MUAWIYAH BIN ABU SUFYAN (602-680 M)
(Bagian 1)
Ketika nama Muawiyah bin Abu Sufyan disebut maka ingatan kita akan langsung tertuju pada pertumpahan darah pada Perang Shiffin, pembangkangannya pada Khalifah yang sah sekaligus menantu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, serta catatan hitam asal usul keluarganya yang memusuhi Islam. Semua ini adalah akibat dari menyebar luasnya fitnah dan penyimpangan sejarah terutama yang dilakukan oleh para sejarawan Syiah. Harus ada kesadaran bersama untuk kembali meluruskan penyimpangan sejarah-sejarah itu. Sebab, salah satu faktor utama kemunduran kaum Muslimin saat ini adalah akibat minimnya kesadaran umat pada hakikat sejarah Islam. Dan Tidak sepantasnya bagi kita berprasagka buruk terhadap salah satu sahabat sekaligus penulis wahyu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Semoga Allah Ta’ala melindungin kita semua dari fitnah-fitnah tak berdasar. Aamiin.
Nasab dan Keluarganya
Nama lengkapnya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qusay bin Kilab. Julukannya adalah Abu Abdurrahman.[1] Dilahirkan sekitar tahun 602 M. Ia seorang lelaki yang bertubuh tinggi, berkulitb putih, tampan, serta karismatik. Jika tertawa, bibir atasnya bergetar, jenggotnya putih terkadang berwarna kuning berkilau seperti emas.[2]
Ayahnya Abu Sufyan termasuk salah satu pemuka Quraisy, seorang pedagang besar yang menguasai perekonomian Mekkah. Setelah Perang Badar, Abu Sufyan menjadi pemimpin tunggal di kalangan kaum kafir Quraisy. Ia memimpin kaumnya pada perang Uhud dan penyerangan Madinah pada perang Khandaq.
Adapun ibunya bernama Hindun binti Utbah bin Rabiah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Pada Perang Badar, ia kehilangan ayah, paman, dan saudaranya yang sekaligus menjadi korban perang. Lalu ia menuntut balas dengan menyewa Wahsyi, budak bayaran yang diperintahkan khusus membunuh Hamzah bin Abdul Mutholib pada Perang Uhud. Kisahnya kemudian menjadi terkenal, akibat dendam, Hindun mengoyak tubuh Hamzah dan mengambil jantungnya untuk ditelan mentah-mentah.
Muawiyah memiliki tujuh bersaudara, di antara yang terkenal adalah Yazid bin Abu Sufyan dan Ummu Habibah[3]. Ummu Habibah merupakan salah satu istri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam hingga disebut Ummul Mukminin (ibunda kaum Mukminin). Oleh sebab itu, Ibnu Katsir menyebut Muawiyah dengan sebutan Khalul Mukminin (pamannya kaum Mukminin).
Islamnya Muawiyah
Layaknya seperti anak-anak pemuka Quraisy, Muawiyah bukanlah termasuk orang-orang yang masuk islam pada masa awal islam. Ia baru masuk islam bersama keluarganya dan juga penduduk Mekkah pada waktu fathul Makkah (penaklukan kota Mekkah) tahun 8 H/630 M.[4] Riwayat lain menyatakan ia masuk islam setahun sebelumnya pada umrah yang tertunda, namun disembunyikan keislamannya.[5]
Sebelum masuk islam Abu Sufyan, Hindun binti Utbah, dan juga Muawiyah memang memusuhi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, namun setelah masuk islam, sejarah mencatat mereka benar-benar menjadi muslim yang baik dengan ikut bersama-sama meninggikan kalimat Allah. Di usia senjanya, Abu Sufyan berperang bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pada Perang Hunain, ia kehilangan salah satu matanya saat mengepung Thaif, dan satunya lagi saat Perang Yarmuk.
