Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

MERAIH PAHALA DENGAN SEDIKIT AMAL

Meraih Pahala Besar Dengan Sedikit Amal

(Bagian 3)

 

Mengetahui Ibadah yang Paling Utama

Para shahabat selalu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam tentang amal yang paling utama, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.” Ditanya, “Kemudian apa? Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ditanya, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Haji mabrur.” (HR. Al-Bukhari).[1]

 

mengetahui ibadah yang paling afdhal sangat berguna terutama ketika dihadapkan kepada dua buah amal yang sama-sama berpahala. Dengan demikian, ia pun dapat memilih amal yang paling besar pahalanya, karena seorang yang faqih bukanlah seseorang yang hanya sebatas mengetahui halal dan haram, namun seseorang yang faqih adalah yang mengetahui derajat kehalalan dan keharaman, derajat pahala dan siksa, serta derajat mashlahat dan mafsadah sehingga ia mampu meraih pahala yang besar dengan sedikit amal.

 

  1. Perbedaan pendapat mengenai ibadah yang paling utama

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Kemudian ahli iyyaka na’bud berbeda pendapat mengenai ibadah yang paling utama, paling bermanfaat, dan paling berhak untuk didahulukan mejadi empat kelompok, yaitu sebagai berikut:

 

pertama, ibadah yang paling utama menurut mereka adalah yang paling berat kepada jiwa. Mereka beralasan karena hal itu adalah yang paling jauh dari hawa nafsunya yang merupakan hakikat ibadah, sedangkan besarnya pahala ibadah disesuaikan dengan kesulitan yang ada padanya.

Mereka berkata, “sesunggunya jiwa hanya akan lurus dengan ini, karena tabiat jiwa adalah malas dan hina serta condong kepada kehidupan dunia, maka tidak akan lurus kecuali dengan melakukan hal-hal yang berat.”

 

kedua, ibadah yang paling utama adalah zuhud dalam kehidupan dunia, mempersedikit darinya semampu mungkin, dan mereka terbagi menjadi dua kelompok, yaitu

  1. kelompok awam; mereka menyangka bahwa hal tersebut adalah tujuan sehingga mereka pun bersungguh-sungguh mengamalkan dan mendakwahkannya. Mereka berkata, “Zuhud lebih utama dari derajat ilmu dan ibadah.”

mereka menganggap bahwa zuhud dalam kehidupan dunia adalah tujuan ibadah dan pokoknya.

  1. Khawas; Mereka memandang bahwa zuhud hanyalah sebagai wasilah, karena maksud tujuannya adlah mengumpulkan hati kepada Allah subhanahu wata’ala, memenuhi hati dengan kecintaan kepada-Nya.

 

Ketiga, ibadah yang paling utama menurut mereka adalah yang manfaatnya menular kepada orang lain. Oleh karena itu, mereka memandang bahwa membantu fakir miskin, sibuk mengurus kemashlahatan manusia dan memenuhi kebutuhan mereka, serta membantu dengan harta dan kedudukan adalah ibadah yang paling utama.

Mereka berhujjah bahwa pelaku ibadah apabila meninggal, ibadahnya terputus, sedangkan pemberi manfaat tidak akan terputus selama manfaat dari amal tersebut masih ada.

Mereka juga beralasan bahwa tujuan para Nabi diutus adalah untuk berbuat ihsan kepada makhluk dan memberikan hidayah sekaligus manfaat di dunia dan di akhirat mereka. Mereka tidak diutus untuk menyendiri dan memutuskan hubungan dengan manusia.

 

Keempat, ibadah yang paling utama adalah mencari keridhaan Allah subhanahu wata’ala pada waktunya masing-masing sesuai dengan (ibadah) yang ada pada waktu tersebut. Hal yang paling utama di waktu jidah dikumandangkan adalah berjihad, meskipun harus meninggalkan wirid-wirid yang biasa dilakukan, atau meninggalkan shalat malam, bahkan meninggalkan menyempurnakan shalat fardhu. Selain itu beberapa hal yang paling utama, yaitu sebagai berikut.

  1. Melayani tamu, meskipun harus meninggalkan hak istri dan keluarga.
  2. Menyibukkan diri dengan shalat, membaca Al-Qur’an, doa, dzikir, dan istighfar di waktu sahar (akhir malam).
  3. Bersungguh-sungguh saat mengajar dan membimbing murid-murid dan mengajar orang yang bodoh.
  4. Menjawab adzan, dan meninggalkan wirid yang sedang ia lakukan ketika adzan dikumandangkan.
  5. Bersungguh-sungguh menegakkan shalat dengan sisi yang paling sempurna, bergegas pergi di awal waktu melaksanakanya di masjid jami’ dan akan lebih utama lagi apabila jaraknya jauh.
  6. Menyibukkan diri dengan membantu, dan menghilangkan kesusahan seseorang di saat ada seseornag yang membutuhkan bantuan melalui kedudukan, badan, atau harta.
  7. Hal yang paling utama di saat membaca Al-Qur’an, yaitu mengumpulkan hati dan keingingan untuk mentadabburi dan memahaminya sehingga seakan-akan Allah subhanahu wata’ala mengajaknya berbicara.

