MUAMALAH DENGAN PEMEGANG HARTA HARAM

bermuamalah dengan pemegang harta haram

MUAMALAH DENGAN PEMEGANG HARTA HARAM – Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan meminta pertolongan, pengampunan dan petunjuk-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal kita. Barang siapa mendapat petunjuk dari Allah maka tika nada yang menyesatkannya, dan barang siapa yang sesat maka tidak ada pemberi petunjuknya baginya. Aku bersaksi bahwa tiada Illah yang berhak di ibadahi dengan benar melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah Hamba dan Rasulnya. Ammaa ba’du.

Seorang muslim yang hidup di akhir zaman ini, sekalipun ia telah berusaha untuk mencari harta dengan cara halal atau telah bertaubat dari hartanya yang haram, dia tidak hidup sendiri di atas muka bumi. Ia tidak akan terlepas dari bermuamalah dengan orang lain. Jika ia menemukan rekan transaksi seorang yang mendapatkan hartanya dengan jalan yang haram, bolehkah ia melakukan transaksi halal dengannya? Misalnya ia diundang oleh seorang kerabatnya untuk menghadiri jamuan makan, padahal ia tahu bahwa kerabatnya adalah seorang koruptor. Atau, ia menjual sebidang tanah kepada seorang yang berprofesi sebagai rentenir. Bolehkah dia melakukan transaksi dengannya?

Ada dua kemungkinan yang bisa ditemui:

Pertama, seorang muslim tadi mengetahui dengan jelas bahwa harta yang dijadikan objek transaksi oleh rekannya adalah harta yang diperolehnya dengan cara haram, seperti rekannya menuturkan bahwa ini adalah hasil korupsi atau riba.

Kedua, ia sebatas menduga bahwa objek transaksi berasal dari harta haram, seperti rekannya yang dikenal sebagai koruptor, namun di samping itu rekan ini juga memiliki usaha yang halal, mungkin saja harta yang diberikan oleh rekannya dalam transaksi adalah harta haram dan mungkin juga harta itu diambilnya dari usahanya yang halal.

BERMUAMALAT DENGAN ORANG YANG DIYAKINI BAHWA SELURUH HARTANYA HARAM

Sebuah harta haram, bisa jadi keharamannya melekat pada zatnya, seperti najis atau benda yang diharamkan; dan bisa jadi keharamannya tidak melekat pada zatnya, hanya karena cara mendapatkannya yang diharamkan, sedangkan zatnya tidaklah haram, seperti uang riba. Sifat keharaman riba tidak melekat pada fisik uang, hanya cara perpindahannya dari tangan pertama dan tangan kedua melalui proses riba yang diharamkan.

Maka ketika seorang yakin bahwa yang digunakan oleh rekan transaksinya untuk pembayaran sebuah transaksi yang halal adalah uang (haram) dari hasil riba, apakah sifat haranya berpindah ke tangan ketiga?

Menurut kaidah syariat, bahwa sifat haram ini tidak melekat pada fisik uang dan dosa riba hanya ditanggung oleh tangan pertama dan kedua saja, dan tidak menjalar kepada tangan ketiga. Karena tangan ketiga mendapatkan uang itu dari tangan kedua melalui transaksi halal. Akan tetapi apabila tangan ketiga mengetahui benar bahwa uang itu berasal dari uang riba berdasarkan pengakuan dari pihak kedua-umpamanya- apakah boleh juga tangan ketiga melakukan transaksi yang halal dengan tangan kedua? Dalam kasus ini tangan ketiga tidak  boleh bermuamalah dengan tangan kedua, bukan disebabkan bahwa fisik uangnya haram, melainkan karena tindakannya tersebut menunjukkan bahwa ia menyetujui perbuatan riba yang dilakukan oleh tangan kedua dan dengan muamalah tersebut uang riba yang berada pada tangan kedua berpindah ke tangan ketiga dan melambatkan tangan kedua untuk bertaubat karena uang tersebut telah berpindah ke tangan ketiga.

Dan atas dasar ini para ulama mengharamkan bermuamalah dengan orang yang diyakini bahwa uang yang diberikannya dalam muamalah tersebut adalah uang haram.

