Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Arti Penting Umur Manusia

arti penting umur manusia

Oleh Ustadz Hizbul Majid

( Bagian Pertama )

Seorang yang akan bepergian jauh tentu akan mempersiapkan bekal yang cukup dengan sebaik-baiknya. Contohnya seorang yang hendak melakukan perjalanan haji, tentulah ia akan mengumpulkan bekal yang cukup dalam waktu yang lama. Padahal ibadah haji hanya berlangsung sebentar saja, hanya beberapa hari. Sama juga seorang yang hendak menikah akan mempersiapkan bekal dan biaya pernikahan yang terkadang didapat setelah bekerja keras dalam waktu yang lama. Lalu yang menjadi pertanyaan bagi kita sudahkah kita mempersiapkan perbekalan untuk suatu perjalanan yang tiada akhirnya? Yakni perjalanan akhirat. Dunia ini tidak lain hanyalah tempat singgah sementara, yang mana manusia akan melanjutkan perjalanannya ke negeri akhirat yang tiada akhirnya.

Maka sudah semestinya kita mempersiapkan perbekalan untuk kehidaupan panjang yang tiada akhirnya. Alloh berfirman,

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Alloh, dan hendaknya setiap diri memperhatikan tentang apa yang akan diperbuat olehnya untuk esok hari (akhirat). Dan bertakwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh maha mengetahui apa yang engkau kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah tentang apa yang sudah kalian simpan berupa amal shalih untuk hari kebangkitan serta hal-hal yang dinampakkan kepada Robb kalian.”[1]

Namun amat sangat disayangkan masih ada sebagian kaum muslimin yang berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Alloh setelah berusia senja, setelah pensiun, atau purna tugas, padahal dia tidak tahu umur berapa ia akan meninggal.

Bersegeralah Dalam Beramal

“Mumpung masih muda puas-puaskan saja dan nikmati masa muda, gampang setelah tua nanti baru sadar.” Inilah ucapan yang acap kali kita dengar dari orang-orang yang bergelimang dengan maksiat dan jauh dari ketaatan. Padahal tahukah dia kalau umurnya bakalan panjang? Apakah punya rekomendasi dari Alloh dengan tanda tangan malaikat yang menyatakan umurnya bakal panjang? Kalau seandainya ia ditakdirkan panjang apakah ada jaminan bahwa dia akan sadar? Atau justru malah makin tua makin menjadi maksiatnya?! Alloh berfirman,

وَما تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَداً وَما تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Dan tiada seseorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakan untuk hari esok. Dan tiada seorang pun yang mengetahui dibumi mana dia akan mati. Sesunguhnya Alloh maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS. Luqman: 34)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya banyak berangan-angan adalah modalnya orang-orang yang bangkrut.”[2]

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu berkata,

إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

“Apabila engkau berada diwaktu sore janganlah menunggu (menunda beramal) diwaktu pagi. Dan jika berada diwaktu pagi, janganlah (menunda beramal) diwaktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu, dan hidupmu untuk matimu.”[3]

Maka janganlah lewatkan kesempatan hidup ini sebelum datangnya kematian. Alloh berfirman,

حَتَّى إِذا جاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قالَ رَبِّ ارْجِعُونِ

لَعَلِّي أَعْمَلُ صالِحاً فِيما تَرَكْتُ كَلاَّ إِنَّها كَلِمَةٌ هُوَ قائِلُها وَمِنْ وَرائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata: ‘wahai Robbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat beramal shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan.’sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu hanyalah perkataan yang diucapkan saja.” (QS. Al-Mu’minun: 99-100)

Umur Akan Dimintai Pertanggung Jawaban

Waktu adalah sesuatu yang sangat berharga, jika berlalu maka ia tidak akan kembali lagi. Setiap kali waktu bergulir, maka semakin dekatlah ajal kita. Dan umur adalah nikmat yang akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Alloh. Rosululloh shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَسْأَلَهُ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَمَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ

“Tidak akan bergeser kaki manusia pada hari kiamat dari sisi Robbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya untuk apa ia pergunakan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia infakkan, dan tentang ilmunya apa yang ia amalkan (darinya).”[4]