Dan beberapa poin lainnya yang peringkas cukupkan pada materi ini, yang sebenarnya terdiri dari 13 poin pada bukunya.

Jadi, hal yang paling utama pada setiap waktu dan keadaan adalah mencari keridahaan Allah subhanahu wata’ala pada waktu dan keadaan tersebut sesuai dengan kewajiban yang ada, dan mereka adalah ahli ibadah mutlak, sedangkan tiga kelompok sebelumnya adalah ahli ibadah terbatas. Maksudnya apabila mereka keluar dari ibadah yang dianggap telah mengurangi dan meinggalkan ibadahnya. Oleh karena itu, mereka beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan satu sisi saja.

Adapun ahli ibadah mutlak, tidak ada tujuannya mengutamakan suatu ibadah tanpa yang lainnya. Namun tujuannya adalh mencari keridhaan Allah subhanahu wata’ala dimana pun ia berada.

 

  1. Amal yang paling utama
    1. iman kepada Allah subhanahu wata’ala

berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam ditanya:

 

أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: إِيمَانٌ بِاللهِ وَ رَسُوْلِهِ. قِيْلَ ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ قِيْلَ ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُوْرٌ

 

Amal apa yang paling utama? Beliau menjawab, “Iman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.” Ditanya, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ditanya, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Haji mabrur.” (HR. Al-Bukhari)[2]

 

  1. Dzikir

berdasarkan hadits Abu Darda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

“Maukah aku memberitahukan kepadamu amal yang paling baik, paling suci di sisi Rabb kamu, dan paling tinggi untuk derajatmu, lebih baik dari menginfakkan emas dan perak, dan lebih baik dari kamu bertemu dnegna musuh, lalu kamu memenggal leher mereka, dan mereka memenggal lehermu? Mereka berkata, “Mau wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “(yaitu) Dzikir kepada Allah.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya)[3]

 

adapun dzikir yang paling utama adalah laa ilaaha ilallaah berdasarkan hadits:

dzikir yang paling utama adalah laa ilaaha ilallaah dan doa yang palign utama adalah Al-Hamdulillah. (HR. At-tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya)[4]

 

di antara dzikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an karean setiap hurufnya diberikan pahala sepuluh oleh Allah subhanahu wata’ala. Dzikir ada dua macam, yaitu dzikir muqayyad dan dzikir mutlak.

Dzikir muqayyad adalah dzikir yang telah ditentukan waktu dan tempatnya seperti dzikir pagi dan petang, dzikir masuk dan keluar masjid, dzikir setelah shalat, dzikir mau tidur dan bangun tidur dan lain-lain.

Dzikir mutlak adalah dzikir yang tidak ditentukan waktu dan tempatnya dimana boleh diucapkan dimanapun dan kapanpun, seperti ucapan subhanallah, al-hamdulillah, Allahu akbar, laa ilaaha ilallah, laa haula walaa quwwata illa billah, subhanallahi wa bihamdihi, subhanalla al ‘azhiim dan lain-lain.

Dzikir muqayyad lebih utama dari dzikir mutlak. Oleh karena itu, menjawab adzan lebih utama dari membaca Al-Qur’an, dan seterusnya.

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata, “Sesungguhnya membaca Al-Qur’an lebih utama dari dzikir dan doa yang mutlak, dan dzikir lebih utama dari doa. Adapun dzikir muqayyad (yang terikat) dengan waktu, atau tempat, atau keadaan maka itu lebih utama.”[5]

 

  1. Doa

doa adalah ibadah yang paling utama, bahkan ia merupakan intisari ibadah. Hal tersebut sebagaimana dalam hadits:  أَفْضَلُ الْعِبَادَةِ الدُّعَاءُ “Ibadah yang paling utama adalah doa.”[6]

adapun doa yang paling utama adalah doa di hari ‘Arafah, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

أََفْضَلُ الدُّعَاءِ دُعَاءِ يَوْمَ عَرَفَةٌ

doa yang paling utama adalah doa di hari ‘Arafah.[7]

sepertiga malam terakhir adalah waktu yang utama untuk berdoa karena Allah subhanahu wata’ala langusng turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, seraya berfirman:

 

مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبُ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيْهِ وَمَن يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُ لَهُ

 

  1. Shalat pada Waktunya, Berbakti Kepada Orangtua, dan Jihad fi Sabilillah

berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud bahwa ada seseorang bertanya kepada Nabi shallahu ‘alaihi wasalam, amal apa yang paling utama, beliau menjawab:

 

الصَّلَاةُ لِوَقْتِهَا وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ ثُمَّ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ

Shalat pada waktunya, dan berbakti kepada orang tua, kemudian berjihad di jalan Allah. (HR. Al-Bukhari)[8]

 

