Bismillah, Alhamdulillah wash-sholatu was-salam ‘ala Rasulillah. Amma Bakdu. Air adalah komponen penting dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam perkara dunia maupun urusan ibadah. Dalam urusan ibadah, ada aturan syariat yang mengatur tentang air apa saja yang bisa digunakan untuk thaharah (bersuci).
Pengertian dan hikmah disyariatkan Thaharah (Bersuci)
Thaharah secara bahasa artinya bersih dan suci dari kotoran. Sedangkan secara istilah artinya adalah mengangkat hadats dan menghilangkan khobats.
Yang dimaksud mengangkat hadats adalah dengan menghilangkan sifat yang menghalangi seseorang untuk sholat dan ibadah lainnya yang disyariatkan untuk bersuci, baik dengan menggunakan air ataupun dengan tanah sebagai penggantinya dalam keadaan tertentu yang diatur oleh syariat. Sedangkan yang dimaksud dengan menghilangkan khobats adalah menghilangkan najis dari tubuh, pakaian dan tempat. (Al-Malik Fahd, 2016)
Setelah mengetahui sedikit tentang pengertian thaharah baik yang ditimbang dari segi bahasa ataupun secara istilah syariat, sekarang kita akan membahas tentang hikmah disyariatkannya thaharah. Syaikh Al-Munajid (2018) pernah ditanya tentang hikmah disyariatkan thaharah. Diantara hikmah yang beliau sebutkan adalah;
- Bahwasannya thaharah sesuai dengan fitrah manusia yang Allah fitrahkan manusia kepadanya. Dan tidak diragukan lagi bahwa islam adalah agama fitrah, dan islam membawa semangat kepada “sunan alfitrah”.
- Hal ini menjunjukkan bahwasannya Islam adalah agama yang bersih dan indah, dan menyeru para pengikutnya untuk bersemangat dalam menjaga kebersihan dan kesucian badan dan pakaian. Serta memperhatikan penampilan yang bersih dan rapi.
- Orang muslim memiliki waktu-waktu yang disitu dia menghadap dan bermunajat kepada Rabb-nya. Maka islam mengajarkan tentang bagaimana adab yang baik ketika hendak mengadap atau menemui orang yang dihormati, yakni dengan cara memperindah penampilan, membersihkan badan dan pakaian, memakai wewangian. Hal itu sebagaimana yang dicontohkan Nabi ketika menerima tamu kehormatan. Maka terlebih lagi ketika hendak menghadap Allah.
Macam-macam air ditinjau dari kebolehannya untuk thaharah
Thaharah membutuhkan sesuatu yang dapat bersuci dengannya, yang bisa menghilangkan najis dan mengangkat hadats, sesuatu tersebut adalah air. Air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah air yang thohur. Yaitu, yang suci secara dzatnya dan dapat mensucikan selainnya. Dia adalah air yang tetap sebagaimana asal penciptaannya, yaitu sesuai dengan sifat-sifat sebagaimana ia diciptakan, baik yang diturunkan dari langit, seperti hujan, embun, salju dll, maupun yang mengalir di tanah seperti sungai, danau dan lautan (Al-Malik Fahd, 2016, hal. 2).
Berdasarkan hal tersebut, macam-macam air jika ditinjau dari kebolehannya untuk thaharah adalah sebagai berikut;
- Air thohur (suci dan mensucikan selainnya) yaitu air yang sesuai dengan sifat penciptaannya, air inilah yang dapat digunakan untuk bersuci. Dan jika Air tersebut tercampur dengan benda suci seperti daun, bunga, sabun, dll. Maka dalam hal ini perlu dilihat komposisi benda yang mencampuri air tersebut, jika jumlahnya tidak mendominasi dari jumlah air, maka pendapat yang benar bahwasannya air tersebut thohur dan dapat digunakan untuk bersuci. (Al-Malik Fahd, 2016, hal. 3)
Dalilnya adalah hadis Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada para wanita yang memandikan jenazah putrinya; “Mandikanlah ia sebanyak tiga kali, atau lima kali atau lebih dari itu jika diperlukan, dengan air (yang bercampur) bidara, sedangkan untuk siraman terakhir, gunakanlah kapur barus, atau sejenis kapur barus. (Muttafaqun ‘Alaih)
- Air najis adalah air yang bercampur dengan najis, dan berpengaruh pada salah satu dari tiga sifatnya: baunya, warnanya ataupun rasanya. Air yang semacam ini tidak boleh bersuci dengannya, karena ia najis secara dzatnya (Abu malik, Shahih fiqh sunnah, hal. 104).
Hukum Air Musta’mal
Air yang terjatuh dari anggota wudhu dan sejenisnya atau dinamakan “air musta’mal” terjadi perbedaan pendapat dari kalangan ulama, apakah air tersebut keluar dari hukum air yang suci atau tidak? Pendapat yang dikuatkan dalam hal ini sebagaimana yang disampaikan Syaikh (Abu malik, Shahih fiqh sunnah, hal. 104) bahwasannya ia tetap suci, selama tidak keluar dari penamaannya sebagai air mutlak (thohur) dan tidak tercampura najis sehingga mempengaruhi salah satu sifatnya.
