Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Menuju Gerbang Rumah Tangga

menuju gerbang rumah tangga

Menuju Gerbang Rumah Tangga – Di antara kasih sayang Allah kepada hamba-Nya adalah Dia menciptakan makhluk berpasang-pasangan. Dijadikannya kecenderungan makhluk tersebut untuk menyukai pasangannya dan merasa nikmat bergaul di antara mereka. Dengan sebab itu, makmurlah bumi ini karena lahirnya keturunan dari pasangan-pasangan tersebut. Indahnya lagi, Allah menurunkan syariat nikah bagi hamba-hamba-Nya.

An-Nikaah secara etimologi berarti mengumpulkan atau menggabungkan. Makna hakiki kata an-nikaah adalah bersetubuh. Namun secara majas sering diungkapkan dengan arti akad perkawinan. Penyebutan ini termasuk penyebutan al musabbab (hubungan intim) namun yang dimaksud adalah as-sabab (akad pernikahan). Secara istilah, nikah adalah akad yang mengandung makna dibolehkan melakukan persetubuhan dengan orang yang dinikahi.

Tidak ada khilaf di antara para ulama tentang disyariatkannya nikah. Menurut para ulama yang menulis kitab Al-fiqhul muyassar fi dhau’i al-kitab wa as-sunnah, pensyariatan nikah adalah berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’. Bahkan para ulama berpendapat bahwa haram hukumnya bagi seseorang yang dengan sengaja tidak menikah, yaitu bukan karena tidak mampu atau karena alasan syar’i lainnya. Adapun mengenai hukum asalnya, para ulama bersilang pendapat antara wajib dan sunnah. Dari hukum asal ini kemudian bisa berubah menjadi makruh atau haram tergantung pada sebab musababnya. Berikut di antara Keutamaan menikah.

  1. Nikah adalah sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan sunnah nabi-nabi sebelumnya.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri.” (QS. Ar-Ra’d: 38)

  1. Menikah berarti menyempurnakan separuh agama

إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفُ الدِّيْنِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي

Artinya: Jika seorang hamba telah menikah, berarti ia telah menyempurnakan separuh agama. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah pada separuh sisanya. (HR. Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani disahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Al Jami’ no. 430)

  1. Nikah mendatangkan ketenangan jiwa, ketenteraman batin, dan saling mencintai antara suami dan istri.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَمِنْ اٰيٰتِه اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

  1. Nikah adalah sarana untuk memakmurkan bumi dengan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum muslimin

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ

Artinya: “Nikahilah wanita yang penyayang yang subur punya banyak keturunan karena aku bangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat kelak.” (HR. Abu Daud no. 2050 dan An Nasai no. 3229)

  1. Menjaga mata dan kemaluan

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ

Artinya: “Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. Al-Bukhâri no. 1905, 5065, 5066 dan Muslim no. 1400)

  1. Sebab datangnya rezeki

Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala:

إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya: Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunianya-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32)

  1. Mewujudkan ibadah yang hanya dapat dilakukan di dalam pernikahan

Beberapa bentuk amal shalih seperti berbakti kepada suami, berlemah lembut terhadap istri, menafkahi dan mendidik istri dan anak-anak adalah contoh ibadah yang hanya dapat dilakukan dalam kerangka pernikahan. Bahkan bersenang-senangnya suami dengan istri pun termasuk ibadah yang berpahala. Dan masih banyak lagi keutamaan nikah yang lainnya.

Jika kita mengaca kepada kehidupan Rasulullah dan para salaf, kita akan mendapati bahwa Islam memberikan kemudahan dalam urusan pernikahan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah pelaksanaannya.” Karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seseorang dengan mahar Al-Quran yang dihafalnya tanpa banyak prosesi dan upacara. Beliau juga menikahkan puterinya Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib dengan mahar baju besi yang sudah retak. Ummu Sulaim bin Milhan tidak menginginkan mahar lain dalam pernikahannya kecuali keislaman calon suaminya. Sa’id ibn Musayyab menikahkan puterinya dalam proses kilat dengan mahar 2 dirham.

Syarat dan rukun nikah pun tidak banyak. Disebutkan dalam kitab Al-fiqh al-muyassar fi dhau’i al-kitab wa as-sunnah bahwa syarat nikah adalah: (1) jelasnya calon suami dan istri, (2) keridhaan dari kedua calon mempelai, (3) adanya wali dari pihak calon istri, (4) adanya 2 orang saksi, dan (5) tidak ada penghalang yang menyebabkan secara syar’i kedua mempelai tidak boleh menikah seperti: karena nasab, persusuan, beda agama, dan selainnya. Sedangkan rukun nikah adalah: (1) adanya calon suami/istri yang akan melaksanakan akad nikah, (2) ijab, yaitu lafal menikahkan dari wali, dan (3) qabul, yaitu lafal penerimaan nikah dari calon suami.

