Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Akad-akad Investasi Yang Disyariatkan (Bagian 1)

akad investasi yang disyariatkan

Akad-akad investasi yang disyariatkan – Alhamdulillah puja dan puji syukur hingga detik ini pun kita masih diberikan kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk terus belajar dan belajar hingga akhir hayat hidup di dunia. Sholawat beserta salam Kita sampaikan kepada baginda nabi muhammad shallallahu alaihi wasallam , keluarga, sahabat, dan apra pengikutnya. Aamiin.

Alam tidak mengenal pemisahan total antara Agama dengan keduniaan, sebagaimana yang diyakini oleh banyak para perusak moral dan orang-orang yang tergoda pemikiran mereka. Islam juga tidak menjadikan dunia ini sebagai pengikat antara Allah dengan para thaghut manusia, seperti fenomena yang berkembang di kebanyakan agama-agama yang menyimpang. Justru dengan syariatnya yang suci, Allah memenuhi kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat secara bersamaan. Dengan hukum-hukumnya, Allah menyentuh seluruh dimensi kehidupan dengan segala lika-liku dan penopang-penopangnya. Dalam persoalan hidayah, Allah telah menurunkan bagi manusia sebuah mukjizat undang-undang yang seluruh undang-undang positif buatan manusia tidak bisa mencapainya meski hanya seperseratus bagian darinya sekalipun. Dan memang tidak layak bagi mereka mencapainya, serta mampu melakukannya, karena perbedaan antara syariat dengan undang-un- dang positif adalah perbedaan antara pencipta dengan makhluk!

Problematika dunia usaha termasuk problematika yang diperhatikan oleh ajaran Syariat Islam yang suci. Islam menggambarkan, memberikan konsep-konsep, menciptakan struktur hukum dan menetapkan berbagai macam jenis usaha yang berbeda-beda sehingga bisa dijadikan naungan bagi kalangan usahawan di sepanjang perputaran masa. Mereka tidak perlu lagi terjebak ke dalam hal-hal yang diharamkan. Dalam naungan hukum-hukum tersebut, mereka sudah bisa memperoleh bahan demi merealisasikan segala yang disyariatkan dan segala kebutuhan yang adil dalam bingkai aturan bermetodologi ilahi, dan dengan tujuan serta target yang suci kepentingan

ini, kami investasi (pengelolaan modal) yang dibutuhkan oleh kalangan usahawan Muslim untuk dijadikan bahan kajian, untuk dipahami kode etik fikih dan hukum-hukumnya bimbingan-bimbingan praktisnya, sehingga bisa dimanfaatkan dengan baik dalam belantara dunia usaha bersama dalam kehidupan modern ini.

Kepada para usahawan Muslim, mari kita cermati berbagai pembahasan fikih berkaitan dengan dasar-dasar bentuk investasi (usaha) yang disyariatkan berikut ini.

  1. SYARIKAH DAN HUKUM-HUKUMNYA

Syarikah dalam fikih Islam ada beberapa macam, di antaranya yang kembali kepada perjanjiannya, dan ada juga yang kembali kepada kepemilikan. Dari sisi hukumnya menurut syariat, ada yang disepakati boleh, ada juga yang masih diperselisihkan hukumnya. Di sini kita akan mengulas apa yang penulis perkirakan amat dibutuhkan oleh seorang usahawan Muslim untuk diketahui hukum- hukumnya.

Definisi Syarikah

Syarikah dalam bahasa Arabnya berarti pencampuran atau interaksi. Bisa juga artinya membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang ada.

Sementara dalam terminologi ilmu fikih, arti syarikah yaitu, persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syarikah al-Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syarikah al-Uqud (Syarikah Transaksional).

Disyariatkannya Syarikah

Syarikah disyariatkan berdasarkan ijma’ (konsensus) kaum Muslimin. Sandaran ijma’ tersebut adalah dalil yang banyak dan tegas dan berikut di antaranya,

Firman Allah Subhanahu Wata’ala:

فَإِن كَانُوا أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ

Artinya: “...tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu...” (QS. An-Nisa’: 12).

Saudara-saudara seibu itu bersekutu atau beraliansi dalam memiliki sepertiga warisan sebelum dibagi-bagikan kepada yang lain.

Juga Firman Allah Subhanahu Wata’ala:

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ .

Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah.” (QS. Al-Anfal: 41).

Harta rampasan perang adalah milik Rasulullah dan kaum Muslimin secara kolektif sebelum dibagi-bagikan. Mereka semuanya beraliansi dalam kepemilikan harta tersebut.

Dan riwayat yang shahih bahwa al-Barra bin Azib dan Zaid bin Arqam keduanya bersyarikat dalam perniagaan. Mereka membeli barang-barang secara kontan dan nasi’ah. Berita itu sampai kepada Rasulullah. Maka beliau memerintahkan agar menerima barang-barang yang mereka beli dengan kontan dan menolak barang-barang yang mereka beli dengan nasi’ah.

