Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Manakala Telepon Menjadi Kebutuhan

manakala telepon menjadi kebutuhan

Manakala Telepon Menjadi Kebutuhan – Pada era teknologi sekarang, telepon seakan-akan sudah menjadi kebutuhan setiap orang. Terlebih lagi dengan semakin memasyaratnya penggunaan telepon genggam (handphone) hampir diseluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, perlu kiranya kita membahas secara khusus masalah ini.

Sesungguhnya telepon adalah salah satu nikmat Allah subhanahu wata’ala kepada umat manusia. Dengan telepon kita bisa menghemat banyak tenaga, waktu, dan harta hingga jarak yang jauh pun terasa dekat. Bahkan seolah tidak ada jarak pemisah.

Cukup mengangkat gagang telepon atau menekan tombol di layar handphone kita dapat berbicara dengan karib kerabat di belahan dunia lainnya. Semua itu dapat dilakukan dalam beberapa menit saja. Kita dapat mengetahui kabar keluarga, menanyakan keadaan mereka, menyampaikan takziyah atas kematian seseorang, mengucapkan selamat atas suatu kabar gembira yang diketahui, berbakti kepada orangtua dengan menayakan kabar maupun bagaimana kesehatannya, atau bisa menyelesaikan urusan-urusan penting melalui telepon, dan kadang kala bisa melakukan transaksi jual beli, serta kita dapat menyelesaikan berbagai urusan yang lainnya.

Manfaat telepon banyak sekali. Sehingga, nikmat Allah subhanahu wata’ala yang satu ini haruslah disyukuri kaum Muslimin. Adapun cara mensyukurinya adalah dengan menggunakan nikmat ini untuk perkara yang diridhai-Nya, dan juga dengan menjauhi perkara-perkara yang mengundang kemarahan-Nya.

Beberapa perkara yang harus kita perhatikan adalah:

  1. Gunakanlah untuk perkara yang makruf

Yaitu untuk hal-hal yang mendatangkan kebaikan seperti menyambung tali silaturahim, menjaga Ukhuwah Islamiyyah ataupun untuk keperluan yang terkait permasalahan dunia maupun akhirat, yang membawa maslahat dan mendatangkan pahala. Jadi bukan untuk tujuan-tujuan yang menyimpang seperti hubungan lawan jenis yang diharamkan, atau untuk menipu, atau menyebarkan fitnah dan sebagainya.

  1. Tidak menelepon di waktu yang tidak pantas

Menghubungi melalui telepon hampir sama maknanya dengan berkunjung, walaupun konteksnya agak berbeda. Karena itu, jangan menghubungi seseorang pada waktu laru malam, pada pagi buta, atau pada saat tidur siang; kecuali untuk keperluan darurat. Waktu-waktu berkunjung itu tidak disukai, terkecuali mendesak. Termasuk melakukan pembicaraan telepon pada waktu-waktu tersebut. Tidaklah patut kecuali untuk keperluan darurat. Karena biasanya orang-orang akan terganggu jika mendengar dering telepon ada pagi buta, tengah malam, atau pada saat mereka istirahat, karena akan mengusik ketenangan mereka.

Maka wajar jika ia mengangkat telepon tersebut sambil marah-marah, terdengar serak parau suaranya karena baru bangun dari tidur, atau istrinya yang menjawab telepon itu. Semua ini tidak pantas sebab mengganggu orang lain.

  1. Tidak melakukan panggilan lebih dari tiga kali

Bunyi dering telepon sama seperti bunyi ketukan pintu. Menurut sunnah, tidak boleh mengetuk lebih dari tiga kali. Seseorang pastinya akan terganggu karena dering telepon yang berbunyi terus-menerus. Baangkali ia tidak berkeinginan mengangkatnya, sedangkan orang yang menghubungi terus menekan nomornya seolah memaksa untuk menjawab.

Kadangkala dering telepon terus berdering tersebut membangunkan salah seorang yang sedang tidur, atau membangunkan orang sakit yang sedang istirahat, anak kecil atau bahkan orangtua. Sungguh, mengganggu seorang Muslim tidak dibolehkan. Maka itu, hendaklah kita tidak melakukan panggilan melalui telepon lebih dari tiga kali. Boleh demikian, namun apabila ada keperluan yang sangat penting atau mendesak.

