Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Hutang Boleh Tapi Kenapa Diancam Siksa Di Akhirat?

hutang dibolehkan diancam siksa di akhirat-2

Hutang Diperbolehkan Tetapi Kenapa Diancam Dengan Siksa Diakhirat? – Segala puji hanya milik Allah Ta’ala. Semoga shalawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi Wasallam, penutup para Nabi dan utusan akhir zaman.

Pada kesempatan kali ini, kita akan membicarakan suatu permasalahan di dalam agama kita, yaitu mengenai hutang-piutang. Mungkin masalah ini sering dibahas, tapi tidak mengapa kita bahas kembali karena kata pepatah kita “lancar kaji karena diulang”.

Dalam Islam, tentunya muamalah hutang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan. Dan ini masuk dalam bab at-ta’awun alal birri wat taqwa (التعاون على البر والتقوى), saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Jadi, semboyan hutang-piutang itu harus ta’awun (saling tolong menolong), bukan membinasakan–mengeruk keuntungan sebanyak-banyak dari muamalah hutang-piutang.

Namun, Saudara seimanku, Mungkin dari kita banyak yang bertanya tentang: Bukankah hutang diperbolehkan oleh syariat Islam, tetapi kenapa diancam dengan hukuman diakhirat? Kenapa tercela menurut syariat? Dan semisalnya…

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kita diatas, maka tulisan dibawah ini terdapat pembagian TENTANG KEADAAN KEADAAN ORANG BERHUTANG sehingga dapat terjawablah pertanyaan-pertanyaan:

Keadaan pertama:

Seorang yang meninggal dalam keadaan berhutang dan meninggalkan harta yang digunakan untuk melunasi hutangnya.

Jika seorang meninggal dalam keadaan mempunyai tanggungan hutang dan ia meninggalkan harta untuk melunasinya, maka orang ini tidak berdosa atasnya jika dilunasi hutangnya setelah kematiannya, karena sikap peremehan pada waktu itu timbul dari para ahli waris, karena seluruh tanggungan pelunasan hutangnya berkaitan dengan harta warisnya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ « هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلاً » . فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى ، وَإِلاَّ قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ « صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ » .

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah sering didatangkan seorang mayat yang menanggung hutang, maka beliau bertanya: “Apakah ia meninggalkan harta pelunasan untuk hutangnya ?”. jika diberitahukan bahwa ia meninggalkan harta pelunasan untuk hutangnya maka Beliau menyolatinya dan jika tidak maka Beliau akan bersabda kepada kaum muslim: “Shalatilah jenazah kalian.” [1]

Keadaan kedua:

Seorang yang meninggal dalam berhutang dan tidak meninggalkan harta untuk melunasi hutangnya. Keadaan kedua ini mempunyai dua potret:

Potret pertama:  Jika berhutang dalam rangka maksiat atau dengan niat tidak melunasinya

Jika seorang yang berhutang untuk kerusakan, maksiat atau ingin berlebih-lebihan, atau berhutang dengan niat tidak melunasinya, maka orang seperti ini berdosa dan dihukum pada hari kiamat, karena ia tidak diberikan udzur dengan hutang, karena ia bermaksud menghancurkan harta seorang muslim tanpa kebenaran, dan ini termasuk memakan harta orang lain dengan kebathilan, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil.” [2].

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:  “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain, dan ia ingin melunasinya, niscaya Allah akan (membantu) melunasi atasnya. Dan barangsiapa yang mengambil harta dan ingin menghilangkannya, niscaya Allah akan menghilangkannya.” [3]

Al Mulla Ali Qari rahimahullah berkata:

أو حال كونه يريد إتلافها يعني قصده مجرد الأخذ ولا ينظر إلى الأداء

Artinya: “(Maksudnya adalah) atau ketika keadaannya ingin menghilangkannya yaitu tujuannya hanya mengambil dan tidak memperhatikan pelunasannya.”[4]

Oleh sebab inilah Ibnu Hajar Al-Haitami menyebutkan salah satu dosa besar adalah berhutang dengan niat tidak melunasinya.