  • Shalat berjama’ah jauh lebih utama daripada shalat sendirian.
  • adapun shalat berjama’ah yang paling utama adalah shalat shubuh berjama’ah di hari Jum’at berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam:

shalat yang paling utama di sisi Allah adalah shalat shubuh berjama’ah di hari Jum’at. (HR. Abu Nu’aim)[9]

  • semakin banyak jumlah jama’ah shalat maka semakin utama.
  • Adapun hal yang paling utama untuk laki-laki adalah shaf yang pertama, sedangkan untuk wanita adalah yang paling belakang.
  • Berjihad dengan jiwa dan harta di jalan Allah subhanahu wata’ala adalah amalan yang sangat utama.
  • Diantara Jihad yang paling utama adalah menjihadi diri dan hawa nafsu.
  • Juga termasuk jihad yang paling utama adalah menegakkan kalimat al-haq di sisi penguasa yang zalim.
  • Ketika musuh menyerang atau seseorang diwajibkan oleh imam kaum muslimin untuk mengikuti perang. Dalam hal ini hal yang paling utama adalah berjihad dengan jiwa raganya.

 

  1. Menuntut Ilmu

dalil-dalil dari Al-Qur’an dan sunnah yang menerangkan tentang keutamaan menuntut ilmu sangatlah banyak. Ibnu Qayyim menyebutkan, ada sekitar 129 keutamaan menuntut ilmu dalam kitabnya yang mengagumkan, Miftah daar As-Sa’adah.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Ilmu tidak dapat ditandingi oleh sesuatupun bagi seseorang yang lurus niatnya. Mereka berkata, ‘Bagaimana lurus niatnya wahai Abu Abdillah?’ beliau menjawab, ‘berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.’”[10]

ilmu yang paling agung adlah ilmu tentang Allah subhanahu wata’ala dan hak-hak-Nya, yaitu berupa mentauhidkan Allah subhanahu wata’ala dan menjauhkan kesyirikan. Karena kedua hal tersbut merupakan intisari dakwa para Nabi dan Rasul, bahkan surga diharamkan untuk seseorang yang meninggalkan dalam keadaan mempersekutukan Allah subhanahu wata’ala.

Mempelajari Al-Qur’an adalah ilmu yang sangat utama, Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

 

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْانَ وَعَلَّمَهُ

 

sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.[11]

 

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diantara ilmu yang paling penting adalah mempelajari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam. Maksdunya, mempelajari matan-matannya, shahih, hasan, dan dha’ifnya, dan ilmu-ilmu hadits lainnya. Buktinya syariat kita berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah, dan sunnah adalah poros hukum-hukum fiqh, dan kebanyakan ayat-ayat hukum bersifat global, sementara penjelasannya ada dalam sunnah.

 

Para ulama bersepakat bahwa diantara syarat mujtahid baik dari qadhi maupun mufti adalah berilmu tentang hadits-hadits hukum. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa menyibukkan diri dengan hadits adalah kebaikan yang paling utama dan taqarrub yang paling agung.”

 

 

bersambung insyaallah…

 

Diringkas dari buku : Meraih Pahala besar dengan sedikit amal.

Penulis : Abu Yahya Badru Salam, Lc

Diringkas oleh: Fauzan Alexander

 

 

[1]     Al-Bukhari, No.26

[2]     Al-Bukhari, No.26

[3]     Ahmad dalam Al-Musnad, 5/195, At-Tirmidzi No. 3377, dan Ibnu Majah No. 3790. dari jalan Abdullah bin Sa’id bin Abi Hindin dari Ziyad maula Ibnu ‘Ayyasy dari Abu Bahriyyah dari Abu Darda dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam. Qultu: sanad ini hasan semua perawinya tsiqah kecuali Abdullah bin Sa’id, ia shaduq sebagaimana yang dikatakan oleh AL-Hafidz dalam At-Taqriib. Namun, ia di-mutaba’ah oleh Musa bin Uqbah diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya No. 21752 (tahqiq Syu’aib Al-Arnauth) sehingga hadits ini menjadi shahih.

[4]     At-Tirmidzi, No. 3383, Ibnu Majah No. 3800 dari jalan Musa bin Ibrahim sami’tu Thalhah bin Khirasy berkata, aku mendengar Jabir bin Abdillah berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda… qultu: sanad hadits ini hasan karena Musa bin Ibrahim dan Thalhah adalah shaduq.

[5]     Bakr Abu Zaid, Tashhihud Du’a, hlm. 49.

[6]     HR. Al-Hakim dalam mustadraknya dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih Jami’ Ash-Shagier No.1122.

[7]     Shahh Jami’ Ash-Shaghier No. 1102.

[8]     Al-Bukhari No. 7534.

[9]     Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam silsilah hadits shahih No. 1566.

[10]   Syarah Hilyah Thalabil ‘Ilmi karya Syaikh ‘Utsaimin, hlm. 9.

[11]   Al-Bukhari No. 5027.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.