Beberapa Keutamaan Muawiyah
Setelah penaklukan Makkah, ia bertekad selalu mendampingi Nabi, sebab ia sadar dibandingkan sahabat lain ia sangatlah tertinggal jauh. Muawiyah adalah salah seorang sahabat Nabi yang cerdas, jujur, dan teliti. Oleh sebab itu, tidak salah jika ia menyandang predikat sebagai sekretaris Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang termasuk di dalamnya tugas menulis wahyu. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam juga berdoa dengan doa khusus untuk Muawiyah. Dari Abdurrahman bin Abi Amrah al-Azdi radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah menyebut nama Muawiyah, lalu beliau mendoakannya,
اللهم اجعله هاديا مهديا واهد به
“Ya Allah, jadikanlah dia pemberi petunjuk yang terbimbing dengan petunjuk, dan berikanlah petunjuk (kepada orang lain), karena Muawiyah.”[6]
Pribadi yang jujur dan terpercaya dari Muawiyah membuat banyak perawi hadits mengambil hadits darinya. Tercatat seratus enam puluh tiga hadits diriwayatkan dari Muawiyah. Dari jumlah itu terdapat empat hadits yang disepakati Bukhari-Muslim, kemudian empat hadits diriwayatkan Imam Bukhari dan lima hadits diriwayatkan Imam Muslim.[7] Terdapat pula hadits-hadiits palsu baik tentang keutamaan dan keburukan Muawiyah. Hal-hal tersebut tidak terlepas dari usaha para pendukung dan musuh-musuhnya saat menggambarkan sosok Muawiyah.
Muawiyah dalam Pandangan Para Sahabat dan Tabiin
Ketika Umar radhiyallahu’anhu mengangkat Muawiyah sebagai Gubernur Syam secara utuh, yang sebelumnya masih terdapat emir-emir kecil. Oleh Umar, wilayah Syam digabungkan menjadi satu gubernur yang dipimpin langsung Muawiyah. Beberapa emir yang diturunkan kurang rela dengan keputusan Umar. Melihat hal itu Khalifah Umar bin Khatab kemudian berkata, “Janganlah kalian menyebut Muawiyah kecuali dengan kebaikan.”[8]
Dimasa pemerintahan Ali radhiyallahu’anhu, yang pada saat itu api fitnah sedang menggrogoti kaum Muslimin. Hal tersebut tidaklah menghalangi Ali untuk menyanjung Muawiyah dengan bijak. Begitupun sebaliknya dengan Muawiyah. Meskipun secara prinsip keduaanya saling bersebrangan.
Sepulang dari Perang Shiffin, Ali melihat pengikutnya begitu membenci Muawiyah. Beliau kemudian menegur mereka dengan keras, “Wahai manusia, janganlah kalian membenci kepemimpinan Muawiyah, seandainya kalian kehilangan dia, niscaya kalian akan melihat kepala-kepala bergelantungan dari badannya (banyak pembunuhan).[9]
Dalam riwayat lain, Ali melarang pengikutnya mengumpat-umpat kubu Muawiyah. Beliau lantas minta umpatan itu diganti dengan doa keselamatan dan kedamaian antara Muawiyah dan dirinya.
Sahabat ternama Abdullah bin Umar bahkan pernah mengakui bahwa Muawiyah lebih pandai berpolitik daripada ayahnya Umar bin al-Khattab, “Ayahku Umar lebih baik daripada Muawiyah tetapi Muawiyah lebih pandai berpolitik darinya.”[10]
Begitu juga dengan sahabat Abdullah bin Abbas, beliau hidup menemani Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan menyaksikan langsung corak kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Dalam pengamatannya, Muawiyah dianggapnya memiliki keunggulan dalam bidang ketatanegaraan. Ibnu Abbas berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih arif tentang kenegaraan daripada Muawiyah.”[11] Bahkan beliau memberikan predikat faqih kepada Muawiyah.
Salah seorang Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah menilai bahwa Muawiyah adalah raja pertama kaum Muslimin dan pemerintahannya merupakan rahmat. Beliau berkata, “Ia (Muawiyah) adalah awal raja dan kepemimpinannya adalah rahmat.”[12]
Adapun Ibrahim bin Maisarah mengatakan, “Saya tidak melihat Umar bin Abdul Aziz memukul seseorang kecuali seseorang yang mencela Muawiyah, beliau mencambuknya dengan beberapa cambukan.”[13]
Kiprahnya Masa Nabi dan Abu Bakar
Dua minggu pasca penaklukan Makkah, Muawiyah ikut bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam Perang Hunain.[14] Bersama ayahnya Abu Sufyan, ia bertempur gagah berani. Kaum Muslimin akhirnya memenangi pertempuran dan Muawiyah mendapat harta rampasan yang besar karena statusnya sebagai muallaf. Selanjutnya, pada tahun-tahun terakhir Nabi, Muawiyah dipercaya menjadi salah satu penulis wahyu sekaligus sekretarisnya.
Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam wafat orang-orang di Jazirah Arab berbondong-bondong meninggalkan Islam. Di sisi lain Muawiyah dan penduduk Makkah tetap berpegang teguh pada keimanan. Khalifah Abu Bakar kemudian memerangi orang-orang murtaddin dan para nabi palsu . Setelah itu, kaum Muslimin baru berkonsenterasi melawan Romawi di Syam.
Muawiyah memiliki kakak yang namanya lebih dahulu bersinar. Ia adalah Yazid bin Abu Sufyan. Jika saja usianya panjang, diperkirakan simbol kebesaran bani Umayyah berada pada sosok Yazid. Abu Bakar sangat memahami keinginan bani Umayyah mengejar ketertingggalan mengabdi pada Islam. Khalifah kemudian memberi kesempatan bagi Klan Umayyah untuk berperang melawan Romawi, ditambah hubungan Arab Syam yang sangat erat dengan klan Umayyah.
Mula-mula Abu Bakar mempersiapkan bala tentara besar ke Syam di bawah Panglima Yazid bin Abu Sufyan. Abu Bakar sendirilah yang mengantarkan langsung pasukan dengan berjalan kaki dan melepasnya dengan berbagai wejangan dan lantunan doa yang menunjukkan betapa tinggi dan mulia posisi Yazid.[15] Setelah itu baru menyusul tiga pasukan besar yang lain di bawah pimpinan Amru bin Ash, Syurahbil bin Hasanah, dan Abu Ubaidah bin Jarrah.[16] Kemudian setelah itu, Abu Bakar memberangkatkan kembali orang-orang yang masih ingin berjihad di bawah pimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan untuk bergabung pada pasukan Yazid. Di bawah komando Yazid. Muawiyah bertempur melawan Romawi dan berkontribusi besar dalam futuhat menaklukkan daerah pesisir seperti Shura, Akka, dan Kaisareya.
Bersinarnya Muawiyah pada Masa Umar
Kebijakan Umar pada Bani Umayyah tidak berbeda dengan kebijakan pada masa Abu Bakar. Umar melanjutkan apa yang dirintis Abu Bakar dengan tidak mengganti pos gubernur maupun panglima di wilayah futuhat. Salah satunya ialah Yazid bin Abu Sufyan tetap menjabat gubernur di Damaskus. Adapun Muawiyah sendiri mulai bersinar ketika ia berhasil memimpin pasukan Muslim menaklukkan Kaesareya, pada tahun 15 H/637 M. Atas jasanya itu Umar kemudian menjadikan Muawiyah gubernur di wilayah Yordania pada tahun 17 H/639 M.
Pada tahun 18 H/640 M terjadi wabah yang luar biasa di negeri Syam. Wabah itu bernama Pes Amwas,[17] penyakit ini menyebar ke penjuru Syam dan memakan korban puluhan ribu jiwa. Adapun di antar para korban terdapat Gubernur Damaskus, Yazid bin Abu Sufyan. Setelah itu posisi Yazid sebagai gubernur Syam yang meliputi Damaskus, Baalbak, dan Balqa secara resmi digantikan oleh saudaranya, Muawiyah.[18]
Ketika menjadi gubernur Muawiyah cenderung mengagungkan jabatan dan wibawa pemimpin. Hal ini tentu berbeda dengan yang dilakukan Umar. Khalifah sangatlah bersahaja, dekat dengan rakyat dan tidak suka bermewah-mewah. Sewaktu melihat iring-iringan Muawiyah, Umar lantas menegur, namun Muawiyah menjelaskan apa yang ia lakukan semata-mata untuk membuat takut musuh dengan menonjolkan wibawa dan kohormatan Islam. Atas dasar itu Umar memaklumi siasat Muawiyah, ia tak menganjurkan dan juga tidak melarang, asalkan tugasnya sebagai pengayom dan pengabdi rakyat tidak terabaikan. Di lain kesempatan, Umar malah menjuluki Muawiyah sebagai Kaisar Arab.[19]
Muawiyah bersungguh-sungguh menjalankan amanah sebagai gubernur Syam. Dapat dikatakan wilayah kaum Muslimin yang paling genting berada di Syam, sebab Imperium Romawi Byzantium masih menetap di perbatasan. Adapun Imperium Persia di timur telah bubar setelah kaum Muslimin memenangi pertempuran Qadisiyah dan Nahawan. Berkali-kali perbatasan Syam dan Romawi, baik di wilayah utara maupun pesisir, terlibat perang kecil-kecilan. Pasukan Romawi dari Konstantinopel sering melancarkan serangan yang membuat Syam senantiasa terus berjaga.
