Niat merupakan sebuah amalan hati yang sangat penting dalam beribadah kepada Allah, disamping di barengi ibadah secara dzohir yang berkaitan dengan lisan dan anggota badan.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
عن أميرالمؤنين أبي حفص عمر بن خطاب رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى. فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله, ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه. (رواه البجاري و مسلم)
Dari amirul mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Khattab rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata “Saya mendengar Rasulallohu shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya hanya karena dunia yang yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan”.
Hadits ini diriwayatkan dua imam ahli hadits, yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Mughiroh Al-Bukhori dan Abu Husain Muhammad bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi dalam kitab shahih masing-masing yang merupakan dua kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an Al-Karim.
Perkataan ‘Umar: ….. “Aku Mendengar,” menunjukkan bahwa hadits ini didapatkan langsung dari Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam tanpa perantara. Anehnya, hadits ini hanya diriwayatkan oleh ‘Umar saja dari Rosululloh shallallohu ‘alaihi wasallam padahal hadits ini sangat penting sekali. Meski demikian, hadits ini juga dikuatkan oleh sejumlah dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
“…Dan janganlah kamu berinfak melainkan karena mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala…” (Al-Baqarah: 272). Ini adalah niat.
Allah juga berfirman:
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia bersikap keras kepada orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya.” (Al-Fath: 29). Ini juga adalah niat.
Nabi bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqash:
واعلم أنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت عليها حتى ماتجعل في فيّ امرأتك(رواه البخاري ومسلم)
“Ketahuilah, tidaklah engkau menafkahkan sesuatu pun demi mencari wajah Allah melainkan pasti diberi pahala karenanya, bahkan apa yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” Sabda beliau, “Demi mencari wajah Allah,” menunjukkan niat.
Dan yang terpenting, makna hadits ini telah dikuatkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lafaz hadits ini hanya disampaikan oleh ‘Umar, namun diterima ummat secara sempurna, bahkan Al-Bukhori memulai kitab shahihnya dengan hadits ini.
Sabda beliau shallallohu ‘alaihi wasallam “Barang siapa yang berhijrah untuk Allah dan Rasul-Nya,” jawabnya, “Maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya.” Nabi menyebutkan tujuan hijrah orang tesebut untuk memberitahukan keutamaannya. Lain halnya dengan orang yang berhijarah demi mendapatkan dunia atau wanita, beliau hanya menyebutkan, “Barang siapa berhijrah untuk dunia yang akan didapatkan atau karena wanita yang hendak ia nikahi, maka hijrahnya untuk (maksud) apa ia berhijrah.” bukan menyebut, “maka hijrahnya untuk dunia yang hendak ia dapatkan atau wanita yang hendak ia nikahi.” Untuk menganggap remeh/sepele tujuan hijrah yang ia lakukan, yaitu demi dunia atau karena seorang wanita.
الأعمال adalah jamak عمل, mencakup amalan-amalan hati, lisan, dan anggota badan. Rangkaian kalimat ini mencakup seluruh amal perbuatan dengan segala jenisnya.
Amalan hati adalah amalan yang ada di hati, seperti bertawakkal kepada Allah, kembali kepada-Nya, takut kepada-Nya, dan sebagainya. Amalan lisan adalah amalan berupa ucapan lisan, dan banyak sekali jenisnya. Diantara seluruh anggota badan, lisanlah yang paling banyak amalannya, kecuali mata atau telinga. Amalan anggota badan adalah amalan tangan, kai, dan lainnya.
Dengan niat kita bisa bisa membedakan amalan yang dikerjakan karena kebiasaan dan amalan yang dikerjakan karena niat/ibadah, contoh membedakan amalan karena kebiasaan dengan amalan karena niat/ibadah:
-
Seseorang makan hanya demi memenuhi hasrat semata, sementara yang lain makan demi menjalankan perintah Allah dalam firman-Nya:
“Makan dan minumlah.” (Al-A’raf: 31). Karena niat, makan yang bdilakukan orang kedua bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, berbeda dengan orang pertama yang melakukannya hanya karena kebiasaan saja.
-
Si A mandi hanya agar merasa segar, sementara si B mandi dengat niat mandi janabah. Maka mandi si A hanya kebiasaan saja, sementara mandinya si B bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena itulah, jika seseorang junub kemudian menceburkan dirinya ke laut dengan maksud agar merasa segar, ini tidak cukup untuk menghilangkan janabah. Karena mandi janabah harus disertai niat, sedangkan yang bersangkutan tidak berniat ibadah, tetapi hanya sekedar biar tidak merasa panas.
Tujuan dari niat sendiri adalah untuk membedakan antara suatu ibadah dan ibadah yang lain, seperti membedakan mana ibadah yang sunnah dan mana ibadah yang wajib, atau untuk membedakan mana ibadah dan mana kebiasaan semata. Perlu diketahui, niat tempatnya dihati, tidak boleh dilafazkan dengan suara, karena anda sedang menyembah Rabb yang maha mengetahui pengkhianatan mata dan rahasia yang ada di dalam dada. Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di dalam hati manusia. Anda tidak sedang berdiri di hadapan Rabb yang tidak mengetahui, sehingga harus melafazkan niat yang ada di hati agar Rabb Anda tahu. Tetapi yang sedang anda hadapi adalah Rabb yang mengetahui segala bisikan hati anda, mengetahui apa yang telah dan apa yang sedang anda kerjakan.
Karena itu, tidak ada riwayat dari rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam atau pun dari para sahabat nabi shallallohu ‘alaihi wasallam mereka melafazkan niat. Dengan demikian, melafazkan niat hukumnya bid’ah terlarang, baik diucapkan secara lirih maupun keras. Tidak seperti pandangan sebagian ulama’ yang membolehkan melafazkan niat dengan suara keras, ada juga yang membolehkan dengan suara lirih, dengan alasan agar hati dan lisan berjalan selaras.
Subhanalloh..!!! sungguh jika ini merupakan sebuah syari’at maka pasti kita akan mendapati rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam telah melakukan syari’at ini dan akan mengajarkan syari’at ini kepada seluruh ummatnya.
Disini muncul pertanyaan, bukankah orang yang mengucapkan ”Labbaika ‘umrotan, wa labbaika hajjan, labbaikallohumma ‘umrotan wa hajjan.” Sama saja melafazkan niat ? Jawabannya: Tidak, itu bukan melafazkan niat, tetapi memperlihatkan syi’ar manasik. Untuk itulah sebagian ulama’ menyatakan, talbiyah dalam manasik haji dan umroh sama seperti takbiratul ihram dalam sholat. Tanpa melafazkan talbiyah, ihram seseorang tidak akan sah. Sama halnya sholat tidak akan sah tanpa takbiratul ihrom. Wallohu ta’ala a’lam bisshowaab
Di kutip dan diringkas dari syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah syaikh muhammad bin sholih Al-‘Utsaimin
Leave a Reply