Hukum Pengembalian Barang yang Telah Dibeli

pengembalian barang yang telah dibeli

Hukum Pengembalian Barang yang Telah Dibeli – Beberapa toko-toko besar memiliki kiat-kiat tersendiri untuk menarik para konsumen. Di antaranya memberikan fasilitas bahwa barang yang telah dibeli dapat ditukar dengan barang yang lain ataupun uang kembali utuh. Cara ini sangat memuaskan para pelanggan, sehingga mereka tertarik berbelanja di toko tersebut. Pengembalian ini ada beberapa bentuk, ada yang hanya boleh ditukar dengan barang lain yang ada di toko tanpa pengembalian uang tunai bila harga sama, dan bila harganya lebih mahal pembeli membayar selisih harganya, atau diberi voucher seharga barang yang dikembalikan yang dapat digunakan untuk belanja di toko tersebut kapanpun juga. Dan ada juga, uang kembali utuh jika barang yang dibeli masih utuh.

Jangka waktunya juga bervariasi, ada yang membatasi 1 hari untuk barang tertentu, seperti barang elektronik, ada juga yang membatasi 3 hari, 7 hari dan 14 hari. Dan ada juga yang tidak membatasi waktu pengembalian. Bagaimanakah syariat menyikapi fenomena ini? Pada dasarnya, bilamana syarat-rukun dalam sebuah akad jual-beli terpenuhi maka akad menjadi lazim (niscaya), barang berpindah ke tangan pembeli dan uang berpindah ke tangan penjual serta kedua-belah pihak (penjual dan pembeli) tidak dapat lagi menarik diri dari akad yang telah mereka lakukan.

Hal ini berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama, dan berdasarkan firman Allah Subhanahu Wata’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah agad-agad itu”.[1]

Allah memerintahkan untuk memenuhi akad (termasuk akad jual-beli) yang telah dibuat. Perintah untuk memenuhi akad menunjukkan bahwa akad yang bersifat mengikat (lazim), karena jika akad tidak bersifat mengikat maka tidak perlu diperintahkan untuk memenuhinya. Tetapi, dikecualikan dari prinsip dasar di atas, bila terdapat khiyar (penjual atau pembeli berada dalam masa yang dibenarkan untuk memilih, melanjutkan, atau membatalkan akad) atau penjual dan pembeli sepakat saling ridha untuk membatalkan akad (fasakh).

 Khiyar disyariatkan agar kedua-belah pihak benar-benar berfikir dengan jernih untuk melangsungkan akad. Karena sering terjadi terburu nafsu menjual/membeli kemudian timbul penyesalan setelah berfikir kembali. Bila dia tidak tahu tentang khiyar, tentu penyesalannya akan berkepanjangan. Tetapi, dengan khiyar  dia masih memiliki kesempatan untuk rujuk dari akad yang telah dilakukan. Ada beberapa bentuk khiyar dalam akad jual-beli:

Khiyar majelis

Umumnya transakasi dilakukan oleh dua-belah pihak di satu majelis (tempat/ruangan). Bila transaksi telah terjadi selagi mereka masih berada dalam majelis tersebut, masing-masing masih dibenarkan untuk khiyar (memilih melanjutkan atau membatalkan) akad. Akan tetapi bila salah satu dari keduanya meninggalkan tempat maka akad menjadi lazim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Penjual dan pembeli dibenarkan melakukan khiyar selagi mereka berada dalam satu majelis dan belum berpisah. Jikakeduanya jujur dan saling terbuka niscaya akad mereka diberkahi dan jika keduanya berdusta dan saling menutupi cacat (barang) niscaya dicabut keberkahan dari akad yang mereka lakukan”[2]

Bagaimana akad yang dilakukan tidak dalam satu majelis, seperti akad yang dilakukan dengan menggunakan telepon atau internet, bagaimanakah menentukan akhir batas khiyarmajelis?

Kasus ini telah dibahas oleh Majma’ Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) dengan keputusan No. 52 (3/6) tahun 1990. Bahwa yang menjadi ukuran majelis adalah waktu percakapan. Selama percakapan masih terjadi walaupun temanya tidak lagi berkenaan tentang akad tersebut, mereka masih dianggap satu majelis. Dan majelis berakhir dengan berakhirnya percakapan. Dan untuk akad via internet berakhir dengan ditutupnya program yang digunakan dalam akad.

