Menguak Rahasia Di balik Gemerlapnya Dunia

Menguak Rahasia Di balik Gemerlapnya Dunia

Oleh Ust. Mukhtar Arifin, Lc.

Tatkala seseorang membuka penglihatannya ke alam dunia, tentu akan menyaksikan aneka keindahan dan pemandangan yang gemerlapan. Tampak di sana kehidupan manusia dengan segala hiruk-pikuknya.

Akan tetapi, pernahkah kita berfikir dan merenung, bagaimanakah sebenarnya kehidupan ini? Bagaimana pandangan Alloh Ta’ala terhadap dunia?

Kecilnya dunia.

Di antara gambaran tentang kecilnya dunia ini adalah sebagaimana yang disabdakan Rosululloh shallallahu ‘alahi wa sallam :

مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ كَمَا يَمْشِيْ أَحَدُكُمْ إِلَى الْيَمِّ، فَأَدْخَلَ إِصْبَعَهُ فِيْهِ، فَمَا خَرَجَ مِنْهُ فَهُوَ الدُّنْيَا

“Tidaklah dunia ini di akhirat, melainkan sebagaimana salah seorang di antara kalian berjalan menuju laut, lalu dia memasukkan jarinya ke dalamnya, maka apa yang keluar dari jari tersebut itulah dunia.” [1]

Pendeknya masa tinggal di dunia.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan tentang pendeknya usia hidup di dunia ini dalam firman-Nya:

“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (QS. An-Nâzi`ât: 46).

 

Kelezatan dunia adalah kenikmatan yang fana

Betapapun besar kenikmatan duniawi, ia akan lenyap. Betapun seseorang menjadi orang yang paling nyaman di dunia, tatkala di hadapkan kepada adzab Jahannam maka seketika itu lenyaplah segala kenikmatan yang pernah ia rasakan hingga tidak lagi ia ingat bahwa dulunya ia adalah orang yang paling banyak mendapatkan kenikmatan. Rosululloh shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِيْ جَهَنَّمَ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ لَهُ : يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ ؟هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيْمٌ قَطُّ ؟ فَيَقُوْلُ : لاَ وَ اللهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ الناَّسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ فِي الْجَنَّةِ صَبْغَةً فَيُقَالُ لَهُ : يَا ابْنَ آدَمَ ! هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ ؟ فَيَقُوْلُ : لاَ وَ اللهِ يَا رَبِّ ! مَا مَرَّ بِىْ بُؤْسٌ قَطُّ وَ لاَ رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ

“Akan didatangkan seorang penduduk bumi yang paling banyak kenikmatannya yang merupakan di antara penduduk neraka di hari kiamat, lalu dia diceburkan ke dalam jahannam, kemudian dikatakan kepadanya: “Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan kebaikan?” Ia menjawab: “Tidak wahai Robb-ku.” Dan didatangkan orang yang yang paling menderita di dunia yang merupakan penduduk surga, lalu ia dimasukkan ke dalam surga, dan dikatakan baginya: “Wahai anak Adam, apakah engkau pernah melihat kesusahan? Apakah engkau pernah merasakan penderitaan?” Ia menjawab: “Tidak, demi Alloh wahai Robb kami, belum pernah aku mendapatkan kesusahan, dan tidak pula aku melihat penderitaan sama sekali”.[2]

 

Dunia bukan ukuran bagi baiknya seorang hamba di sisi Alloh

Sebagian di antara manusia menyangka bahwa apabila seseorang diberi kelapangan dalam perkara duniawi, maka berarti dia dicintai Alloh Ta’ala . Demikian juga jika ia sedang disempitkan urusannya, berarti ia sedang tidak dicintai Alloh.

Ini adalah sangkaan yang keliru, karena ukuran kecintaan Alloh kepada seorang hamba tidak dapat diukur dengan luas-sempitnya kenikmatan dunia, karena Alloh memberikan karunia duniawi ini kepada orang yang dicintai dan kepada orang yang tidak dicintai-Nya. Rosululloh shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ قَسَّمَ بَيْنَكُمْ أَخْلاَقَكُمْ كَمَا قَسَّمَ بَيْنَكُمْ أَرْزَاقَكُمْ وَإِنَّ اللهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَ يُحِبُّ وَلاَ يُعْطِي اْلإِيْمَانَ إِلاَّ مَنْ أَحَبَّ …

“Sesungguhnya Alloh telah membagi di antara kalian akhlaq-akhlaq kalian sebagaimana membagi di antara kalian rejeki-rejeki kalian. Sesungguhnya Alloh memberikan dunia ini kepada orang yang dicintai-Nya dan orang yang tidak dicintai-Nya, akan tetapi tidak memberikan keimanan melainkan kepada orang yang dicintai-Nya.” [3]

 

Tidak terpedaya dengan kehidupan orang Kafir

Diantara hal penting yang seharusnya diperhatikan oleh orang-orang yang beriman adalah hendaknya tidak terpedaya dengan kehidupan duniawi orang kafir yang barangkali tampak nyaman, dan penuh kenikmatan hidup. Alloh berfirman:

“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS. Al-Imron :196-197).