Macam-macam Syarikah

Syarikah itu ada dua macam: Pertama, Syarikah Hak Milik (Syarikah al-Amlak). Yaitu per- sekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hi- bah atau warisan.

Kedua, Syarikah Transaksional (Syarikah al-Uqud). Yakni akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan.

Macam-macam Syarikah Transaksional

Syarikah transaksional menurut mayoritas ulama terbagi men. jadi beberapa bagian berikut,

  1. Syarikah al-‘Inan, yakni persekutuan dalam modal, usaha dan dua orang atau lebih keuntungan. Mereka miliki bersama untuk membuka usaha yang modala yakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama. Jadi modal berasal dari mereka semua, usaha juga dilakukan mereka bersama, untuk kemudian keuntungan juga dibagi pula bersama. Syarikah semacam ini berdasarkan ijma’ dibolehkan, namun secara rincinya masih ada yang diperselisihkan.
  2. Syarikah al-Abdan (syarikah usaha), yakni kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh mereka, seperti kerja sama sesama dokter di klinik, atau sesama tukang jahit atau tukang cukur dalam salah satu pekerjaan. Semuanya dibolehkan, namun Imam asy-Syafi’i melarangnya. Disebut juga dengan Syarikah Shana’i wat Taqabbul.
  3. Syarikah al-Wujuh, yakni kerja sama dua pihak atau lebih dalam keuntungan dari apa yang mereka beli dengan nama baik mereka. Tak seorang pun yang memiliki modal, namun masing- masing memilik nama baik di tengah masyarakat. Mereka membeli sesuatu (untuk dijual kembali) secara hutang, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama. Syarikah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah dan Hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah.
  4. Syarikah al-Mufawadhah, yakni setiap kerja sama di mana masing-masing pihak yang beraliansi memiliki modal, usaha dan hutang piutang yang sama, dari mulai berjalannya kerja sama hingga akhir. Yakni kerja sama yang mengandung unsur penjaminan dan hak-hak yang sama dalam modal, usaha dan hutang. Kerja sama ini juga dibolehkan menurut mayoritas ulama, namun dilarang oleh asy-Syafi’i. Kemungkinan yang ditolak oleh Imam asy-Syafi’i adalah bentuk aplikasi lain dari Syarikah al-Mufawadhah, yakni ketika dua orang melakukan perjanjian untuk bersekutu dalam mmiliki segala keuntungan dan kerugian, baik karena harta atau karena sebab lainnya,

Beberapa Hukum Syarikah al-‘Inan

Telah dijelaskan sebelumnya dalam definisi syarikah ini, bahwa artinya yaitu kerja sama dua pihak atau lebih dengan modal mereka bersama, untuk berusaha bersama dan membagi keuntung- an bersama. Jadi merupakan persekutan dalam modal, usaha dan keuntungan.

Hukum Syarikah al-‘Inan

Syarikah semacam ini dibolehkan berdasarkan ijma’. Kalaupun ada perbedaan, hanya dalam beberapa bentuk rincian dan satuannya. Yang telah kami paparkan tentang disyariatkannya bentuk syarikah secara umum merupakan dalil disyariatkannya Syarikah al-‘Inan ini secara khusus, karena ia termasuk dari jenis kerja sama yang disyariatkan.

Rukun-rukun Syarikah al-‘Inan

Rukun-rukun Syarikah al-‘Inan ada tiga:

Rukun Pertama: Dua Transaktor

Keduanya harus memiliki kelayakan (kompetensi), yakni akil baligh dan mampu membuat pilihan. Boleh saja beraliansi dengan non Muslim dengan catatan pihak non Muslim itu tidak boleh mengurus modal sendirian, karena dikhawatirkan akan memasuki sektor-sektor bisnis yang diharamkan. Kalau segala aktivitas non Muslim itu selalu dipantau oleh pihak Muslim, tidak menjadi masalah. Dan persoalannya akan lebih bebas dan terbuka bila beraliansi dengan sesama Muslim.

Yang patut diingatkan pada kesempatan ini adalah bahwa beraliansi dalam bisnis dan berinteraksi seringkali melahirkan keakraban dan cinta kasih yang terkadang menyebabkan dalam aliansi Muslim dengan kafir lemahnya pemahaman al-Wala (loyalitas) dan al-Bara (antipati). Hal itu merupakan salah satu lubang bencana.

Maka seorang Muslim terus meninggikan nilai keyakinannya dan bekerja agar andilnya dalam kerja sama itu menjadi pintu dakwah mengajak ke jalan Allah, dengan kenyataan dirinya sebagai Muslim yang jujur dan amanah dalam pandangan pihak kafir, demikian juga dengan sikapnya yang selalu menepati janji dan komitmen bersama.

REFERENSI:

Rujukan kitab : fikih ekonomi islam

Penulis : prof. Dr. Shalah ash-Shawi dan prof. Dr. Abdullah al-mushlih

Diringkas : Salman agus fani, pengabdian ponpes Darul Quran wal Hadits oku timur.

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.