  1. Tidak lupa mengucapkan salam

Kedudukan orang yang menelepon sama dengan orang yang mengetuk pintu, maka mulailah aktivitas ini dengan mengucapkan salam. Sebarkanlah salam melalui percakapan telepon karena amalan ini menjadi penyebab masuk Surga. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

أفش السلام، وأطعم الطعام، وصل الأرحام، وقم بالليل والناس نيام، ثم ادخل الجنة بسلام

Artinya: “Sebarkanlah oleh kalian salam, berilah makan, sambunglah tali silaturahim, shalatlah di malam hari ketika manusia tidur, dan masuklah Surga dengan selamat.”[1]

  1. Memperkenalkan diri

Orang yang menghubungi memperkenal diri dengan berkata: “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, saya Fulan bin Fulan.” tujuannya agar orang menerima panggilan bisa mengenalnya. Juga untuk menepis kecurigaan dan prasangka buruk orang lain terhadap diri kita.

  1. Tidak memperpanjang pembicaraan tanpa keperluan

Ini biasa dilakukan kaum wanita. Mereka menelpon lalu bersenda gurau dengan temannya, berbicara tentang makanan, minuman, pakaian, perhiasan, obrolan lainnya. Banyaknya topik yang dibicarakan di telepon memakan waktu satu atau dua jam, bahkan boleh jadi lebih. Semua itu adalah perbuatan sia-sia serta termasuk buang-buang waktu. Selain merupakan bentuk penghamburan harta dan sebagai sikap mubazir yang dilarang.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,

﴿… ولا تبذّر تبذيرا ۝ إنّ المبذّرين كانوا إخوان الشياطين….

Artinya: “…Dan janganlah kamu manghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithan… “ (QS. Al-Isra’ [17]: 26-27)

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

أنهاكم عن قيل وقال، وكثرة السؤال، وإضاعة المال

Artinya: “Aku melarang kalian dari qila wa qala (menebar gosip), banyak bertanya, dan membuang-buang harta.” (Muttafaqun Alaih)

  1. Yang menghubungi yang mengakhiri pembicaraan

Jika maksud dan tujuan pembicaraan sudah tersampaikan, hendaklah orang yang menghubungi yang mengakhirinya. Yaitu dengan cara yang baik, seperti menggucapkan salam. Kedudukannya sama seperti orang yang berkunjung atau oang yang mengetuk pintu. Maka dialah yang meminta izin untuk pergi. Tidak selayaknya pemilik rumah yang berpamitan untuk pergi dari tempat duduknya, karena hal itu sam saja dengan mengusir secara halus.

Demikian pula, ketika kita melakukan pembicaraan telepon, hendaklah orang yang menghubungi itu yang mengakhiri pembicaraan keduanya.

  1. Tidak menggunakan nada sambung musik

Karena sebagian telepon handphone (HP) ada yang dilengkapi dengan nada sambung musik. Seyogyanya kita memilih nada dering yang biasa saja, bukan nada sambung yang berirama musik. Kita pun sebaiknya menghindari nada tunggu musik saat hendak menunggu panggilan telepon dari teman atau kerabat yang masuk. Termasuk yang dilarang adalah menggunakan tilawah al-Quran sebagai nada sambung HP, sebab kita memutusnya sebelum tilawah berakhir untuk menerima panggilan telepon, dan itu adalah perbuatan yang dilarang dan termasuk perbuatan yang tidak menghormati al-Quran nul Karim.

  1. Tidak berbuat khianat dengan merekam dan menyebarkan pembicaraan pribadi yang dirahasiakan

Yaitu dengan merekam pembicaraan pribadi melalui telepon, kemudian menyebarkannya. Tidak boleh atas setiap Muslim yang (memiliki sifat) memperhatikan amanah dan membenci khianat, untuk merekam pembicaraan pribadi seseorang tanpa izin atau tanpa sepengetahuannya, meskipun pembicaraan tersebut berkaitan dengan topik agama atau topik duniawi seperti fatwa, pembahasan (diskusi) ilmu, harta, dan sebagainya.

