Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Soal Jawab Seputar Ilmu dan Penuntut Ilmu

Soal Jawab Seputar Ilmu dan Penuntut Ilmu
Soal Jawab Seputar Ilmu dan Penuntut Ilmu

:الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، أما بعد

Berikut ini adalah risalah mengenai dua pertanyaan yang dilayangkan kepada Syaikh Sholeh Alu Syaikh mengenai ilmu dan penuntutnya. Semoga bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Bagian pertama :

Arahan Bagi Penunut Ilmu Umum

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang mengutus Muhammad dengan al-huda dan agama yang haq, agar eksis diantara semua agama. Walau orang-orang kafir membencinya. Kita bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan haq kecuali Allah. Dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan hamba-Nya. Shalawat dan salam tak lekang terkurung jaman dan tempat bagi Baginda Rasulullah, sang pencerah dan suri tauladan bagi para sahabatnya, dan generasi setelah mereka.

Berikut ini adalah terjemahan dari pertanyaan yang diajukan kepada Fadhilatusy Syaikh Sholeh Alu Syaikh Hafizahullah disela-sela akhir dari Muhadhoroh beliau. Yang semoga menjadi jawaban yang mencerahkan bagi pennya dan juga kaum muslimin secara umum. Namun sebelum itu, perlu diketahui bahwa ilmu yang dimaksud oleh Syariat Islam di dalam banyak ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabawi adalah ilmu agama. Dan tidaklah ada bagian bagi ilmu umum. Karena ilmu agama itu terpuji karena zat-nya, walaupun penuntutnya tidak mengamalkannya. Oleh karena itu ilmu syar’i itu membuahkan pahala bagi penuntutnya seperti ibadah yang lainnya. Sedangkan ilmu dunia (ilmu umum) akan berpahala jika memang diniatkan untuk hal yang berhubungan dengan kemajuan Islam dan kaum muslimin.

Syaikh Soleh Alu Syaikh Hafizahullah  ditanya:

“Apa arahan anda untuk para mahasiswa ilmu umum (fakultas ilmu pengetahuan terapan/teknologi, ilmu teknik, ilmu kedokteran dan sebagainya)?

Jawaban :

Pertama, wasiat bahwa ilmu-ilmu itu harus saling melengkapi (harus ada yang mempelajarinya) di umat Islam, karena kebutuhan akan ilmu tersebut untuk kepentingan semuanya. Dan barangsiapa yang mempelajari ilmu ukur/arsitek atau ilmu kedokteran dengan niat yang sholih (benar) maka dia akan mendapat pahala atas niatnya. Dan barangsiapa yang meninggalkan niat tersebut maka baginya apa yang diusahakan dan dia tidak berdosa, karena menuntut ilmu umum bukan termasuk ibadah.

Adapun niat di dalam menuntut ilmu umum seperti arsitek dan matematika dan sebaginya. Maka Pertama, dia berniat dengan belajarnya itu agar mendalami ilmu tersebut supaya bermanfaat bagi kaum muslimin sesuai kesanggupannya. Karena menuntut ilmu-ilmu ini termasuk kifaiyat (hanya diwajibkan bagi satu orang pada suatu kaum, tidak wajib ‘ain bagi semua orang) untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Seperti bangunan-bangunan yang beraneka macam seharusnya ada dari kaum muslimin yang menjadi tukang kayu (tukang bangunan), harus ada di kalangan kaum muslimin tukang tenun kain dan ini merupakan karunia dari Allah kepada hamba-hamba-Nya. Jadi siapa yang mengambil bagian dari ilmu-ilmu ini dengan niat di atas maka dia akan diberi pahala.

Kedua, bahwasanya ilmu itu (berdasarkan hukum mempelajarinya) ada yang tidak diberi uzur untuk jahil/tidak tahu terhadapnya (dalam artian bahwa ilmu itu wajib dipelajari), dan ada (ilmu) yang dianjurkan untuk dipelajari (mustahab). Maka wajib bagi mahasiswa/penuntut ilmu umum baik itu arsitek, kedokteran dan sebagainya, mempelajari ilmu yang tidak boleh dia jahil dalam perkara tersebut. Karena jika dia tidak mempelajarinya maka akan berdosa.

Adapun ilmu yang tidak boleh dia jahil terhadapnya adalah

  1. apa-apa yang mengantarkan pada benarnya aqidah dari perkara tauhid dan keyakinan (aqidah),
  2. apa-apa yang mengantarkan pada benarnya ibadah, dan benarnya ibadah dengan mengikuti petunjuk Nabi dan Ikhlas karena Allah semata, dan benarnya ibadahnya dengan mengilmui hukum-hukum syariat.

Dia mengambil kadar wajib dari hal ini lalu setelahnya dia mendalami ilmu yang diinginkannya. Dan mereka dalam hal ini bertingkat-tingkat (kedudukannya) di sisi Allah.

Kemudian Syaikh berkata:

Perkara ini membutuhkan penjelasan yang panjang, tapi tidaklah seorang pun dari ulama, para syaikh dan para pendahulu yang kami mendapati mereka menuntut ilmu syar’i dari al-Quran dan as-Sunnah. Hanya berfokus pada keduanya saja tanpa merujuk ke perkataan ahli ilmu. Tapi mereka juga merujuk kepada perkataan para ahli ilmu.