“Dosa besar ke 205 dan 206: Berhutang dengan niat tidak melunasi atau tidak berharap akan (dapat melunasi)nya dengan cara ia tidak dalam kesulitan dan ia tidak memiliki sisi yang jelas yang dapat melunasi dari (hutang)nya dan orang yang menghutangi tidak sadar dengan keadaanya.” [5]

Potret kedua:  Jika berhutang selain dalam rangka bermaksiat dan berniat melunasi

Orang seperti ini tidak berdosa dan tidak termasuk mendapat ancaman celaan dalam hadits-hadits tentang hutang bahkan Allah akan membantunya untuk melunasinya. Menurut penjelasan beberapa ukama:

Ath Thibi rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang berhutang karena kebutuhan dan ia berniat untuk melunasinya dan bersungguh-sungguh didalam pelunasannya, niscaya Allah akan membantu melunasinya di dunia atau membuat rela lawannya di akhirat. Dan barangsiapa yang ingin menghancurkannya, maksudnya adalah barangsiapa yang berhutang tanpa keperluan dan tidak berniat melunasinya, maka niscaya Allah akan menghancurkannya, yaitu maksudnya adalah Allah tidak menolongnya dan tidak akan meluaskan rezekinya bahkan menghilangkan hartanya, karena ia bersengaja menghilangkan harta seorang muslim.” [6]

Ibnu Hajar Al ‘Asqalani rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang meninggal sebelum melunasi (hutangnya) tanpa sikapnya meremehkan dari seperti orang yang sulit bayar hutang, atau kematian tiba-tiba mendatanginya dan ia mempunyai harta yang tersembunyi dan niatnya adalah melunasi hutangnya tapi belum dilunasinya di dunia. Dan dapat dibawakan hadits dari Maimunah (dalam keadaan mayoritas). Dan secara lahiriyah bahwa ia tidak mempunyai dosa atasnya ketika keadaannya seperti ini di dalam kehidupan akhirat, yang mana akan diambil dari kebaikannya untuk seorang yang menghutanginya, bahkan Allah menanggung atas hutangnya kepada yang menghutanginya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits.” [7]

Jadi ringkasnya, bahwa berhutang yang didalamnya terdapat riwayat ancaman-ancaman keras, maka hal ini boleh dilakukan kecuali jika seorang yang berhutang masuk dalam keadaan-keadaan dibawah ini.

  1. Jika seorang yang berhutang dengan niat tidak ingin mengembalikan, maka orang ini berdosa, baik ia meninggal dalam keadaan belum melunasinya atau sulit bayar ketika masa hidupnya.
  2. Jika mengambil hutang untuk merusak harta orang lain, atau untuk berlebih-lebihan sebagaimana hutang untuk memperkaya diri, mengendarai kendaraan yang mewah atau rumah yang mewah atau berhutang karena ingin melakukan maksiat seperti ingin membeli permainan dan obat-obatan yang diharamkan karena memabukkan atau berhutang harta yang banyak tanpa ada sebuah keperluan padahal ia mengetahui bahwa ia tidak mampu melunasinya ketika sudah jatuh batas temponya.
  3. Jika seorang berhutang meninggal dalam keadaan masih mempunyai tanggungan hutang dan ia telah meremahkan memberikan saksi atas hutangnya atau menulis hutangnya atau meremehkan menulis wasiat sehingga ahli waris tidak mengetahui keberadaan hutangnya.

Maka dari itu, berprinsiplah, berutang di saat butuh dan merasa mampu mengembalikan. Sehingga dengan prinsip seperti ini tidak membuat kita sulit di dunia dan di akhirat kelak.

Ingatlah bahwa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri selalu meminta pada Allah perlindungan dari banyak utang  dengan doanya: Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang) [8]

Ibnul Qoyyim Rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan kepada Allah dari berbuat dosa dan banyak hutang karena banyak dosa akan mendatangkan kerugian di akhirat, sedangkan banyak utang akan mendatangkan kerugian di dunia.” [9]

Ya Allah, lindungilah kami dari berbuat dosa dan beratnya hutang, mudahkanlah kami untuk melunasinya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

 

Referensi :

Ahmad Zainudin/2014/TERHINA KARENA HUTANG/Rumah ilmu

Artikel : Bulan Januari 2023

Diringkas oleh : Adibah, Mira Trisna (Santri Khidmat dan pengajar Ponpes Darul Qur’an wal Hadits)

[1] HR. Bukhari.

[2] QS. An-NIsaa’: 29

[3] HR. Bukhari.

[4] Lihat Kitab Umdat Al Qari, 19/92 ( Asy Syamela)

[5] Lihat kitab Az Zawajir ‘An iqtiraf Al Kabair, 2/151 (Asy Syamela)

[6] Lihat kitab Mirqat Al Mafatih, 9/374

[7] Lihat kitab Fathul Bari, 5/54

[8] (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589).

[9] (Al Fawaid, 57)

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.