Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Bekerja Bagian Dari Iman

bekerja bagian dari iman

Bekerja Bagian Dari Iman – Segala puji hanya milik Allah Ta’ala yang telah membagi karunia rezeki kepada seluruh hamba-Nya secara adil dan merata, dan menjadi pelindung yanng paling sempurna dalam memberi jaminan aman di dunia dan akhirat.

Sahabat, perlu kita ketahui dunia kerja ladang pahala untuk memanen berbagai nikmat dan pahala. Namun kadangkala tempat kerja justru menjadi lembah bencana, tempat berkubangnya berbagai maksiat dan dosa.

Banyak manusia yang mengambil jalan pintas dalam memilih pekerjaan. banyak sudah yang tidak lagi memperhitungkan halal-haram; asal uang didapat cara apapun dilakukan. Banyak di antar mereka yang terjerumus ke dalam usaha kotor yang sangat dimurkai Allah Ta’ala. Dan tidak jarang pula diantara mereka saling bersitegang dalam saingan bisnis yang tidak sehat, saling menjatuhkan satu sama lain. Sehingga tujuan pokok dalam berusaha, yaitu “usaha untuk menopang hidup agar bisa tenang” tidak terwujudkan.

  • MALAS BERKEDOK IBADAH

Namun disisi lain, ada orang yang hidup bermalas-malasan dan enggan berusaha dengan alasan sibuk mencari ilmu atau mereka beranggapan bahwa semua bentuk usaha tidak terlepas dari syubhat yang bisa merusak sikap zuhud dan tawakal. Padahal siapa yang menyangka bekerja untuk mencari nafkah bisa merusak tawakal pasti kebutuhan sehari-hari akan dipasok melalui infak, sedekah, hadiah dan berbagai bentuk patungan dan pemberian dari orang lain,bahkan terkadang mereka juga tidak segan-segan mencela orang mampu yang tidak mau membantunya.[1]

Sungguh sangat na’if bila kita melihat orang yang faham agama dan berakhlak mulia namun mempunyai kebiasaan meminta-minta, suka mengeluh, menjadi beban orang lain, bermalas-malasan serta menghadapi kenyataan hidup dengan berpangku tangan. Betul apa yang dikatakan Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu: “Sungguh, terkadang aku kagum terhadap seseorang, namun setelah aku tanyakan apakah dia mempunyai pekerjaan, kalau mereka menjawab: “Tidak.” Maka orang tersebut jatuh harga dirinyadi hadapanku.”[2]

Sungguh tidak masuk diakal, ada orang yang tidak pernah beranjak dari masjid untuk berdzikzir dan I’tikaf, sementara keluarganya terlantar dan kebutuhan hidupnya dipasok oarang lain. Mana tanggung jawab sebagai orang yang faham agama kalau memang kebutuhan hidup terkumpul dari patungan, dari teman dekat dan para tetangga? Jawaban apa yang kita berikan diakhirat kelak bila ternyata kewajiban rumah tangga kita yang menunaikan orang lain (baik orang tua, mertua, teman dekat atau sanak kerabat) sementara kita masih punya kekuatan untuk bekerja. Maka Imam Syafi’I berkata, “Tidak halal harta sedekah bagi orang yang masih punya kekuatan untuk bekerja.”[3]

Sudahkah kita berkaca dengan pandangan skeptis di atas sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa sikap dan tindakan seperti itu sebagai bentuk kesalahan dan pengingkaran terhadap sebuah tanggung jawab, sementara Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang hamba diberi tanggung jawab kepemimpinan Allah kemudian saat dia meninggal, ia curang terhadap yang dipimpinnya, melainkan Allah mengharamkan syurga baginya.”[4]

  • HINANYA MEMINTA-MINTA

Islam membenci peminta-minta dan mencela segala bentuk ketergantungan hidupkepada orang lain, karena tindakan tersebut akan mengundang bermacam persepsi buruk dan sikap tercela dalam kehidupan. Dan Al-Qur’an sangat memuji orang yang bersabar, menahan diri dan tidak meminta ukuran tangan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Allah Ta’ala berfirman:

لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ

التَّعَفُّفِۚ  تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ  لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًا ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِه عَلِيْمٌ

Artinya: “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Alah;  mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka kaya karna memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka karena melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. ” (QS. Al-Baqarah: 273).

Imam Ibnu Jauzi Rahimahullah berkata, “Tidaklah ada seseorang yang malas bekerja melainkan berada dalam dua keburukan. Pertama, menelantarkan keluarga dan meninggalkan kewajiban dengan alasan tawakal sehingga hidupnya menjadi batu sandungan orang lain dan keluarganya berada dalam kesusahan. Kedua, demikian itu suatu kehinaan yang tidak menimpa kecuali pada orang yang hina dan gelandangan. Sebab, orang yang bermartabat tidak akan rela kehilangan harga diri karena kemalasan dengan dalih tawakal yang sarat dengan hiasan kebodohan, sebab boleh jadi seseorang tidak memiliki harta tetapi masih memiliki kesempatan dan peluang untuk berusaha.”[5]

Rasulullah bahkan memberi jaminan surga bagi orang yang mampu memelihara diri dari meminta-minta. Dari Tsauban berkata bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang bisa menjamin ku untuk tidak meminta-minta suatu kebutuhan apapun kepada seseorang maka aku akan menjamin dengan surga. Aku berkata, ‘saya.’ Dia selama hidupnya tidak pernah meminta-minta kepada seseorang suatu kebutuhan apa pun.”[6]

