Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Hikmah Diharamkannya Nyanyian Dan Alat Musik

hikmah diharamkan nyanyian dan alat musik

Hikmah Diharamkannya Nyanyian Dan Alat Musik – Seorang Muslim wajib meyakini bahwasanya dalam setiap perkara yang Allah Ta’ala syari’atkan kepada hamba-hamba-Nya berupa perintah, larangan, dan pembolehan, Dia memiliki hikmah bahkan hikmah yang banyak. Orang yang mengetahui akan mengetahuinya dan orang yang tidak mengetahui tidak akan mengetahuinya. Hikmah itu nampak bagi sebagian orang dan tersembunyi atas sebagian yang lain. Oleh karena itu, seorang Muslim wajib bersegera melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala, dan tidak boleh menunda-nunda sampai ia mengetahui hikmahnya karena hal itu di antara hal yang dapat menafikan iman, seorang muslim wajib taat dan berserah diri secara mutlak kepada Allah, Pembuat syari’at Yang Maha bijaksana. Karena itulah Allah Ta’ala berfirman di dalam Al- Qur-anul Karim:

فلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ هُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وسلموا تسليما

Artinya: “Maka demi Rabb-mu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

Di atas hal inilah Salafush Shalih menjalani kehidupannya sehingga Allah Ta’ala memuliakan mereka, membukakan negeri-negeri dan hati-hati manusia bagi mereka, dan generasi akhir ummat ini tidak akan menjadi baik, kecuali dengan apa yang menjadikan baik generasi terdahulu. Banyak terdapat atsar dari para Salaf dari kalangan Shahabat dan selain mereka yang menunjukkan hikmah diharamkannya lagu dan musik, di antara hikmahnya ialah:

1.    Nyanyian membuat lalai dari berdzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, dan dari melakukan berbagai kewajiban syariat

Hikmah ini di ambil dari kalimat ‘’Lahwal Hadits” (perkataan yang tidak berguna) dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرى لَهُوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَتَخِذَهَا هُزُوا أَوْلَيْكَ هُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Artinya: “Dan di antara manusia (ada) orang-orang yang mem- pergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan- nya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6)

Ayat ini turun berkenaan dengan nyanyian dan yang sejenisnya.

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallaahu ‘anhu mengatakan, “Ayat ini turun berkenaan dengan nyanyian dan yang sepertinya.”

‘Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Lahwal hadiits (percakapan kosong) adalah nyanyian. Demi Dzat yang tidak ada ilah selain Dia.” Beliau mengulangi perkataannya tiga kali.

Dan masih banyak perkataan Salafush Shalih serupa dalam menafsirkan ayat di atas. (Lihat Bab Pertama: Dalil-Dalil dari Al-Qur-an Tentang Haramnya Nyanyian dan Musik).

2.    Nyanyian dan musik dapat menumbuhkan kemunafikan di dalam hati

Abdullah bin Mas’ud radhiallaahu ‘anhu mengatakan, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.”

Asy-Sya’bi (wafat th. 105 H) rahimahullaah mengatakan, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman, dan sesungguhnya dzikir menumbuhkan keimanan di dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman.”

Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya nyanyian memiliki kekhususan yang memiliki pengaruh dalam mewarnai hati dengan kemunafikan, dan tumbuhnya kemunafikan di dalam hati sebagaimana tumbuhnya tanaman karena air.

Di antara kekhususan nyanyian itu adalah ia melengahkan hati dan memalingkannya dari memahami, merenungkan, dan mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an dan nyanyian tidak akan pernah bersatu dalam satu hati, keduanya selalu kontradiksi. Sebab, Al-Qur-an melarang dari mengikuti hawa nafsu, memerintahkan ‘iffah (menjaga kehormatan), menjauhi syahwat nafsu dan sebab-sebab kesesatan, serta melarang dari mengikuti langkah-langkah setan. Sebaliknya, nyanyian memerintahkan lawan dari semua itu, menganggapnya baik (menghiasinya), membakar nafsu untuk menikmati syahwat kesesatan sehingga menggerakkan hatinya agar berbuat segala yang dirasa manis dan nikmat. Sebagian orang-orang ‘arif mengatakan, “Bagi suatu kaum, mendengarkan nyanyian bisa melahirkan kemunafikan, kedurhakaan, kedustaan, kemungkaran, serta mengikuti hawa nafsu.”

Dan yang paling banyak yaitu melahirkan kecintaan kepada shuwar (laki-laki atau wanita yang tidak halal), menganggap baik yang buruk dan keji, dan kecanduan padanya menjadikan hati terasa berat terhadap Al-Quran, dan benci untuk mendengarkannya. Lalu jika hal ini tidak disebut sebagai kemunafikan, maka tidak ada lagi hakikat sebenarnya dari kemunafikan !”

