Larangan Taqlid Buta (Bagian 1) – At-taqlid secara etimologi adalah “meletakkan qiladah (kalung) di leher”. Kalimat ini digunakan untuk mengungkapkan suatu perkara atau urusan yang diserahkan kepada seseorang, seolah-olah urusan tersebut telah diletakkan/digantungkan di lehernya seperti kalung.[1] Adapun secara istilah taklid adalah “menerima perkataan/pendapat tanpa dalil”.[2] Seolah-olah orang yang menerima pendapat tanpa dalil telah meletakkan pendapat tersebut di lehernya bagaikan kalung yang dikalungkan.
Dalil Yang Mencela Dan Melarang Taqlid
Taklid merupakan sikap tercela dan terlarang berdasarkan syari’at dan akal sehat, serta ijma’ para sahabat. Di antara dalil yang mencela dan melarang dari taklid adalah ayat-ayat yang mencela orang-orang kafir dan musyrik yang menolak kebenaran, melakukan kebatilan dan kesyirikan dengan alasan taklid kepada bapak-bapak dan nenek moyang mereka, sebagaimana firman Nya:
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ . وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ
Yang artinya: “Bahkan mereka berkata, “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orong yang mengikuti jejak mereka.” Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka. “[3]
Maksudnya, “landasan mereka dalam melakukan kesyirikan tidak lain hanyalah taklid kepada bapak-bapak dan nenek moyang (mereka).” [4]
Dan firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ
Yang artinya : “Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?[5]
Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i Rahimahullah menafsirkan ayat di atas seraya berkata, “Maksudnya, apabila mereka diajak kepada agama dan syari’at Allah dan (melakukan) apa yang diwajibkan-Nya serta meninggalkan apa yang diharamkan-Nya, mereka akan berkata, ‘Cukuplah bagi kami apa (metode dan jalan) yang kami dapati dari bapak-bapak dan nenek-nenek moyang kami, sekalipun bapak-bapak dan nenek-nenek moyang mereka tidak memahami dan mengetahui kebenaran dan tidak mendapat petunjuk.’ Kenapa mereka mengikutinya dengan keadaan seperti ini? Tiada lain yang mengikuti mereka kecuali orang yang lebih bodoh dan lebih sesat dari mereka.”[6]
Dan firman. Allah tentang kaum Nabi Ibrahim Alaihis salam yang menyembah patung yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan menolak mudarat:
قَالُوا بَلْ وَجَدْنَا آبَاءَنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
Yang artinya : “Mereka menjawab, “(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian.”[7]
Al-Imam al-Baghowi Rahimahullah berkata, “Maksudnya, sesungguhnya patung-patung tersebut tidak mampu mendengar perkataan, mendatangkan manfaat dan tidak mampu menolak mudarat, tetapi kami hanya mengikuti (taklid kepada) nenek-nenek moyang kami. Dalam ayat ini terdapat pembatalan taklid dalam agama.”[8]
Dan ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat-ayat di atas.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata:
اعْدُ عَالِـمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا، وَلَا تَغْدُ إِمَّعَةً بَيْنَ ذَلِكَ
Yang artinya : “Jadilah kamu orang yang alim dan belajar, jangan kamu menjadi orang yang imma’ah di antara keduanya.”[9]
Al-Imam Ibnu Atsir menjelaskan makna (إِمَّعَةً) yaitu seseorang yang tidak memiliki pendapat, ia mengikuti siapa saja berdasarkan pendapatnya.[10] Mengikuti pendapat siapa saja tanpa dalil, itulah yang dikenal dengan taklid, dan ia bukanlah sifat orang yang alim dan terpelajar, melainkan sikap orang yang bodoh dan dungu.
Dalam riwayat lain Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata:
لَا يُقَلِّدَنَّ رَجُلٌ دِيْنَهُ رَجُلًا، إِنْ آمَنَ آمَنَ، وَإِنْ كَفَرَ كَفَرَ
Yang artinya : “Janganlah seseorang taklid kepada orang lain dalam beragama, jika ia beriman dia ikut beriman dan jika ia kafir dia ikut kafir.”[11]
Dan semua hadits dan atsar-atsar para sahabat yang memerintahkan untuk mengikuti sunnah Rasulullah adalah dalil yang mencela dan melarang dari taklid. Sebab, pada hakikatnya sikap taklid bertentangan dengan perintah tersebut. Berpegang teguh dengan sunnah tidaklah akan teraplikasi kecuali dengan meninggalkan taklid. WAllahu A’lam.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, para sahabat sepakat dalam mencela dan melarang taklid, sebagaimana yang dinukil oleh al-Imam Abu Muzhoffar as-Sam’ani asy-Syafi’i seraya berkata, “Dan juga yang menjelaskan larangan bertaklid (ialah) ijma’ para sahabat. Sesungguhnya mereka telah berbeda pendapat dalam banyak permasalahan, berdialog, dan berijtihad, tetapi tidak dikenal salah seorang dari mereka bertaklid kepada yang lain, atau menyuruh seseorang untuk bertaklid kepada dirinya. Abu Salamah bin Abdirrohman telah berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas, dalam suatu permasalahan lalu mereka berdua pergi berhukum kepada Ummu Salamah, dan Ibnu Abbas tidak pernah mengatakan kepadanya, ‘Kamu tidak boleh menyelisihiku karena saya adalah sahabat dan kamu haras mengikutiku, maka kamu wajib bertaklid kepadaku.’
