Manajemen Waktu di Jalan Ilmu

MANAJEMEN waktu DIJALAN ILMU

MANAJEMEN WAKTU DI JALAN ILMU

Urgensi Waktu

Waktu merupakan salah satu nikmat dari Allah kepada para hambanya, maka hendaknya para hamba bersyukur dengan adanya waktu tersebut. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;

وهو الذي جعل الليل والنهار خلفة لمن أراد أن يذكر أو أراد شكورا ﴿63﴾

Artinya: “Dia-lah yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (Qs. Al-Furqon: 62)

Waktu atau masa adalah sesuatu yang penting dan merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah. Sehingga Allah Subhanahu Wata’ala menjadikan waktu sebagai salah satu sumpahnya. Tidaklah Allah Subhanahu Wata’ala bersumpah dengan sesuatu, kecuali sesuatu tersebut merupakan perkara yang besar, baik karena dzatnya itu sendiri maupun karena ia merupakan salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;

والعصر ﴿1﴾ إن الإنسان لفي خسر ﴿2﴾

Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. ”  (QS. Al-Ashr : 1-2)

Waktu menjadi penting bagi manusia karena waktu merupakan ladang untuk beramal. Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di Rahimahulla;

أقسم تعالى بالعصر، الذي هو الليل والنهار، محل أفعال العباد وأعمالهم.

Artinya: “Allah bersumpah dengan masa, yaitu waktu malam dan siang yang merupakan ladang bagi para hamba untuk berbuat dan beramal.” (Taisirul Karimir Rahman, 950)

 

Sehingga pada hakikatnya waktu adalah modal bagi manusia untuk mendapatkan keberuntungan atau menderita kerugian. Berkata Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Rahimahullah ;

اتفقوا على أن رأس مال الإنسان في حياته هو عمره، فإ أعمله في خير ربح وإن أعمله في شر خسر.

Terjemahannya:“(Para ulama’) telah bersepakat bahwa modal manusia dalam kehidupan di dunia adalah umurnya. Jika (manusia) mengisi umurnya dengan (amalan) kebaikan, (maka ia akan) beruntung. Namun jika manusia mengisi umurnya dengan (amalan) keburukan, (maka ia akan) merugi.” (Adwaul Bayan, 9/90)

 Karena demikian utama kedudukan waktu atau masa, maka tidak diperbolehkan bagi manusia untuk mencela masa. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu Ta’ala Ahu, dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam beliau bersabda;

لا تسبوا الدهر فإن الله هو الدهر.

Artinya: “Janganlah kalian mencela masa, karena sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala  adalah (pencipta) masa.”  (HR. Muslim 4/2246)

Waktu Tidak Akan Pernah Kembali

Waktu yang telah berlalu tidak akan pernah kembali. Meskipun waktu berulang, namun pada hakikatnya ia terus berkurang. Oleh karena itu, hari ini menjadi sesuatu yang sangat berharga. Karena ketika ia pergi, maka ia tidak akan pernah kembali.  Berkata Al-Hasan Al-Bashri; “Dunia hanyalah tiga hari; kemarin yang telah berlalu, esok yang bisa jadi engkau tidak akan mendapatkannya, dan hari ini adalah bagianmu.” (Az-Zuhud, Al-Baihaqi.)

Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah  juga pernah  mengatakan;

ابن آدم إنما أنت أيام كلما ذهب يوم ذهب بعضك.

Terjemahannya: “Wahai anak Adam, sesungguhnya kalian hanyalah (menunggu) hari-hari. Ketika satu telah pergi, (maka) hilang pula sebagian (usia)mu.” (Hilyatul Auliya’, 2/148)

Hilangnya harta masih bisa dicari, namun berlalunya usia tidak akan bisa diulang lagi. Berkata As-Sari bin Mughallas Rahimahulla ; “Apabila engkau bersedih karena hartamu yang hilang, maka menangislah karena usiamu yang berkurang.” (Sifatush Shafwah, 2/376.)

