Klasifikasi Transaksi – Perhatian yang besar dari para ulama dan pakar fikih sejak zaman dahulu terhadap masalah klasifikasi dan pembagian jenis transaksi menjadi bukti pentingnya masalah ini. Diantara faedah nya yaitu dapat memahami hakikat transaksi dan konsekuensi hukum yang berlaku terhadap hukum yang berlaku terhadap transaksi tersebut.
Perlu diketahui, transaksi yang terjadi dimasyarakat kita dapat terbagi menjadi beberapa klasifikasi tergantung dari sudut mana kita memandang.
Diantara-Nya:
Pertama : Dari sudut pandang Hukum syariat (taklifi):
Berdasarkan sudut landang ini transaksi terbagi menjadi lima:
- Transaksi (akad) yang wajib,
 - Transaksi (akad) yang sunah
 - Transaksi (akad) yang mubah
 - Transaksi (akad) yang makruh
 - Transaksi (akad) yang haram
 
Kedua : Dari sudut pandang obyek transaksi, harta atau bukan
Kalau ditinjau dari sudut pandang obyek, transaksi terbagi tiga :
- Transaksi harta dari kedua pihak, baik harta dari makna hakiki, seperti jual beli lada umum nya , jual beli salam dan sejenisnya
 - Transaksi pada sesuatu yang bukan harta dari kedua belah pihak, seperti transaksi terhadap satu pekerjaan tanpa imbalan
 - transaksi harta dari satu pihak dan non harta dari pihak lain seperti akad nikah, transaksi khuluk (gugat cerai).
 
Dari ketiga jenis transaksi ini, yang terkuat adalah transaksi non harta dari kedua belah pihak. Karana transaksi dengan obyek harta bisa dibatalkan jika ada cacat pada barang, seperti transaksi uang dengan barang dagangan. Sementara transaksi dengan obyek non harta hanya bisa dibatalkan bila terjadi hal yang menghalangi keberlangsungan akad tersebut.
Ketiga : dari sudut pandang sebagai transaksi lazim (mengikat) atau tidak
Dilihat dari sudut pandang ini, transaksi bisa dikelompokkan menjadi tiga :
- akad lazim adalah semua transaksi yang sah, sempurna, dari kedua belah pihak dan tidak bisa dibatalkan atau dapat dibatalkan namun pembatalan nya tidak hanya bisa dati salah satu pihak saja. Berdasarkan ini, maka akad lazim (transaksi yang mengikat) terbagi dua:
 - transaksi (akad) lazim (mengikat) bagi kedua transistor yang tidak bisa dibatalkan dengan cara iqalah( salah satu pihak mengalah) . atau transaksi yang mengikat dan harus di jalankan tanpa ada khiyar majlis (hak memilih di tempat akad) dan syarat. Walaupun kadang menerima khiyar aib. Contohnya adalah transaksi waqaf dan nikah serta yang sejenisnya.
 - Transaksi (akad) yang mengikat kedua transaktor namun masih bisa dibatalkan dengan iqalah (salah satu pihak mengalah). Atau transaksi yang mengikat namun masih bisa disyariatkan padanya khiyar majlis dan syarat, seperti transaksi jual beli, sharaf (bisnis valas atau jual beli mata uang asing), jual beli salam, penyewaan dan sejenisnya.
 - Aqd jaiz adalah transaksi yang tidak mengikatkedua belah pihak. Sehingga masing-masing pihak memiliki hak untuk membatalkan transaksi. Transaksi ini bisa dibatalkan dengan kematian salah satu transaktor dan kesalahan dalam melakukan aktifitasnya. Contohnya, syirkah, wakalah, peminjaman, menanam modal dengan sistem qiradh (Mudharabah), wasiat dan sejenisnya.
 - Transaksi yang mengikat salah satu pihak, namun tidak mengikat bagi pihak lain. Seperti penggadaian barang setelah barang di tangan penggadaian dan sejenisnya. Dalam transaksi gadai, transaksi ini mengikat bagi rahin (orang yang menggadaikan barangnya atau penghutang).artinya ia tidak dapat menggagalkan transaksi yang sudah berjalan tanpa kerelaan murtahin (pemberi hutangan). Ini berbeda dengan murtahin. bagi murtahin (pemberi hutangan), transaksi ini tidak mengikat. Karena bebas untuk membatalkan atau melanjutkan transaksi tanpa harus menunggu kerelaan rahin (orang yang menggadaikan barangnya atau penghutang).
 