Al-Qosimi berkata: “Janganlah sekali-kali terpedaya dengan kebebasan bergeraknya orang-orang kafir di negeri” yaitu kesibukan mereka di tempat-tempat tersebut dengan melakukan perdagangan dan berbagai usaha. Maksudnya janganlah engkau melihat kepada apa yang mereka alami yang berupa luasnya rejeki dan diperolehnya pemberian yang cepat. “Pemberian yang sedikit”, maksudnya yaitu pemberian yang sedikit disebabkan oleh pendek masanya dan dijadikan sebagai bekal yang akan lenyap serta kenikmatan yang akan hilang, sehingga tidak bisa dibandingkan dengan apa yang telah Alloh siapkan untuk orang-orang yang beriman”. [4]

 

Ketinggian yang ada di dunia akan menjadi rendah semuanya.

Perkara keduniaan tidaklah sempurna, bahkan ketinggian perkara tersebut akan berubah menjadi sebuah kerendahan. Rosululloh n bersabda:

إِنَّ حَقًّا عَلَى اللهِ : أَنْ لاَ يَرْفَعَ شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ وَضَعَهُ

“Sesungguhnya termasuk diantara hak atas Alloh adalah bahwa tidaklah Dia mengangkat sesuatu dari perkara dunia melainkan akan merendahkannya.” [5]

Syaikh Salim bin Id Al-Hilali berkata tentang faidah hadits tersebut: “(Dalam hadits tersebut terdapat) penjelasan tentang rendahnya dunia di sisi Alloh, meninggalkan berbangga-banggaan dengannya….” [6]

 

Dunia adalah terlaknat

Rosululloh shallallahu ‘alahi wa sallam telah menjelaskan bahwa dunia beserta apa yang ada di dalamnya adalah perkara yang dilaknat oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala , kecuali dzikir kepada Alloh, dan apa yang sesuai dengannya, atau orang yang alim atau orang yang belajar.

Rosululloh shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

اَلدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَا فِيْهَا إِلاَّ ذِكْرَ اللهِ وَمَا وَالاَهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا

“Dunia adalah terlaknat, terlaknat apa saja yang ada di dalamnya melainkan dzikir kepada Alloh, apa saja yang dekat dengannya, atau orang yang ‘alim atau orang yang belajar.” [7]

Syaikh Salim Al-Hilali menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia adalah permainan dan senda-gurau, melainkan dzikrullah dan perkara-perkara yang menjadi sebab kepada hal tersebut. [8]

 

Tanda dekatnya kiamat: Kecintaan kepada dunia makin hebat.

Rosululloh shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَلاَ يَزْدَادُ النَّاسُ عَلَى الدُّنْيَا إِلاَّ حِرْصًا وَلاَ يَزْدَادُوْنَ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا

Hari kiamat telah menjadi dekat, dan tidaklah manusia bertambah atas dunia melainkan ketamakan dan tidaklah bertambah terhadap Alloh melainkan semakin jauh. (Shahih al-Jaami’, no. 1146).

Al-Munawi menjelaskan: “Maksudnya yaitu dekat terjadinya kiamat. Apabila dekat, maka sungguh dekat pula apa-apa yang terjadi pada hari tersebut yang berupa hisab (penghitungan), pahala, siksa dan lain-lainnya. … lalu bertambahlah ketamakan kepada dunia disebabkan karena kebutaan mereka terhadap akhirnya…”. (Faidhul Qadir, II/57).

 

Bahaya Hanya berorientasi duniawi.