Para Salaf Sangat Menghargai Waktu

Para salaf adalah orang-orang yang sangat menghargai waktu. ‘Amir bin ‘Abdul Qais Rahimahullah pernah melewati orang-orang pengangguran, mereka berbincang tanpa arah. Mereka memanggil ‘Amir Rahimahullah dan berkata, “Kemarilah, wahai ‘Amir. Duduklah bersama kami.” ‘Amir Rahimahullah menjawab, “Tahanlah matahari untuk tidak berjalan, niscaya aku akan duduk bersama kalian.” (Shaidul Khatir, Ibnul Jauzi.)

Ibnu Mas’ud Radiyallahu Anhu juga pernah mengatakan;

إني لأبغض الرجل أن أراه فارغا ليس له في شيء من عمل الدنيا ولا في عمل الآخرة.

Artinya: “Sesungguhnya aku sangat benci melihat orang yang pengangguran, (ia) tidak bekerja untuk dunia(nya) dan tidak pula beramal untuk akhirat(nya).”  (Shifatush Shafwah)

Kepiawaian Ibnu ‘Abbas Dalam Memanaj Waktu

Sahabat yang terkenal pakar dalam tafsir Al-Qur’an adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas Radiyallahu Anhuma. Ibnu Mas’ud Radiyallahu Anhu merupakan sahabat yang direkomendasikan untuk dirujuk tafsir Al-Qur’annya. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radiyallahu Anhuma, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda;

خذوا القرآن من أربعة من عبد الله بن مسعود فبدأ به وسالم مولى أبي خذيفة ومعاذ بن جبل وأبي بن كعب.

Artinya: “Ambillah Al-Qur’an dari empat orang; ‘Abdullah bin mas’ud, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda; memulai penyebutan dengannya, Salim Maula Abu Khuzaifah, Muadz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab.’’ (HR. Ahmad, Bukhori Juz 3 : 3597, lafazh ini miliknya dan Muslim Juz : 2464)

Ibnu Mas’ud telah belajar tujuh puluh surat langsung dari Nabi tanpa perantara, dan surat-surat yang lainnya belajar melalui perantara. Ibnu Mas’ud Radiyallahu Anhu mengetahui latar belakang dan tempat turunnya seluruh ayat Al-Qur’an, yang jumlahnya lebih dari enam ribu ayat. Ibnu Mas’ud pernah mengatakan;

والذي لا إله غيره ما نزلت آية من كتاب الله إلا وأنا أعلم فيمن نزلت وأين نزلت ولو أعلم مكان أحد أعلم بكتاب الله مني تناوله المطايا لاتيته.

Artinya: “Demi (Allah) yang tidak ada sesembahan selain-Nya. Tidaklah diturunkan satu ayat pun di dalam Kitabullah (Al-Qur’an), kecuali aku mengetahui untuk siapa ayat tersebut diturunkan, dimana ayat tersebut diturunkan. Seandainya aku mengetahui ada seorang yang lebih mengetahui dariku tentang Kitabullah yang mampu aku jangkau dengan binatang tunggangan, sungguh aku pasti akan mendatanginya.”  (Muqoddimah Fi Ushulit Tafsir, 13)

Adapun Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhuma, ia baru masuk Islam pada periode akhir. Ia lahir 3 tahun sebelum hijrah, namun baru berhijrah bersama bapaknya pada tahun 8 H, beberapa bulan sebelum penaklukan kota Makkah. Hadits yang diriwayatkannya secara langsung dari Rasulullah tidak lebih dari 10 atau 20 hadits. Namun kenyataan yang ada, ternyata hadits riwayat Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhuma mencapai 2.000 hadits, yang tertuang dalam Musnad Ahmad dan Musnad Baqi bin Makhlad. Sebanyak 1.660 hadits yang diriwayatkannya terdapat di dalam Kitab Ash-Shahihain. Bahkan ia dinobatkan sebagai Sahabat kelima yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi.