Muawiyah bergerak cepat menahan laju Byzantium. Ia menguatkan perbatasan dengan mendirikan pos dan benteng-benteng menara jaga. Hal yang paling terkenal adalah ketika ia membentuk pasukan khusus di musim panas dan dingin. Umar menamainya dengan Syawati dan Shawafi, atau serangan musim dingin dan panas. Serangan ini dilakukan terus-menerus. Muawiyah bahkan terjun langsung beberapa kali, pada tahun 22 H/644 M ia memimpin 10 ribu pasukan, kemudian tahun 23 H/644 M berhasil menyerang sampai Amuriyah, kala itu sahabat besar seperti Abu Dzar al-Ghifari, Abu Ayyub al-Anshari dan Ubadah bin Shamit juga turut serta.[20]
Serangan ini memberi efek jera yang dahsyah bagi Romawi. Selain di darat, Muawiyah juga memberikan perhatiannya di laut. Ia memohon pada Umar agar diizinkan membuat armada Muslimin, namun Umar menolaknya karena khawatir pada keselamatan tentara Muslim. Di kemudian hari, cita-cita pembuatan armada Muslimin terwujudkan pada masa Utsman.
Penggagas Armada Pertama Muslim
Pada tahun 23 H/644 M Utsman bin Affan dibaiat menjadi khalifah setelah Umar wafat dibunuh Abu Lu’lu’. Utsman melanjutkan apa yang diwarisi Umar, ia membiarkan sebagian besar pembantu Umar tetap di posnya, termasuk Muawiyah di Syam. Pada masa Utsman reputasi Muawiyah kian bersinar, negeri Syam secara utuh menjadi wilayahnya. Sebelumnya masih terdapat Umair bin Sa’ad al-Anshori di Hims, dan Alqamah bin Mahraz di Palestina, namun Umair mengundurkan diri karena sakit dan Alqomah meninggal dunia. Dua tahun selang kekhalifahan Utsman. Damaskus menjadi ibu kota provinsi negeri Syam yang membawahi seluruh Palestina, Yordania, dan Suriah di bawah kepemimpinan Muawiyah.
Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam masih hidup, terdapat kisah terkenal di kalangan sahabat bahwa sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam akan ada pasukan Muslimin yang berperang di laut. Hadits shahih Bukhari itu diriwayatkan Ummu Haram.
Umair berkata, “Telah menceritakan kepada kami Ummu Haram, bahwa ia telah mendengar Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Tentara yang pertama di kalangan umatku yang berperang di laut wajiblah bagi mereka itu surga.” Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Adakah aku di kalangan mereka?” Jawab Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Ya!”[21]
Tahun 27 H/648 M, Muawiyah menjadi panglima menaklukkan Pulau Siprus. Tadinya Utsman seperti Umar yang juga menolak gagasan armada laut, namun Muawiyah mendesak bahwa wilayah Muslimin tak akan tentram selama armada Byzantium berkuasa di Laut Mediterania. Byzantium menggunakan Siprus sebagai pangkalan militernya. Kebutuhan logistik dan kapal perang juga disuplai warga Siprus, selain itu Siprus gencar memata-matai pergerakan Muslimin untuk diteruskan ke Konstantinopel. Sadar akan bahaya, Utsman luluh dan mengabulkan desakan Muawiyah, namun Muawiyah mensyaratkan agar para istri dibawa serta dan tentara Muslimin boleh memilih antara berangkat atau menetap.