Kemudian beliau melanjutkan, “Jadi, nyanyian bisa merusak hati, dan jika hati telah rusak maka kemuna- fikan merajalela di dalamnya. Pada kesimpulannya, jika orang yang berakal merenungkan keadaan orang-orang yang menyukai nyanyian dan keadaan orang-orang yang ahli dzikir dan Al-Qur’an, niscaya dia mengetahui kecerdasan dan kedalaman pemahaman para Shahabat tentang penyakit hati dan obatnya.  Wabillaahit Taufiiq.

Syubhat-Syubhat Orang Yang Membolehkan Nyanyian Dan Musik Serta Bantahannya

Orang-orang yang hobi lagu dan musik menyandarkan pendapat mereka kepada beberapa dalil, di antaranya:

Syubhat Pertama:

Dalam menghalalkan lagu, mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَتِ

Artinya: “… Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik.” (QS. Al-A’raaf: 157)

Mereka menafsirkan kata “ath-thayyibaat (segala yang baik)” dengan “segala yang lezat” atau “segala yang menyenangkan”. Dengan demikian maka suara-suara para penyanyi adalah termasuk hal yang menyenangkan, begitu pula lagu dan musik. Konsekuensinya, semua itu halal.

Bantahan terhadap syubhat ini:

Mereka tidak membawakan konteks ayat secara lengkap, padahal secara lengkap ayat tersebut berbunyi:

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِي الْأُمِنَ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَنَةِ وَالْإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَتِ ويحرم عَلَيْهِمُ

Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis), yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan yang menghalal- kan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka ….” (QS. Al-A’raaf: 157)

Mereka menafsirkan kata ath-thayyibaat dengan pendekatan bahasa, bukan dengan pendekatan syar’i sehingga mereka menarik kesimpulan bahwa setiap yang menyenangkan adalah halal. Tafsir yang dari kata ath-thayyibaat adalah segala yang pernah diharamkan atas bangsa Yahudi karena kezaliman mereka, akan dihalalkan oleh Nabi yang ummi, yaitu Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam jika mereka beriman dan mengikuti beliau. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,

مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ

Artinya: “Karena kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haram kan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan ….” (QS. An-Nisaa’ : 160)

Semua yang diharamkan tersebut adalah semua binatang yang berkuku, serta beberapa bagian dari sapi dan domba, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرِ وَمِنَ البَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ذَلِكَ جَزَيْنَهُم ينيهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ

Artinya: “Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya. Dan sungguh, Kami Mahabenar.” (QS. Al-An’aam : 146)

Dari penafsiran ini dapat diketahui bahwa maksud ath-thayyibaat dalam ayat yang disebut di atas adalah segala hewan yang berkuku, dan lemak dari sapi dan domba, kecuali lemak dari beberapa bagiannya.

Syubhat Kedua:

Mereka juga berdalil dengan hadits ‘Aisyah rhadhiallaahu ‘anha yang menyebutkan ada dua anak gadis kecil yang menyanyi dan menabuh rebana pada saat hari raya. Dalam membolehkan lagu dan musik ini, mereka beralasan dengan pengingkaran Nabi terhadap Abu Bakar ketika dia mengatakan, “Seruling setan di sisi Nabi ?” di dalam hadits tersebut.

Bantahan terhadap syubhat ini:

Alasan mereka sudah dibantah oleh para ulama, yang kesimpulannya sebagai berikut:

  1. a) Hal itu sebagai rukhshah (keringanan).
  2. b) Nyanyian itu dilakukan oleh dua gadis kecil yang belum baligh, dan ini tidak mengapa.
  3. c) Pengharaman terhadap alat musik adalah umum, sedangkan kejadian ini khusus sehingga hukumnya dikecualikan.
  4. d) Perkataan Abu Bakar “seruling setan” menunjukkan pemahaman yang sudah diketahui olehnya bahwa lagu dan permainan rebana adalah terlarang. Adapun pengingkaran Nabi kepada Abu Bakar, maka sesungguhnya Nabi menjelaskan hal itu kepadanya dan memberitahukan hukumnya dengan diiringi penjelasan hikmah bahwa hari itu adalah hari raya, yaitu kegembiraan yang sesuai syariat, maka seperti itu tidak diingkari, sebagaimana tidak diingkari dalam pernikahan. Wallau ta’ala a’lam.

REFERENSI:

Ditulis oleh : Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Diringkas oleh : Abdul Hadi Martapian

Diambil dari : Hukum Lagu, Musik dan Nasyid

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.