Maka jelaslah bahwa barang siapa yang membolehkan bertaklid sedang para sahabat telah sepakat melarang hal itu, maka sungguh ia telah menyelisihi ijma’.” [12] Begitu juga para ulama telah sepakat dalam mengingkari taklid buta dan melarang manusia dari sikap taklid kepada pribadi mereka. Al-Imam Ibnul Qoyyim mengatakan, “Para imam empat melarang dari sikap taklid kepada mereka dan mereka mencela untuk mengambil ucapan mereka tanpa dalil.”[13]
Di antara para imam yang paling keras melarang taklid adalah al-Imam asy-Syafi’i. Beliau mempunyai mutiara-mutiara wasiat yang indah dan berharga dalam mencela taklid dan melarang darinya. Al-Imam Abu Syamah berkata, “Sungguh imam kami asy-Syafi’i telah melarang dari taklid kepadanya dan taklid kepada orang lain.”[14]
Berikut ini sebagian perkataan beliau—asy-Syafi’i —dalam hal ini:
كُلُّ مَاقُلْتُهُ فَكَنَ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم خِلَافُ قَولِيْ مِمَّا صَحَّ، فَهُوَ أَوْلَى، وَلَا تُقَلِّدُوْنِيْ
Yang artinya : “Setiap apa yang aku katakan lalu ada hadits shohih dari Rasulullah yang menyelisihi ucapanku maka hadits lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taklid kepadaku.”[15]
إِذَا صَحَّ الْـحَدِيْثِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَخُذُوْابِهِ وَدَعُوْا قَوْلِيْ
Yang artinya : “Apabila telah shohih hadits dari Rasulullah maka ambillah dan tinggalkan pendapatku.”[16]
إِذَا صَحَّ الْـحَدِيْثُ فَهَوَ مَذْهَبِيْ، وَإِذَا صَحَّ الْـحَدِيْثُ فَاضْرِبُوْا بِقَوْلِي الْـحَائِطَ
Yang artinya : “Apabila ada hadits shohih maka itulah madzhabku dan apabila ada hadits shohih maka lemparkanlah ucapanku ke tembok. “[17]
Beliau juga berkata, “Tidak boleh taklid kepada seorang pun selain Rasulullah.”
Itulah sebagian perkataan al-Imam asy-Syafi’i dalam mencela taklid dan melarang darinya. Sungguh para ulama Syafi’iyyah telah menerima wasiat tersebut dan mengamalkannya dalam kehidupan ilmiah dan amaliah mereka. Mereka tidak ragu-ragu meninggalkan perkataan imam mereka bila terdapat hadits yang shohih yang menyelisihinya, dan mencela sikap taklid dalam beragama dan melarang darinya, berikut sebagian nukilan dari mereka dalam hal ini.
Bersambung bagian 2
REFERENSI:
oleh Jeffri pamungkas s (Staf Pengajar Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)
Sumber : Majalah Al-Furqon, No. 115 Ed.12 Th. ke-10_1432 H/2011 M – Dr. Muhammad Nur Ihsan, MA
[1] Lihat Mudzakkiroh Ushulul Fiqh kar. Syaikh asy-Syinqithi hlm. 296 cet. Maktab al-Ulum wal Hikam.
[2] Lihat al-Faqih wal Mutafaqqih kar. al-Khothib al-Baghdadi asy-Syafi’i: 2/128 cet. Dar Ibnu al-Jauzi, al-Musthashfah kar. al-Ghozali: 2/462, dan Qowati’ al-Adillah kar. al-Imam Abu Muzhoffar as-Sam’ani: 2/340.
[3] QS. az-Zukhruf [43]: 22-23
[4] Tafsir Ibnu Katsir: 4/128
[5] QS. al-Maidah [5]: 104
[6] Tafsir Ibnu Katsir: 2/103 cet. Dar Thoibah
[7] QS. asy-Syu’aro’ [26]: 74
[8] Tafsir al-Baghowi: 6/117 cet. Dar Thoibah
[9] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Madkhol ila as-Sunan al-Kubro no. 285.
[10] An-Nihayah fi Ghoribil Atsar: 1/164
[11] Diriwayatkan oleh al-Baghdadi dalam al-Faqih wal Mutafaqqih: 2/416 no. 751.
[12] Qowati’ al-Adillah: 2/343
[13] I’lamul Muwaqqi’in: 2/200
[14] Khuthbah al-Kitab al-Mu’ammal fir Roddi ila Amril Awwal hlm. 41
[15] Hilyatul Auliya’ kar. Abu Nu’aim: 9/106-107
[16] Al-Bidayah wa Nihayah kar. Ibnu Katsir: 5/276
[17] Siyar A’lam an-Nubala’ kar. adz-Dzahabi: 5/35 dan al-Majmu’ kar. an-Nawawi: 1/63.
BACA JUGA :
Leave a Reply