Dan ini adalah madzhab Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Abi Umamah, dan sekelompok ulama salaf, dan masyhur di madzhab Imam Malik, dan salah satu riwayat dari Imam Syafi’i dan Ahmad, dan madzhab Ibnu Hazm, dan Ibnul Mundzir, dan yang dipilih Syaikhul Islam. Adapun dalil yang menguatkan pendapat ini diantaranya;
- Bahwa hukum asal dari air adalah thohur dan tak ada sesuatu pun yang menajiskannya. Sebagaimna yang terdapat dalam hadis Nabi. Kecuali berubah salah satu dari sifatnya, atau keluar dari penamaan air mutlak karena disebabkan bercampurnya dengan benda suci.
- Bahwasannya telah tetap riwayat yang menunjukan bahwa para sahabat dahulu mereka menggunakan air sisa wudhu Nabi. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis Nabi. (HR. Al-Bukhari no. 187).
- Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasannya dahulu Nabi dahulu mandi menggunakan air sisa yang dipakai maimunah. (HR. Muslim no. 323).
Dan pendapat sebagian ulama lainnya mengatakan bahwasannya tidak boleh wudhu’ menggunakan air musta’mal. Ini adalah pendapat Imam Malik, al-Auza’i dan Asy-Syafi’i pada salah satu riwayatnya, dan Ashabu ra’yi. (Abu malik, Shahih fiqh sunnah, hal. 105-106)
Hukum air yang sedikit dan bercampur dengan najis tetapi tidak mengubah sifat air
Dalam masalah ini setidaknya ada dua pendapat;
Pendapat pertama, bahwasannya hukum asal air adalah suci, tidak ada sesuatu pun yang menjadikannya najis baik air itu sedikit maupun banyak. Kecuali, air yang sedikit itu berubah sifatnya disebabkan bercampurnya dengan najis. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah dan Al-Hasan Al-Bashri dan lainnya (Asy-Syaukani, 2005, hal. 55)
Dalil yang dipakai adalah keumuman hadis Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam.
الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
Artinya: “Air itu suci, tidak ada sesuatupun yang menajiskannya” (HR. Ahmad, Abu Dawud no. 66, dan At-Tirmidzi no. 66, dan Imam At-Tirmidzi mengatakan hadis ini hasan)
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa air tersebut najis walaupun tidak berubah sifatnya dikarenakan najis telah mencemari air tersebut. Ini adalah pendapat Ibnu Ummar, Mujahid, As-Syafi’i, Al-Hanafiyah, Ahmad bin Hambal, dan Ishaq, dan dari kalangan ahlul bait: Al-Hadi dan Al-Muayyid Billah (Asy-Syaukani, 2005, hal. 56).
Dalil atas pendapat mereka adalah firman Allah ta’ala:
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
Artinya: “dan perbuatan dosa tinggalkanlah” (QS. Al-Muddatstsir: 5)
Serta hadis tentang jilatan anjing pada bejana, hadis tentang qullatain dan hadis Nabi Shollalahu ‘alaihi wasallam:
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ، أَوْ يَشْرَبُ
Artinya: “Janganlah seorang dari kalian kencing di air yang tergenang (tidak mengalir), kemudian berwudhu darinya, atau meminumnya.” (HR. Ahmad, dan Abu Dawud no. 70)
Menurut kompilasi ulama fikih yang tergabung dalam Lembaga Malik Fahd, jika air tersebut tercampuri najis dan tidak mengubah salah satu sifatnya, jika airnya banyak maka air tersebut tidak najis dan bisa bersuci dengannya. Adapun jika airnya sedikit maka air tersebut menjadi najis, dan tidak bisa bersuci dengannya. Dan batasan air yang banyak adalah apa yang mencapai lebih dari dua qullah, dan sedikit yaitu yang kurang dari dua qullah (Al-Malik Fahd, 2016, hal. 3).
Kesimpulan:
Jenis air berdasarkan kebolehannya untuk thaharah secara umum terbagi menjadi dua, yakni air suci (thohur) dan air najis. Terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai air musta’mal dan air yang sedikit jika bercampur dengan najis tanpa mengubah sifat air. Pendapat yang dikuatkan untuk air musta’mal hukumnya suci, dan hukum air yang sedikit jika tercampur najis walaupun tidak mengubah sifatnya adalah najis.
Referensi
Abu Malik, K.S.S. Shahih Fiqhus Sunnah. Maktabah Taufiqiyah
Al-Malik Fahd. (2016). Al-Fiqhu Al-Musyassar. Kairo.
Al-Munajid, M.S. (2008). Hikmah Tasyri’ Thaharah fil Islam, Diakses pada 25 Mei 2021, dari https://islamqa.info/ar/answers/118037
Asy-Syaukani, M.A.M. (2005). Nailul Author Syarh Muntaqol Akhbar. Daarul Wafaa.
Disusun oleh: Sahl Suyono (Pengajar Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)
BACA JUGA:
Leave a Reply