Diantara konsekuensi hukum pada transaksi yang mengikat ini adalah tidak ada pilihan yamg permanen, dan tidak batal dengan kematian salah satu transaktor atau keduanya , salah satu menjdi gila atau pingsan atau sejenisnya. Lain halnya dengan transaksi non permanen ( yang tidak mengikat)
Keempat : dilihat dari sudut pandang harus ada ‘penyerahan barang langsung’ atau tidak.
Dilihat dari keharusan penyerahan barang langsung atau tidak, transaksi menjadi dua :
- Transaksi yang tidak mengharuskan serah terima barang secara langsung pada saat transaksi (uqud ridha’iyah). Dalam transaksi ini hayan keridhaan kedua transaktor yang menentukan keabsahan transaksi. Contoh, jual beli secara umum duanggap telah terjadi dan sah hanya dengan ijab dan qobul dan langsung mengakibatkan perubahan status kepemilikan barang dari penjual ke pembeli.
 - Transaksi yang menuntut serah terima barang secara langsung (uqud qabdhiyah). Transaksi semacam ini, terbagi menjadi tiga :
 - Transaksi yang disyaratkan harus ada serah terima barang secara langsung untuk merubah status kepemilikan , seperti transaksi hibah dan peminjaman uang.
 - Transaksi tang menjadikan serah terima barang secara langsung sebagai syarat sah, seperti sharf(jual beli mata uang asing/bisnis valas) imam ibnul munddzir menyatakan “semya ulama yang saya hafal bersepakat bahwa para transaktor sharf :jual beli mata uang asing atau binis valas) apabila terpisah majlis sebelum serah terima, maka transaksinya tidak sah.
 - Transaksi yang mengikat bula ada serah terima barang secara langsung, seperti hibah dan penggadaian. Mayoritas ulama berpendapat bahwa serah terima barang dalam transaksi ini bukan syarat sah, tetapi hanya syarat agar transaksi tersebut permanen mengikat.
 
Kelima : dari sudut pandang apakah ada kompensasinya (ganti atau alat tukar) atau tidak
Berkaitan dengan ada atau tidak adanya kompensasi, transaksi terbagi menjadi dua:
- Transaksi mu’awadhah (yang ada gantinya), seperti jual beli, penyewaan, pernikahan dan sejenisnya.
 - Transaksi tabaru’at (sukarela) seoerti hibah, penitipan, sponsorship dan sejenisnya.
 - Pengaruh dari klasifikasi ini adalah sebagai betikut:
 - Dalam transaksi jenis pertama, kedua transaktor harus mengetahui dengan jelas barang yang menjadi obyek transaksi. Artinya mereka harus tau barangnya, harganya, biaya sewa dan sejenisnya, kecuali dalam soal mahar atau tebusan khulu’.
 - Dalam transaksi jenis pertama, kedua transaktor wajib menepati apa yang telah diakadkan. Allah berfirman
 
يا يها الذ ين ءا منوا او فوا با لعقو د
Yang artinya : “wahai krang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…” (QS. Al-Ma’idah/5:1)
Karena jika tidak ditepati maka akan mengakibatkan kerugian pada pihak yang lain. Berbeda dengan transaksi sukarela, karna itu hanya dianjurkan, tidak diwajibkan.
Keenam : dari sudut pandang legalitas syari’ah
Dipandang dari legalitasnya, transaksi terbagi menjadi dua :
- Transaksi legal adalah transaksi yang disyariatkan. Transaksi jenis ini, jika syarat dan rukunnya telah dipenuhi, maka dia akan sah dan seluruh konsekuensi yang diakui dalam syariat dan diingkan oleh transtaktor mulai berlaku, seperti jual beli, sewa menyewa dan sejenisnya.
 - Transaksi ilegal adalah transaksi yang memiliki landasan syar’i namun tidak sah, karna syarat dan rukunnya tidak terpenuhi. sehingga apa yang menjadi konsekuensi transaksi ini tidak bisa diberlakukan.
 
Ketujuh : Dari sudut pandang penamaan dalam syari’at
Dari sudut pandang ini, transaksi terbagi menjadi dua :
- Uqud musammah yaitu transaksi yang ada nashnya dan memiliki nama khusus serta hukum tertentu yang menjadi konsekuensinya.
- Uqud ghoiru musammah adalah transaksi yang tidak disebut dalam nash secara syariat dan khusus hukum – hukumnya.
 
 
Kedelapan : dari sudut oandang kandungan transaksi
Dari sudut pandang ini, transaksi terbagi dalam dua kategori :
- Uqud basithah (akad yang simpel) adalah transaksi yang hanya memakai satu jenis transaksi saja.
 - Uqud murakkabah adalah transaksi yang mengandung lebih dari satu jenis transaksi (akad berganda).
 
Demikianlah beberapa klasifikasi transaksi yang dilihat sudut oandang yang berbedacbeda. Pemahaman terhadap klasifikasi ini sangat diperlukan dalam memahami beragam permasalah dalam transaksi.
Referensi : as sunnah edisi 10/tahun XIV rabiul awwal 1432 H pebruari 2011
Diringkas oleh : Ulfa Salimatun Nisa
BACA JUGA :

		
		
		
Ajukan Pertanyaan atau Komentar