Dari mana Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhuma mendapatkan hadits-hadits sebanyak itu? Bagaimana Ibnu ‘Abbas p mampu mengejar ketinggalannya dalam ilmu?? Bagaimana ia dapat menjadi pakar Al-Qur’an?? Bahkan mendapatkan julukan Habrul Ummah (tintanya ummat) dan Turjumanul Qur’an (penerjemah Al-Qur’an)???

Disebutkan dalam sebuah riwayat, Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhuma pernah menceritakan; “Setelah Rasulullah a wafat, aku mengajak seorang pemuda Anshar, “Mari kita belajar kepada para Sahabat, sekarang mereka sangat banyak. Kita belajar dari mereka untuk menyerap semua ilmunya.” Pemuda tersebut menjawab, “Aku heran kepadamu, wahai Ibnu ‘Abbas. Apakah engkau mengira bahwa orang-orang akan membutuhkanmu? Bukankah di tengah-tengah mereka ada para Sahahat Rasulullah?” Aku tidak mempedulikan ucapannya, dan aku bergegas menuntut ilmu.

Aku menerima informasi seorang sahabat memiliki sebuah hadits. Maka aku langsung menuju ke rumahnya dan mengetuk pintu rumahnya. Seorang memberitahukanku bahwa ia sedang istirahat siang. Aku pun duduk di samping pintu. Ketika ia bersiap untuk melaksanakan Shalat (Ashar), ia mengetahui kehadiranku. Ia berkata, “Keponakan Rasulullah, mengapa engkau tidak memberitahukanku. Aku akan datang menemuimu.” Aku menjawab, “Ilmu lebih berhak untuk didatangi.”

Demikianlah Ibnu ‘Abbas belajar kepada para Sahabat senior, di antara adalah kepada ‘Aisyah, ‘Ali, ‘Utsman, dan Abu Hurairah Radiyallahu Anhum untuk menggali hadits dan tafsir ayat yang mereka terima dari Rasulullah. Sehingga Allah mengisi hatinya dengan ilmu. Setelah sekian lama waktu berlalu, manusia mulai banyak mengunjungi Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhuma dan belajar kepada beliau. Fatwa-fatwanya tersebar ke berbagai golongan masyarakat. Manusia datang dan mengerumuni Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhuma. Rumahnya tidak pernah sepi dari pada penuntut ilmu. Amru bin Dinar Rahimahullahu berkata, “Aku tidak melihat suatu majelis ilmu yang lengkap dengan kebaikan, kecuali majelis Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhuma, di dalamnya terdapat; halal haram, bahasa Arab, nasab, dan syair.”

Suatu ketika pemuda Anshar yang dahulu pernah duduk bersama Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhuma datang dan melihat Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhuma. Lalu ia mengatakan, “(Sekarang) engkau lebih faqih dariku.” (Syarh Muqoddimah At-Tafsir, Ibnu Jibrin.”) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu pernah menyebutkan tentang Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhuma;

فخطب الناس فقرأ في خطبته سورة البقرة وفي رواية سورة النور ففسرها تفسيرا لو سمعته الروم والترك والديلم لأسلموا.

Artinya: “(Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhuma) pernah berkhutbah dihadapan manusia, ia membaca di dalam khutbahnya Surat Al-Baqarah –dalam riwayat lain; Surat An-Nur.- Ia menafsirkannya, seandainya penduduk Romawi, Turki, dan Dailam mendengarnya, niscaya mereka semuanya pasti akan masuk ke dalam agama Islam.”  (Muqoddimah Fi Ushulit Tafsir)

Referensi : MANAJEMEN WAKTU DI JALAN ILMU , USTADZ  DR. IRFAN YUHADI, M.A.

Diringkas oleh : Ronald bin Suardi syam (Pengajar Ponpes DQH Oku Timur)

Tanggal : Kamis, 13 OKTOBER 2022.

Baca juga artikel:

Pezina Darahnya Halal?

Khutbah Jumat ustadz Ali Zhufri

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.