Khiyar syarat

Misalnya: A membeli rumah tipe 45 dari B. Pada saat akad berlangsung. A mengajukan syarat agar diberi tenggang waktu berfikir selama beberapa hari. Selama waktu yang disyaratkan, kedua-belah pihak dibenarkan memilih antara meneruskan akad atau membatalkannya. Sekalipun uang sudah diserahkan A kepada B. Bila A mundur, B wajib menyerahkan uang A yang telah diterimanya. Begitu juga sebaliknya.

Bolehnya khiyar syarat berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

والمسلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَراما

Artinya: “Orang-orang islam itu memenuhi perjanjian (persyaratan) yang mereka buat, kecuali perjanjian mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.[3]

Namun, bila sampai waktu yang telah disepakati tidak ada tindakan yang dilakukan oleh kedua-belah pihak maka akad menjadi lazim.

Batas Maksimal Khiyar Syarat

Para ulama berbeda pendapat tentang batas maksimal khiyar syarat. Berikut penjelasannya:

Pendapat pertama: Khiyar syarat tidak boleh lebih dari tiga hari semenjak akad dilakukan, karena seluruh hadis-hadis yang berkenaan dengan khiyar syarat tidak lebih dari 3 hari. Dan waktu selama 3 hari dianggap cukup untuk berfikir. Pendapat ini merupakan mazhab hanafi dan syafi’i. Di antara dalil pendapat ini, diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa ada seorang sahabat mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia sering tertipu berjual-bell, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Bila engkau membeli katakanlah, “Tidak boleh menipu! Kemudian, barang yang telah dibeli boleh dikembalikan selama tiga hari. Jika engkau rela tahan barangnya (jangan dikembalikan). Danjika engkau tidak rela maka barang dapat engkau kembalikan kepada penjualnya”.

Pendapat kedua: Tidak ada batas maksimal lamanya khiyar syarat selama kedua-belah pihak saling ridha. Karena khiyar syarat adalah hak kedua-belah pihak. Maka waktunya terserah mereka berdua. Dan karena sebagian barang butuh waktu untuk berfikir lebih dari 3 hari. Adapun hadits-hadits khiyar syarat tidak membatasi waktu selama 3 hari, melainkan hanya menjelaskan bahwa khiyar yang terjadi di masa itu selama 3 hari. Pendapat ini merupakan mazhab Hanbali. Dan sepertinya pendapat ini lebih kuat berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

والمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

Artinya: “Orang-orang islam itu memenuhi perjanjian (persyaratan) yang mereka buat”.[4]

Dan untuk masa sekarang, pendapat ini lebih tepat, karena banyak jenis barang yang tidak dapat diketahui cacatnya dalam masa tiga hari. Bila khiyar syarat hanya boleh selama 3 hari maka pembeli akan terzalimi. Wallahu a’lam.

Milik Siapakah Nilai Tambah Barang Selama Khiyar Syarat?

Jumbur ulama mengatakan bahwa nilai tambah objek akad selama khyar syarat yang tidak bisa dipisahkan merupakan milik penjual, sedangkan nilai tambah yang bisa dipisahkan menjadi milik pembeli. Misalnya: A membeli sapi milik B dengan khiyar syarat selama 15 hari. Sapi diterima A dan uang diterima B. Selama 15 hari itu susu sapi diperah oleh A, karena sapi telah menjadi miliknya. Andai akad tidak jadi, B tidak boleh meminta harga susu yang telah diperah oleh A. Sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الحَرَاجُ بِالضمَانِ

Artinya: “Keuntungan adalah milik orang yang menanggung barang yang dibeli”[5]

Maksudnya: andai sapi tersebut mati maka yang menanggung adalah A, karena dia yang menanggung maka dia berhak menikmati keuntungan yang terpisah dari barang tersebut. Adapun nilai tambah yang tidak terpisah, seperti sapi menjadi gemuk, maka nilai tambah itu milik penjual andai akad tidak jadi, karena nilai tambah tersebut tidak bisa dipisahkan dengan barang maka dia mengikut barang yang menjadi milik penjual.