Rosululloh shallallahu ‘alahi wa sallam telah menjelaskan tentang besarnya bahaya mementingkan dunia semata dalam sabda beliau:

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتِ اْلآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai keinginannya, maka Alloh akan mencerai-beraikan perkaranya, menjadikan kefakiran berada di depan matanya, dan tidaklah mendapatkan dunia melainkan apa yang telah dituliskan untuknya. Barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai niatnya, maka Alloh akan mengumpulkan baginya perkara-perkaranya, menjadikan kekayaan berada dalam hatinya dan didatangi oleh dunia dalam keadaan hina”.[9]

 

Adakalanya maksiat banyak, karuniapun melimpah

Dunia juga diberikan kepada orang-orang yang bermaksiat dan durhaka kepada Alloh. Sebagaimana orang-orang yang sholih diberi karunia duniawi, orang-orang yang ingkarpun tetap diberi kenikmatan dunia. Rosululloh shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيْهِ مَا يُحِبُّ ؛ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ ثُمَّ تَلاَ :

“Apabila engkau melihat Alloh memberikan kepada seorang hamba apa yang disukainya padahal dia terus-menerus berada dalam kemaksiatan, maka ketahuilah bahwa itu adalah berupa istidraj (dibiarkan hingga terpedaya dengan amalannya hingga semakin jauh dan sesat). Kemudian beliau shallallahu ‘alahi wa sallam membaca firman Alloh: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”. (QS. Al-An`âm : 44). [10]

Dengan demikian seorang mukmin hendaknya mengetahui hikmah dibalik lapangnya kehidupan orang yang bermaksiat di dunia yang hanya sesaat ini.

 

Tugas seorang hamba selama di dunia.

Alloh Ta’ala telah menjelaskan tugas seorang hamba selama di dunia dengan firman-Nya:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzâriyât : 56).

Dari sini diketahui bahwa hakikat hidup seorang hamba adalah untuk menyembah Alloh dan beribadah kepada-Nya. Hal itu dengan melakukan apa yang dicintai dan diridhoi Alloh baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang nampak ataupun yang tersembunyi.

Dengan demikian seorang mukmin menjadikan dunia ini sebagai tempat untuk beramal dan bersiap-siap menuju alam akhirat yang kekal.

 

Memohon agar tidak menjadikan dunia sebagai tujuan hidup

Rosululloh shallallahu ‘alahi wa sallam pernah berdoa:

لاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا….

“Ya Alloh, janganlah Engkau jadikan dunia sebagai keinginan kami yang paling besar dan tidak pula puncak dari pengetahuan kami…”[11]

 

Kehidupan yang hakiki adalah kehidupan akhirat.

Rosululloh shallallahu ‘alahi wa sallam berkata dalam salah satu doanya:

اَللَّهُمَّ لاَ عَيْشَ إِلاَّ عَيْشُ اْلآخِرَةِ

“Ya Alloh, tidaklah ada kehidupan (yang hakiki) melainkan kehidupan akhirat.” [12]

Dengan demikian seorang mukmin selalu berupaya untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki yaitu kebahagiaan di akhirat dengan selalu taat dan meninggalkan maksiat.

Meskipun demikian, tetap diperintahkan untuk memenuhi kebutuhan duniawi yang dihalalkan oleh Alloh Ta’ala, sebagaimana firman Alloh Ta’ala:

.. dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Alloh kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi. (QS. Al-Qashash : 77).

Rosululloh shallallahu ‘alahi wa sallam juga berdoa :

اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِيْنِي الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِيْ،وَأَصْلِحْ لِيْ دُنْيَايَ الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشِيْ ، وَأَصْلِحْ لِيْ آخِرَتِي الَّتِيْ فِيْهَا مَعَادِيْ ، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِيْ فِيْ كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِيْ مِنْ كُلِّ شَرٍّ

“Ya Alloh, perbaikilah agamaku yang merupakan penjaga urusanku. Perbaikilah duniaku yang merupakan tempat kehidupanku. Perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku. Jadikanlah kehidupan sebagai tambahan bagiku dalam segala kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai peristirahatan bagiku dari segala keburukan.” (HR. Muslim).

Semoga Alloh memberi kita taufiq menuju apa yang diridhoi dan dicintai-Nya, memberikan istiqomah berada di jalan-Nya yang lurus dan menganugerahkan keteguhan iman sampai datangnya kematian.

 

Sumber Majalah lentera Qolbu Tahun ke-2 Edisi ke-8

[1] Shohîhul Jâmi`, no. 5547.

[2] Shohihul Jâmi`, no. 8000.

[3] Ash-Shohîhah, no. 2714.

[4] Mahâsinut Ta’wîl: V/1073.

[5] Ash-shohîhah, no. 3525

[6] Bahjatun Nâzhirîn, I/663

[7] Ash-Shohîhah, no. 2797

[8] Bahjahtun Nâdzirin, I/543

[9] Ash-Shohîhah, no. 950

[10] Ash-Shohîhah, no. 413

 

[11] Shohîhul Jâmi’, no. 1268

[12] Shohihul Jâmi`, no. 1308

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.