Terbentuklah armada pertama Muslimin. Meski seruan jihad sifatnya tak wajib, antusias tentara Muslimin tetaplah besar, termasuk para sahabat senior. Seakan tak ingin kehilangan momentum, Abu Ayyub al-Anshari, Abu Darda’, Ubadah bin Shamit, Miqdad bin Aswad, Abu Dzal al-Ghifari, dan lainnya ikut bergabung. Adapun istri Muawiyah dan Ummu Haram binti Malhan, istrinya Ubadah bin Shamit juga turut serta, kian menambah penting pelayaran. Ummu Haram sendiri sang penutur hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, mendapat syahid manakala beliau terjatuh dari binatang tunggangannya.[22]
Ekspedisi ini berhasil, warga Siprus menyerah dan berjanji bersikap netral terkait perseteruan Muslim-Byzantium. Tujuh tahun kemudian, pada tahun 34 H/655 M, perang laut yang sebenarnya terjadi antara armada Muslimin melawan Byzantium. Perang Dzat as-Shawari itu berakhir dengan kemenangan dipihak kaum Muslimin, dan semua itu mengakhiri kejayaan Byzantium sebagai Penguasa Laut Mediterania.
Bersambung…
Sumber : Legenda 4 Umara Besar Kisah Seni Memimpin dari Penguasa Empat Dinasti Islam karya Indra Gunawan, LC., PT Elex Media Komputindo, Jakarta 2014 M
Diringkas oleh : Rika Kowasanda (pengajar ponpes Darul Quran Wal Hadits OKU Timur)
[1] Adz-Dzhahabi (1274-1348 M), Syiar A’lam an-Nubala’ (3/120).
[2] Muhammad as-Sayyid al-Wakil, Al-Umawiyyun bayna asy-Syarq wa al–Gharb, (Darul Qolam, cet. I, Damaskus, 1995 M), hal. 24.
[3] Aslinya Ramlah binti Abu Sufyan, sebelumnya ia dinikahi Ubaidullah bin Jahsy dan hijrah bersamanya ke Habasyah (Ethiopia) padea 615 M. Di sana suaminya tersebut murtad memeluk Nasrani hingga meninggalnya. Ummu Habibahtetap berpegang pada Islam sampai Rasulullah mengirim surat pada Raja Najasy bulan Muharram tahun Hijriyah bahwa Rasullullah mengkhitbah Ummu Habibah.
[4] Imam Suyuti (1445-1505 M), Tarikha al-Khulafa’, hal. 194.
[5] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (11/396).
[6] HR. Ahmad 17895, Turmudzi 3842. Sanad ini dinilai shahih oleh Syuaib al-Arnauth.
[7] Imam Adz-dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 2/162.
[8] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah 8/125.
[9] Ibid., 8/134.
[10] Ibid., 8/138.
[11] Ibid.
[12] Majmu’ Fatawa,4/478 &Minhaj as-Sunnah,6/232.
[13] Tarikh Dimasyq,59/211.
[14] Perang Hunain terjadi pada tahun 8 H/630 M. Kaum Muslimin memeranngi Suku Hawazin dan Tsaqif di Lembah Hunain karena memusuhi Kaum Muslimin tatkala mengepung Mekkah. Kisah ini diabadikan dalam al-Quran surat at-Taubah, ayat 25-26.
[15] Imam adz-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’, 1/328
[16] Tarikh at-Thabari, 3/391.
[17] Pes mematikan yang berasal dari kota Amwas, desa kecil di Palestina. Tahun 1967 kota ini dihancurkan Israel.
[18] Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat al-Kubra, 7/406.
[19] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, 11/417.
[20] Tarikh al-‘Umam wa al-Muluk (4/144, 160, 241).
[21] Shahih al-Bukhari, hadits no. 2924.
[22] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (7/159).
Baca Juiga Artikel:
Leave a Reply