Islam mendorong para pemudanya untuk menikah dan menganjurkan kepada segenap kaum muslimin untuk bekerja sama dalam rangka menikahkan orang-orang yang masih membujang di antara mereka. Allah berfirman:

وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur: 32)

Nabi Shallallahu Alaih Wasallam  bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa itu adalah benteng baginya.” (Al-Bukhâri no. 1905, 5065, 5066 dan Muslim no. 1400)

Setelah mengetahui kedudukan nikah dalam syariat, keutamaannya, dan bagaimana Allah, rasul-Nya, serta para salaf mendorong umat untuk menikah, maka tidak ada lagi alasan bagi siapa yang telah memenuhi syarat untuk segera menikah. Orang yang senantiasa menunda-nunda nikah barangkali terdapat penyakit-penyakit berikut pada dirinya:

  1. Jahil tentang agungnya syariat nikah dan keutamaan-keutamaannya. Obatnya adalah belajar dan mendalami agungnya syariat nikah di dalam Islam.
  2. Mengikuti hawa nafsu, yaitu ingin memperturutkan hawa nafsu untuk menghabiskan masa muda dengan senang-senang yang tidak berfaedah, misalnya dengan pacaran, bermain, dan lain-lain.
  3. Memiliki ketakutan akan masa depan, yaitu bayangan tentang besarnya kesulitan yang akan dihadapi ketika berumah tangga.
  4. Memiliki standar yang terlalu tinggi dalam memilih pasangan, dan lain-lain.

Jika hal-hal di atas masih menggelayuti seseorang sehingga menghalanginya menikah, maka hendaknya seseorang bertakwa kepada Allah, mengingat bahwa menikah adalah syariat yang diperintahkan dan meyakini bahwa ada pertolongan Allah di dalam pernikahan.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ تَعَالَى عَوْنُهُمْ: اَلْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَالْمُكَـاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ.

Artinya: “Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah; seorang mujahid di jalan Allah, seorang budak yang ingin menebus dirinya dengan mencicil kepada tuannya, dan orang yang menikah karena ingin memelihara kesucian.” (HR. Tirmidzi : 1352, Ibnu Majah : 1512)[21]

Setiap orang tua hendaknya mempersiapkan anak-anaknya untuk berpisah dengannya, menjalani kehidupan rumah tangga nya sendiri dan membentuk keluarga sebagaimana dirinya. Orang tua hendaknya memberikan pendidikan rumah tangga yang cukup kepada anak-anaknya. Ajarkanlah agama dan akhlak yang merupakan bekal hidupnya. Biasakanlah anak-anak dengan pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan diri sendiri, barang-barangnya, kamarnya, dan rumahnya sehingga menjadi kebiasaan baik yang tertanam kuat. Bekalilah anak-anak dengan ilmu dan keterampilan yang meningkatkan kualitas dirinya. Kenalkanlah ia dengan seluk beluk urusan rumah tangga yang seringkali tidak melulu indah. Ajarkanlah tentang pentingnya sikap sabar, saling menghargai, bekerja sama, tutur kata yang baik, dan saling memaafkan dan saling menerima kekurangan dalam rumah tangga.

Sebelum memasuki jenjang rumah tangga, calon suami/istri hendaknya membetulkan niatnya untuk menikah, yaitu dalam rangka beribadah kepada Allah, mengikuti sunnah Rasulullah, dan menjaga kehormatan. Setelah itu bekalilah diri dengan ilmu-ilmu syar’i yang berkaitan dengan hukum-hukum pernikahan dan seluk beluk kehidupan berumah tangga. Pahamilah hak dan kewajiban suami/istri dengan baik. Tidak ada salahnya jika mengikuti berbagai kajian atau kelas pranikah yang sesuai sunnah.

Jika niat sudah dipancangkan, azam sudah ditegakkan, maka melangkahlah ke jenjang pernikahan dengan bekal tawakal kepada Allah Ta’ala. Langkah pertama tentu saja mencari calon suami/istri. Dahulu para salaf biasa mencarikan jodoh untuk anak-anaknya. Mereka memilihkan yang terbaik untuk putra dan putrinya. Mereka tidak segan menawarkan putra/putrinya kepada sahabatnya yang dikenal kebaikan agama dan akhlaknya atau kepada muridnya yang ia kenal kebaikan agama dan akhlaknya. Terkadang tawaran datang dari orang lain yang mampu melihat kecocokan seseorang untuk dipasangkan dengan orang lain sebagaimana Khaulah bintu Hakim yang menawarkan Aisyah dan Sauda bintu Zam’ah untuk dinikahi Nabi setelah wafatnya Khadijah. Cara ini sebenarnya termasuk yang paling bagus untuk dipraktikkan sampai zaman sekarang dan nanti sekali pun, Insyallah.