Seorang muslim harus berusaha hidup berkecukupan, memerangi kemalasan, bersemangat dalam mencari nafkah, berdedikasi dalam menutupi kebutuhan dan rajin bekerja demi memelihara masa depan anak-anaknya agar mampu hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain. Sebab pemalas yang menjadi beban orang dan pengemis yang menjual harga diri merupakan manusia paling tercela dan sangat dibenci Islam. Dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Tidakkah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil daging pun.”[7]

Umar bin Khathab Radhiyallahu Anhu berkata, “Wahai ahli Qira’ah, berlomba-lombalah dalam kebaikan, dan carilah karunia dan rezeki Allah, dan janganlah kalian menjadi beban hidup orang lain.”[8]

Sa’id bin Musayyid Rahimahullah berkata: “Barangsiapa berdiam di masjid dan meninggalkan pekerjaan lalu meminta pemberian yang datang kepadanya maka ia termasuk mengharap sesuatu dengan cara meminta-minta.”[9]

Abu Qasim Al-Khatly bertanya kepada Imam Ahmad mengenai orang yang hanya berdiam di rumah atau di sebuah masjid lalu berkata, “Aku tidak perlu bekerja karena rezekiku tidak akan lari dan pasti datang.” Jawab beliau, “Orang tersebut bodoh terhadap ilmu. Apakah ia tidak mendengarkan sabda Rasulullah, ‘Allah menjadikan rezekiku di bawah kilatan pedang (jihad)’?”[10]

  • PENTINGNYA KEMANDIRIAN

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Seandainya ada seseorang di antara kalian mencari seonggok kayu bakar lalu dipanggul (ke pasar untuk dijual) lebih baik daripada meminta kepada seseorang, maka terkadang diberi dan terkadang tidak.”

Agama Islam mengajak ummatnya agar bersikap mandiri. Rasulullah mengajarkan do’a kepada kita agar berlindung dari sifat malas, lemas, tidak berdaya, pengecut, bakhil dan menjadi beban orang lain.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu’ berkata bahwa Rasulullah selalu membaca dalam do’anya: “Ya Allah, aku berlindung diri kepada-Mu dari tidak berdaya, malas, pengecut, bakhil, lanjut usia, kekerasan hidup, lalai, melarat, kehinaan dan kerendahan. Aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kekufuran, kefasikan, kesesatan, kemunafikan, sum’ah dan riya’. dan aku berlindung kepada-Mu dari oenyakit tuli, bisu, penyakit kusta, penyakit kulit dan seluruh penyakit yang buruk.”[11]

Sikap malas, hidup yang hanya menjadi beban orang lain dan meminta-minta merupakan perbuatan yag sangat dibenci Islam. Seorang muslim haeus rajin bekerja, sebab meninggalkan anak cucu dalam kondisi berkecukupan lebih baik dari pada mereka hidup terlunta-lunta dan menjadi beban orang lain.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرّيّة ضعفا خافوا عليهم فليتّقوا اٌلله وليقوالواْ قولا سديدا

Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar,” (QS An-Nisa: 9)

Dalam shahih Bukhari dan Muslim ketika Rasulullah menjenguk Sa’ad bin Abi Waqqas, Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah, saya orang yang bnayak harta sementara saya tidak punya ahli waris kecuali seorang anak perempuan, bolehkah saya berwasiat dengan dua pertiga hartaku” Beliau bersabda, “Jangan.” Sa’ad berkata, Dengan setengah hartaku?” Beliau bersabda, “jangan.” Sa’ad berkata dengan sepertiga hartaku?” Beliau bersabda, “Boleh dengan sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Sesugguhnya bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada kamu meninggalka mereka dalam kekurangan menjadi beban orang lain. Dan sungguh tidaklah kamu memberi nafkah kecuali menjadi sedekah buatmu hingga satu suapan yang kamu berikan kepada istrimu.”[12]

Jelaslah, seorang muslim harus tekun bekerja dan ulet mencari rezeki dalam rangka menjaga kehormatan diri dan masa depan anak cucu agar mereka hidup damai dan tenang, tidak menjadi beban orang lain.

Allahu Musta’an

 

Referensi:

Abidin Zaenal Bin Syamsudin/2008/JIHADMELAWAN KORUPSI/Jakarta/Pustaka Imam Abu Hanifah

Di ringkas oleh: Adibah, Mira Trisna (Santriwati Khidmat Ponpes Darul Qur’an wal Hadits OKU Timur)

[1] Tahdzib syarah thahawaiyah, hal. 301

[2] Talbisul iblis, Ibnu Jauzi, Hal: 301. dan Faraidul kalam min Khulafail kiram, Asyur al-Hamudah. Hal: 111.

[3] Talbisul iblis, Ibnu Jauzi, Hal: 380

[4] (HR. Bukhari dan Muslim)

[5] Talbisul iblis, Ibnu Jauzi, Hal. 303

[6] HR. Abu Daud. Imam Nawawi berkata bahwa hadits ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih.

[7] HR. Bukhari dan Nasa’i dalam sunannya.

[8] Jami’ Bayanul Ilmi wa Fadhil, Ibnu Abdil Bar. Juz 2 hal, 35

[9] Talbisul Iblis, Ibnu Jauzi, Hal. 300

[10] Talbisul Iblis, Ibnu Jauzi, Hal. 302.

[11]HR. Al-Hakim dalam Mustadrak pdan beliau berkata: Hadits ini shahih menurut syarat Imam Bukhari dan Muslim (1944) dan Ibnu Hibban dalam shahihnya (1019).

[12] HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah.

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.