Ibn Taimiyyah berkata, “setiap harta yang merupakan hasil dari perampokan atau didapatkan melalui transaksi yang dilarang syariat, jika seorang muslim mengetahuinya maka hendaklah ia menghindari harta tersebut. Jika engkau mengetahui bahwa seseorang memperoleh uang dengan cara mencuri, atau berkhianat atas amanah yang dititipkan kepadanya, sungguh engkau tidak boleh mengambil uang tersebut, baik melalui hibah dari pencurinya atau pembayaran atas penjualan barang, atau pembayaran upah atas jasa yang diberikannya kepada pemegang uang curian, atau pembayaran hutang, karena uang itu adalah zat uang yang dizalimi.”[1]

Maksud kalimat “uang itu adalah zat uang yang dizalimi” bahwa dengan berpindahnya uang haram tersebut ke pihak lain mengakibatkan pihak pertama terhalangi untuk bertaubat dengan mengembalikan uang tersebut kepada pemiliknya jika didapatkan dengan tidak saling rido, atau menyalurkan untuk kemaslahatan umum jika didapatkan dengan saling ridho yang diharamkan syariat, seperti riba.

Ibn Rajab berkata, “jika diketahui dengan pasti bahwa sebuah harta diperoleh dengan cara haram maka haram hukumnya menerima uang tersebut. Ibn Abdil Barr menyatakan bahwa hukum haram ini merupakan ijma’ para ulama.”[2]

Al-Khattab (954 H) berkata, “seseorang yang memperoleh harta dengan cara haram dan harta tersebut masih utuh ditangannya hendaklah dia mengembalikan kepada pemiliknya… harta tersebut jika berbentuk barang maka tidak boleh bagi orang yang mengetahuinya untuk membelinya, jika berbentuk uang maka tidak oleh diterima sebagai pembayaran, jika berbentuk makanan tidak boleh ikut memakannya dan tidak boleh menerima jika dihadiahkan kepadanya. Dan barang siapa yang melakukan hal tersebut maka ia juga termasuk ikut merampas harta itu dari pemiliknya yang sah.”[3]

Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut:

  1. Diriwayatkan dari seorang anshar bahwa seorang wanita mengundang Nabi untuk makan di rumahnya. Tatkala Nabi akan menggigit daging, beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

((أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها))

“Aku tahu bahwa daging kambing ini diperoleh tanpa izin pemiliknya.” Wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah saya mengutus seseorang untuk membeli kambing tetapi ia tidak mendapatkan kambing. Lalu saya mengutusnya untuk membeli kambing dari tetangga saya yang baru membeli seekor kambing. Ternyata suaminya tidak ada lalu saya mengutusnya ke istri tetangga tersebut dan dia pun memberikan kambing kepada saya (tanpa seizin suaminya).” Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

((أطعميه الأسارى))

“Berikanlah daging ini kepada para tawanan (fakir miskin).” (HR. Abu Dawud, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani)

Hadits ini menjelaskan bahwa benda yang diketahui diperoleh dengan cara haram tidak boleh diterima oleh pihak kedua, sekalipun dalam bentuk hadiah. Dan harta ini haruslah disalurkan kepada fakir miskin.

  1. Asar yang diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Shiddiq bahwa tatkala beliau mengetahui bahwa roti yang dimakannya diperoleh dengan cara haram maka beliau memuntahkannya kembali roti yang telah masuk ke dalam perutnya. (HR. Al-Bukhori)

Asar ini menunjukkan bahwa harta yang didapatkan dengan cara haram maka tidak boleh dikonsumsi.

BERMUAMALAT DENGAN ORANG YANG HARTANYA BERCAMPUR ANTARA HARTA HARAM DAN HALAL

Setelah mengetahui bahwa haram hukumnya bermuamalah dengan orang yang diyakini bahwa seluruh hartanya adalah haram atau harta yang digunakannya untuk bermuamalah adalah harta haram, akan dijelaskan hukum bermuamalah dengan orang yang hartanya diyakini bercampur antara yang halal dan haram dan tidak diketahui bahwa harta yang digunakannya untuk bermuamalah adalah harta yang haram?

Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini.