Tidak diragukan lagi bahwa beribadah itu mengukuti al-Quran dan as-Sunnah. Allah berfirman,

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Artinya :“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.”(QS.Shaad:29)

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya :“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”(QS.An-Nahl: 43)

Tidak diragukan lagi bahwa dalil ini mu’tamad, dan para ulama apa tugas mereka? Menjelaskan kepada manusia makna firman Allah dan makna sabda Rasulullah. Dan para ulama itu bermacam-macam, ada yang menaruh perhatian pada bahasa, ada yang menaruh perhatian pada fiqh, ada yang menaruh perhatian pada kritik derajat hadis dan sebagainya.

Fiqh secara khusus perkataan fuqoha, melatih kemampuan ilmu dan pemahaman, karena permasalahan fiqh terkadang dalilnya dari al-Quran, terkadang dari as-Sunnah, terkadang Ijma’, terkadang perkataan Khalifah yang Empat, terkadang perkataan sejumlah sahabat, terkadang ijtihad Imam Mu’tamad dan Mu’tabar dengan ijtihadnya, dan terkadang qiyas atau kaidah-kaidah.

Jadi, Masa’il (permasalahan fiqih) yang terdapat di dalam kitab-kitab fiqh lebih banyak dari yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis. Adapun kitab-kitab hadis adalah pokok dalam berdalil dan berargumen. Ilmu tidak diragukan lagi bahwa siapa yang mengambil fiqh tanpa dalil tanpa pendalilan maka dia telah lalai dengan kelalaian yang besar. Ulama tugas mereka di dalam bab fiqh adalah menjelaskan kepadamu bentuk/gambaran permasalahan, menjelaskan kepadamu dalil permasalahan semampu ijtihad mereka terhadap dalil dan pendalilan.

Adapun hadis, kitab-kitab hadis seperti Bulughul Maroom dan ‘Umdatul Ahkam. Maka di dalamnya terdapat pokok-pokok masalah (Ushul Masalah) tapi bukan semua permasalahan ada disana. Karena itu saya (Syaikh)  pernah menyampaikan muhadhoroh yang penting di dalam bab ini dengan judul Muqoddimah di dalam perbedaan kitab fiqh dan kitab hadis (الفرق بين كتب الفقه وكتب الحديث).

Yang perlu diperhatikan bagi penuntut ilmu agar mengetahui sesuatu dari fiqh dan sesuatu dari hadis? Tidak, tidak mungkin. Dan siapa itu fuqoha? Ahmad, Syafi’i, dan Malik… Siapa itu Ahli Hadis? Ahmad, Malik, Syafi’i dan Selainnya. Mereka adalah Fuqoha dan Muhadditsun (ahli fiqh dan Hadis). Dari mana Ahmad mengambil (ilmu)….Asy-Syafi’i mengambil (ilmu) dari Malik, Malik mengambil (ilmu) dari para syaikhnya. Ahmad mengambilnya dari Asy-Syafi’i dan selainnya dari para syaikh dalam hal bahasa dan fiqh. Begitu juga orang setelah mereka mengambil (ilmu) dari generasi sebelum mereka.

Jadi Ulama, para pendahulunya mempermudah generasi setelahnya (dalam menuntut ilmu) dengan menjelaskannya dalam bentuk menyusun dan mengarang matan-matan fiqh. Oleh karena itu kita tidak melihat yang unggul dalam fiqh secara manhaj  (metode belajar) dari kitab di antara kitab fiqh dia memiliki gambaran masalah yang menyimpang lagi jauh dan seterusnya atau  terkadang kesalahannya banyak.

Intinya, kita harus mengambil (ilmu) dengan metode (manhaj). Bacalah di biografi ahli ilmu tercatat dia membaca ‘at-Tanbih’ lalu ketika besar dia menjadi ulama mujtahid. Tapi di awal belajarnya dia membaca dan membaca ‘al-Jumal’ di bidang Nahwu dan membaca ….. disebutkan beberapa mutun.

Tidak ada seorang ulama pun yang disebutkan dalam biografinya bahwa dia membaca ‘Al-Mughhni’, membaca ‘Kasysyaf al-Qona’ atau membaca ‘al-Majmu’ syarh Muhadzdzab’ ataupun membaca ‘syarh al-Khoththobiy’ atau ‘Fath al-Bari’ tidak ada dan tidak kita dapatkan.

Mereka (penulis biografi ulama) hanya menyebutkan dalam biografi ulama mutun-mutun yang menunjukkan bahwa ilmu itu diambil dengan metode dan cara dari para pemiliknya. Barang siapa yang mengambil ilmu dengan metode para pemiliknya maka dia akan sampai. Dan barang siapa meninggalkannya (tidak sesuai manhaj belajarnya para ulama) maka dia tidak akan sampai.

 

Wallahu a’lam. Washallahu wa sallama wa baarika ‘ala nabiyina Muhammad.

Bagian Kedua: Apakah Seorang Faqih Tidak Perlu Berjihad?

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.