Khiyar aib

Khiyar aib merupakan khiyar karena tertipu atau mendapati barang dalam keadaan cacat. Seperti: membeli barang lebih tinggi dari harga pasar, misalnya, harga sepatu senilai 100 ribu rupiah, akan tetapi dia beli dengan harga 150 ribu rupiah, karena tidak pandai menawar atau barang yang dibeli cacat, misalnya, ia beli susu ternyata sudah kadaluwarsa. Atau barang itu dipoles seolah-olah tampak bagus dan harganya tinggi, misalnya, beli mobil dengan cat yang mulus, ternyata bekas tabrakan. Maka pembeli berhak mengembalikan barang walaupun akad telah mengikat dan walaupun dia tidak meminta khiyar syarat. Salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering tertipu bila membeli, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menasehatinya untuk selalu mengucapkan, “Tidak boleh menipu”, andai kemudian dia tertipu dia berhak meminta uangnya kembali.[6]

Di beberapa toko sering kita dapati pada bukti pembayaran tulisan, “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Bagaimana Islam menyikapinya? Pernyataan itu dari satu sisi benar, karena akad setelah khiyarmajelis berakhir menjadi lazim. Dan di sisi lain tidak benar bila ternyata barang tesebut cacat atau harganya di atas harga pasar atau dipoles sedemikian rupa sehingga harganya begitu tinggi, karena ini termasuk khiyar aib.

Hukum Fasilitas Pengembalian Barang yang Telah Dibeli

Dari penjelasan tentang khiyar jelas bahwa boleh hukumnya dibuat oleh toko-toko besar bahwa pembeli dapat mengembalikan barang ataupun menukarnya selama tenggang waktu yang diberikan. Hal ini termasuk khiyar syarat, boleh lebih atau kurang dari 3 hari berdasarkan pendapat yang terkuat. Namun, bagaimanakah hukum fasilitas pengembalian barang yang tertera pada struk belanja bahwa barang dapat dikembalikan saja (tidak dibatasi waktunya)? Hukumnya tergantung hukum khiyar yang tidak dibatasi waktunya, kapanpun pembeli ingin mengembalikan barang akan dierima oleh penjual.

Hampir seluruh para ulama berpendapat bahwa khiyar ini tidak sah, disebabkan beberapa hal:

  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli gharar. Dan dalam akad ini terdapat ketidak-jelasan waktu khiyarnya, maka kasus ini termasuk dalam jual beli gharar yang diharamkan, sekalipun mereka saling ridha.
  • Persyaratan khiyar dengan waktu yang tidak dibatasi bertentangan dengan tujuan jual-beli, karena jual-beli bertujuan untuk terjadinya perpindahan barang dan uang dari satu pihak ke pihak lainnya, sehingga kedua belah pihak dapat leluasa menggunakan barang yang dipertukarkan. Dan bila khiyar tanpa batas waktu dibolehkan akan berakibat penjual sulit untuk membukukan keuntungan penjualan.

Termasuk dalam permasalahan ini persyaratan agen kepada distributor bahwa barang yang telah dibeli agen dari distributor kalau tidak laku dapat dikembalikan kapanpun juga dengan harga yang sama pada saat jual. Persyaratan ini tidak dibenarkan oleh mayoritas para ulama.

Para ulama mengecualikan emas dan perak. Jika emas atau perak yang menjadi objek barang jual-beli, maka tidak boleh ada khiyar syarat, karena jual-beli emas dengan uang berarti menukar barang yang sama illat ribanya, yaitu tsamaniyah. Maka agar tidak terjadi riba bai tukar menukar harus terjadi tunai. Sedangkan persyaratan khiyar bermakna bahwa masih ada ikatan antara penjual dan pembeli. Seolah-olah akad jual-beli tidak tunai karena masih ada ikatan antara penjual dan pembeli. Dengan demikian, agar akad jual-beli ini terbebas dari riba maka tidak boleh ada khiyar syarat bahwa barang yang dibeli boleh dikembalikan dalam beberapa hari, sekalipun mereka saling ridha Karena persyaratan yang menghalalkan yang haram tidak dibolehkan.

 

Referensi:         

Dr. Erwandi Tarmizi. 2020. Harta Haram Muamalat Kontemporer Cetakan ke-23. Bogor: Berkat Mulia Insani.

Diringkas oleh: Shofwah Ummu Zubair (Pengajar Ponpes Darul Quran Wal Hadits OKU Timur)

[1] QS. AI-Maidah: 1

[2] HR. Bukhari-Muslim

[3] HR. Tirmizi. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Al-Albani

[4] HR. Tirmizi. Hadis ini dishahihkan oleh Al-Albani

[5] HR. Abu Daud dan Tirmizi. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Al-Albani

[6] HR. Bukhari-Muslim

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.