Di zaman sekarang, orang mengenal istilah ta’aruf untuk menemukan jodohnya. Cara ini dikritik oleh Ustadz Muhammad Arifin Baderi sebagai cara yang kurang bertanggung jawab sambil beliau mengingatkan untuk kembali kepada cara para salaf di atas. Menurut Beliau, calon pasangan seringkali kurang objektif jika harus memilih sendiri pasangannya tanpa ada orang lain yang berpengalaman untuk melihat karakter seseorang. Laki-laki seringkali merasa sudah cukup pengenalannya terhadap calon pasangan ketika sudah menemukan kecantikan, sehingga melupakan hal-hal penting lainnya. Sementara jika yang ikut memilihkan adalah ibunya atau bibinya atau saudarinya, maka akan lebih cermat terhadap kekurangan-kekurangan wanita. Sebaliknya jika calonnya adalah laki-laki, maka ayah, paman, atau saudara laki-laki si wanita pasti lebih objektif dan lebih jeli dalam menilai calon pendamping wanita tersebut. Beliau menyarankan kepada para pencari jodoh agar menggunakan jaringan ustadz untuk mencari lelaki shalih dan jaringan istri ustadz untuk mencari wanita shalihah.

Dalam hal ini hendaklah orang tua/wali memperhatikan sabda Nabi berikut, “Tidaklah seorang hamba yang diberi amanat oleh Allah untuk menjaga seseorang, lalu ia tidak memberikan nasihatnya kepadanya, melainkan Allah akan mengharamkan baginya surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Seorang perjaka/perawan seringkali memasang kriteria calon suami/istrinya dengan kriteria yang muluk-muluk yang seringkali akan mereka abaikan ketika rumah tangga sudah berjalan. Apa pun kriterianya, Nabi telah memberikan standar, yaitu baik agama dan akhlak. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إذا جاءَكم مَن ترضَونَ دينَه وخُلقَه فأنكِحوهُ ، إلَّا تفعلوا تَكن فتنةٌ في الأرضِ وفسادٌ

Artinya: “Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi. (HR. Tirmidzi no. 1085)[28]

Syeikh Mahmud Al-Mashri merangkumkan kritera sekunder dan tersier calon suami idaman sebagai berikut: Bisa membaca kitabullah dan memiliki hafalan meskipun sedikit, sekufu, enak dipandang, penyayang kepada istri, jujur, tanggung jawab, berbakti kepada orang tua, berpengetahuan luas, dan lain-lain. Adapun kriteria istri adalah yang bukan dari 6 jenis berikut: (1) banyak mengeluh (al-annānah), (2) selalu mengungkit-ungkit kebaikan (al-mannānah), (3) tidak bisa move on dari masa lalunya (al-hannānah), (4) lapar mata dan matre (al-haddāqah), (5) rakus dan hanya sibuk berdandan (al-barrāqah), dan cerewet dan banyak mengobral kata-kata (asy-syaddāqah).

Al-kafaah atau sekufu atau kesetaraan maksudnya calon suami dan istri hendaknya memiliki level yang tidak terlalu jauh. Level yang dimaksud menurut mayoritas ulama adalah dalam hal agama, nasab, dan status sosial. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir perbedaan yang dapat menimbulkan konflik dalam rumah tangga.

Di antara proses menuju nikah yang dianjurkan nabi adalah melihat calon pasangan (nadhar). Kepada salah seorang sahabatnya yang berniat menikahi seorang wanita, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

اِذْهَبْ فَا نْظُرْ اِلَيْهَا، فَإِ نَّهُ أَجْدَرُأَنْ يُؤدَمَ بَيْنَكُمَا

Artinya: “Pergilah dan lihatlah dia, karena hal itu akan lebih melanggengkan hubungan kasih sayang kalian berdua.” (HR. Tirmidzi no. 1087 dan Ibnu Majah no. 1865)

Syeikh Utsaimin berkata, “Syarat bolehnya melihat wanita (untuk dipinang) ada enam perkara: (1) dilakukan tidak dengan berduaan, (2) Tanpa syahwat. Jika melihat dengan disertai syahwat maka hukumnya haram, karena tujuan melihat itu adalah untuk meng-crosscheck bukan untuk menikmati pandangan, (3) Besar perkiraannya untuk diterima pinangannya, (4) Melihat apa yang biasa Nampak seperti: muka, telapak tangan, leher, dan kaki. (5) berazam untuk meminangnya, adapun jika dia ingin mengetahui banyak wanita maka tidak boleh, dan (6) Pihak wanita tidak boleh nampak berhias dan memakai wangi-wangian, bercelak, dan lain sebagainya.