Diriwayatkan dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah al-Anshori radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إذا حدّث الرّجل حديثا، فالتفت فهي أمانة

Artinya: “Jika seseorang sedang berbicara dengan orang lain, dalam keadaan dia menoleh (ke kanan dan ke kiri), maka itu adalah amanah.”[2]

Makna “menoleh” dalam hadits di atas adalah ketika yang tampak dari sikap orang yang berbicara tersebut adalah kekhawatiran dengan menoleh ke kanan dan ke kiri, khawatir kalau pembicaraannya diketahui orang lain. Jika kondisinya demikian, maka pembicaraan tersebut adalah amanah dari saudaramu yang harus dijaga. Jika kita membocorkan ke orang lain, maka kita telah menyelisihi perintah Allah Ta’ala untuk menjaga amanah, dan jadilah kita termasuk orang-orangn yang dzalim.

Ar-Raghib al-Asfani rahimahullah berkata, “Rahasia itu ada dua macam. Pertama, pembicaraan yang disampaikan seseorang yang menunjukkan permintaan untuk dirahasiakan. Yang demikian itu bisa jadi dengan kalimat langsung, seperti perkataan, ‘Rahasiakan apa yang aku sampaikan kepadamu.’ Kedua, atau dari sikap seseorang, misalnya seseorang memilih berbicara berdua saja untuk menyampaikan apa yang dia sampaikan, melirihkan suara, atau menyembunyikan suara dari orang lain yang duduk bersamanya. Inilah yang dimaksud dalam hadits ini.”

Kesimpulan, merekam pembicaraan pribadi melalui telepon atau selainnya tanpa izin dari orang yang berbicara adalah tindakan kedzaliman dan khianat, perbuatan yang menodai sikap adil. Tidaklah melakukannya kecuali orang-orang yang rendah agama, akhlak dan adabnya.

  1. Menyadap pembicaraan seseorang

Kemunkaran lainnya adalah menggunakan alat sadap untuk “menguping” pembicaraan orang lain tanpa ia ketahui, maka perbuatan semacam ini adalah haram. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

ومن استمع إلى حديث قوم، وهم له كارهون، أو يفرّون منه، صبّ في أذنه الآنك يوم القيامه

Artinya: “Barangsiapa mendengarkan pembicaraan sekelompok kaum dan mereka membenci atau lari darinya (khawatir kalau pembicaraannya didengar orang lain), maka akan dituangkan timah cair di telinganya pada hari kiamat.” [3]

Berdasarkan hadits ini, perbuatan mencuri dengar pembicaraan orang lain (menguping), baik secara langsung atau menggunakan alat tertentu (alat sadap), maka termasuk dosa besar karena terdapat ancaman khusus di akhirat (dituangkan timah cair di telinganya). Para ulama memberikan pengecualian jika pembicaraan tersebut menimbulkan bahaya jika tidak disadap. Misalnya, ketika seseorang berbicara sembunyi-sembunyi untuk membunuh orang lain. Dalam kondisi ini, boleh untuk mencuri pembicaraan orang lain dan melaporkan hal tersebut kepada orang yang hendak dibunuh agar dia berhati-hati atau kepada aparat berwajib. Hal ini bisa diqiyaskan untuk kasus-kasus lainnya.

 

REFERENSI:

Diringkas oleh : Yasmin Yuni Azrah (Pengabdian Ponpes Darul Quran wal Hadits)

Sumber : Panduan Amal Sehari Semalam karangan Abu Hasan al-Atsari dan Ummu Ihsan dan Muslim Or.Id

[1] HR. Ahmad (ll/295, 323), Ibnu Hibban (no.508), al-Hakim (lV/129) dari Abu Hurairah. Al-Hakim menshahihkannya, dan pendapatnya disetuji adz-Dzahabi. Dishahihkan al-Albani dalam shahih al-jami’ (no.1085).

[2] HR. Ahmad no.14474, hasan li ghairihi

[3] HR. Bukhari no.7042.

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.