanlah kemurtadan tetapi merupakan kemaksiatan yang menggugurkan amalan dan pelakunya tidak sadar. Maka bagaimana dengan orang yang mendahulukan perkataan seseorang diatas perkataan Nabi, petunjuknya, dan jalannya? Bukankah amalannya telah gugur dan dia dalam keadaan tidak sadar?

Diantara hal yang menggugurkan amalan adalah sebagaimana sabda Nabi yang artinya: “Barangsiapa meninggalkan shalat ashar maka telat gugur amalannya.” (HR. Al- Bukhari, no. 553)

 

REFERENSI:

  1. Firanda Andirja, MA, Berjihad memerangi ujub, Naashirussunnah, Cetakan ke-3 Dzulqa’dah 1441 H/ juni 2020, Eva Purnama Sari

 

Baca juga:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.