Jika calon telah ditemukan, seorang pria hendaknya mencari juru bicara yang berpengalaman untuk melakukan khitbah (lamaran) atau wali perempuan menawarkan calon wanita kepada calon laki-laki. Perlu diingat bahwa khitbah bukan syarat sah nikah. Andaikan pernikahan tanpa didahului khitbah pun, ia tetap sah. Ketika seorang pria hendak meminang seorang wanita, pastikan bahwa ia adalah wanita yang tidak terhalang untuk dinikahi dan tidak sedang dalam pinangan orang lain. Disunahkan baginya untuk beristikharah, yaitu shalat dua rakaat untuk meminta petunjuk dari Allah Ta’ala. Pinangan seyogyanya dilakukan antara dua keluarga calon saja dan tidak diumbar kepada khalayak umum.

Di antara hal yang tersebar di kalangan kaum muslimin adalah tradisi tukar cincin ketika lamaran. Lelaki memakaikan cincin pertunangan ke jari wanita yang dipinangnya dan sebaliknya. Para ulama telah mengingkari hal ini dengan keras. Syekh Al-Albany menyebut hal itu merupakan bentuk taklid terhadap orang-orang kafir. Syeikh Ibnu Baz mengatakan hal itu tidak ada dasarnya dalam agama dan sebaiknya ditinggalkan. Ada pun Syekh Utsaimin membaginya menjadi 2: pertama, jika disertai kepercayaan agar pernikahan langgeng disebabkan cicin itu, maka hukumnya syirik. Kedua, beliau mengingatkan bahwa hal itu merupakan tradisi kaum Nasrani yang seharusnya dijauhi. Adapun pemberian perhiasan secara umum sebagai bentuk hadiah dari calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita adalah diperbolehkan.

Kegiatan foto/video calon pengantin sebelum nikah menjadi populer akhir-akhir ini. Hasil foto dan video dalam berbagai pose umumnya disimpan dan diunggah di berbagai media. Mengenai hal ini telah ada fatwa tentang keharamannya dari Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara Nomor 03/KF/MUI-SU/2011. Di antara sebab keharamannya adalah: (1) terjadi ikhtilat dan khalwat dalam kegiatan foto/video prewedding dan (2) adanya tabarruj. Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal menambahkan beberapa point kerusakan foto prewedding seperti: membuka aurat, bersentuhan dengan lawan jenis, dan bahkan sampai ciuman. Selain itu, tentu saja kegiatan ini termasuk pemborosan, menghamburkan uang, waktu, tenaga, dan biaya.

Mahar adalah kewajiban bagi calon pengantin laki-laki. Sebagian orang sulit mewujudkan pernikahan karena dipatok mahar yang sangat besar. Belum lagi, dalam adat beberapa daerah, selain mahar masih ada lagi seserahan yang wujudnya bermacam-macam. Padahal Nabi pernah bersabda, “Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.” Beliau juga berkata, “Termasuk berkahnya seorang wanita, yang mudah khitbahnya (melamarnya), yang mudah maharnya, dan yang mudah memiliki keturunan.”

Mahar hendaknya diberikan dalam jumlah wajar, tidak pelit dan tidak berlebihan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencela orang yang berlebihan dalam memberikan mahar sampai di luar kemampuannya. Namun, jika seeorang memiliki kemampuan, maka tidak mengapa ia memperbanyak maharnya.

Sebagian orang memaksakan diri melaksanakan pesta perkawinan/walimah secara besar-besaran. Untuk itu bahkan mereka rela berutang. Akibatnya, hal itu malah menjadi beban bagi orang tua dan keluarga baru yang akan dibangun. Dalam hal ini Islam telah melarang tabdzir dan israf. Yang terpenting adalah melaksanakan walimah sesuai dengan fungsinya, yaitu dalam rangka mengumumkan pernikahan. Juga hendaknya diingat bahwa walimah hendaknya tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja, karena Nabi telah bersabda, “Makanan paling buruk adalah makanan walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sementara orang-orang miskin tidak diundang.”

Demikianlah tulisan ini semoga dapat menggugah semangat orang-orang yang masih membujang untuk segera menikah dan menggapai semua manfaat yang ada di dalamnya. Baarakallahu fiikum.

 

Referensi:

Ditulis oleh : Ary Abu Ayyub

Majalah HSI Edisi 55 Muharram 1445 H

Diringkas oleh : Aryadi Erwansah (Staf Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur)

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.