Pendapat pertama: boleh bermuamalah dengan orang yang sebagian besar hartanya halal dan tidak boleh bermuamalah dengan orang yang sebagian hartanya haram. Ini pendapat sebagian ulama madzhab Hanafi dan Hanbali.

Ibn Nujaim berkata, “jika seseorang memberikan hadiah, sedangkan sebagian besar hartanya berasal dari yang halal, maka boleh menerima hadiahnya dan juga boleh memakan makanan yang disuguhkannya selama tidak diketahui bahwa itu berasal dari hartanya yang haram. Dan jika sebagian besar hartanya haram maka tidak boleh menerima hadiahnya dan tidak boleh memakan makanannya.[4]

Ibn Rajab berkata, “Al-Imam Ahmad pernah ditanya tentang harta halal bercampur dengan harta haram, ia menjawab, ‘jika yang halal lebih banyak maka keluarkan yang haram dan pergunakanlah sisanya. Dan jika yang haram lebih banyak maka jauhilah.[5]

Pendapat kedua: makruh hukumnya bermuamalah dengan orang yang hartanya bercampur antara yang halal dan haram, baik yang haramnya banyak maupun sedikit. Ini pendapat sebagian ulama madzhab Syafi’i.

Al-Suyuti berkata, “Bermuamalah dengan orang yang sebagian besar hartanya berasal dari yang haram hukumnya makruh menurut pendapat yang terkuat dalam madzhab.

Pendapat ketiga: bermuamalah dengan orang yang hartanya bercampur antara yang halal dan haram hukumnya boleh. Ini pendapat yang dipilih oleh banyak ulama.

Ibn Hajar berkata, “boleh hukumnya bermuamalah dengan orang yang hartanya bercampur antara yang halal dan haram.[6]

Ibn Mas’ud pernah ditanya tentang hukum menghadiri jamuan makan yang dibiayai oleh seorang yang terang-terangan melakukan riba, ia berkata, “Hadirilah undangannya! Selamat menikmati hidangan dan dosa riba ditanggung oleh pelakunya.[7]

Pendapat ini berdasarkan perbuatan Nabi yang bermuamalah dengan orang yahudi padahal Allah telah menetapkan bahwa yahudi adalah pemakan riba dan harta haram.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

أكّلون للسحت

Artinya: “Mereka itu (yahudi) adalah orang-orang…. banyak memakan harta haram”. (QS. Al-Maidah:42)

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وأخذهم الربوا وقد نهوا عنه

Artinya: Dan disebabkan mereka (yahudi) memakan harta riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya. (QS. Al-Nisa:161)

Meskipun demikian Rasulullah tetap bermuamalah dengan mereka. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori Nabi menerima hadiah dari orang yahudi pada saat perang khaibar berupa daging kambing yang telah diberi racun. Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa ia berkata:

اشترى من يهودي طعاما إلى أجل ورهنه درعه

Artinya: “Rasulullah membeli makanan dengan cara tunai dari seorang yahudi dan menggadaikan baju besi beliau kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)

Wallahu a’lam, pendapat yang membolehkan bermuamalah dengan orang yang hartanya bercampur antara yang halal dan haram adalah pendapat yang kuat, berdasarkan perbuatan Nabi dan ini pendapat yang dipilih oleh al-Imam al-Nawawi. Al-Malibari (ulama madzhab Syafi’i, waat 987 H) berkata, “Bermuamalah dengan sebagian orang yang sebagian hartanya haram boleh, dan boleh memakan pemberiannya, sebagaimana dikuatkan oleh al-Nawawi dalam al-Majmu’.

 

REFERENSI:

DIRINGKAS OLEH: AYESA ARTIKA APRILIA (Pengajar Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits)

Dari tulisan Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi

DARI MAJALAH AL-FURQON edisi 143

[1] Majmu’ al-Fatawa jilid 29 hlm. 323

[2] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam hlm. 202

[3] Mawahib al-Jalil jilid 5 hlm. 279

[4] Al-Asyab wa al-Naza’ir hlm. 125

[5] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam hlm. 183

[6] Fath al-Bari jilid 5 hlm. 141

[7] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam hlm. 202

 

BACA JUGA:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.