Manfaatkanlah nikmat umur ini untuk beramal

Amat banyak orang-orang yang melewati harinya dengan hura-hura, foya-foya dan perbuatan sia-sia. Bahkan banyak di antara mereka yang manjadikan umurnya untuk ajang berbuat dosa dan kemurkaan Alloh. Dia tidak mau mennggunakan umurnya untuk sesuatu yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Seolah-olah keadaannya mengatakan, “Hidup itu hanya sekali di dunia ini saja, maka manfaatkanlah untuk berfoya-foya”. Tidak ada yang terbayang didalam benaknya kecuali menuruti hawa nafsunya. Maka kondisi orang yang seperti ini seperti binatang ternak bahkan lebih jelek. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ

“(Ada) dua nikmat yang kebanyakan orang tertipu olehnya, yaitu nikmat sehat, dan waktu senggang.”[5]

Rosululloh shallallahu ‘alahi wa sallam juga bersabda,

اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa hidupmu sebelum matimu, masa sehatmu sebelum sakitmu, masa senggangmu sebelum masa sibukmu, masa mudamu sebelum tuamu, dan masa kayamu sebelum,masa fakirmu.”[6]

Berkata Al-Munawi, “Lakukanlah lima perkara sebelum datang lima perkara. “Hidupmu sebelum matimu” yakni pergunakanlah (hidupmu pada) hal-hal yang akan memberikan manfaat setelah matimu, karena orang yang telah mati telah terputus amalannya, pupus harapannya, datang penyesalannya serta beruntun kesedihannya. Maka gadaikanlah dirimu untuk kebaikanmu. “Dan masa sehatmu sebelum sakitmu” yakni manfaatkanlah (kesempatan) senggangmu di dunia ini sebelum disibukkan dengan kedahsyatan hari kiamat yang awal persinggahannya adalah alam kubur. Manfaatkanlah kesempatan yang diberikan, semoga kamu selamat dari siksa dan kehinaan. “Dan masa mudamu sebelum masa tuamu”, yakni lakukan ketaatan saat kamu mampu sebelum datang usia tua manghinggapimu, sehingga engkau akan menyesali perbuatan yang telah engkau sia-siakan dari kewajiban terhadap Alloh Subhanahu Wa Ta’ala “Dan masa kayamu sebelum masa faqirmu” yakni, memanfaatkan dengan bersedekah atas kelebihan hartamu sebelum engkau jatuh kepada musibah yang menjadikanmu faqir, (jika demikian) maka engkau akan menjadi faqir di dunia dan di akhirat. Kelima hal ini tidak diketahui kadar besarnya kecuali setelah hilang.”[7]

Telah Datang peringatan

Terkadang telah datang peringatan dari tubuhnya sendiri. Hal ini menjadi peringatan akan dekatnya ajal menjemputnya. Sungguh uban yang telah menyelimuti kepala, kulit yang sudah mulai keriput, badan yang sudah mulai lemah merupakan tanda akan dekat ajal menjemputnya. Alloh berfirman,

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَما لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ

“Dan apakah kami telah memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang-orang yang mau berpikir, dan (apakah) tidak datng kepadamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37)

Sebagian ahli tafsir menjelaskan arti, “Telah datang kepadamu peringatkan” yakni: uban.

Demikian juga apabila Alloh telah memberikan umur hingga seorang mencapai umur 60 tahun, berarti Alloh tidak meninggalkan sebab lagi agar seseorang memilki alasan. Kesempatan telah Alloh berikan dan umur telah dipanjangkan. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ، حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً

“Alloh telah memberikan puncak udzur/alasan bagi seseorang yang diakhirkan ajalnya hingga mencapai usia enampuluh tahun.[8]

Maksud hadits ini adalah bahwa tidak ada lagi alasan baginya, seperti mengatakan, “Kalau umurku dipanjangkan, maka aku akan melakukan apa yang aku diperintahkan untuknya.” Dijadikannya umur empat puluh tahun sebagai batas udzur seseorang karena umur tersebut adalah umur yang mendekati ajal dan umur yang seharusnya seseorang kembali kepada Alloh, khusyu’, dan mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang lebih berumur enam puluh tahun hendaknya ia lebih menekuni amalan akhirat secara total, karena sudah tidak mungkin lagi akan kembali dalam kondisinya yang pertama ketika dalam kondisi kuat dan semangat.”[9]

Umur Umat Ini

Alloh telah mentakdirkan bahwa umur umat ini tidak sepanjang umur-umur umat terdahulu. Hal ini mengandung sebuah hikmah yang terkadang tidak diketahui oleh para hamba. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah bersabda di dalam hadits yang telah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari shohabat Abu Hurairah radhiaallahu ‘anhu,

أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ، وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

“Umur-umur umatku antara 60 sampai 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi dari itu.”[10]

Maksud hadits ini adalah bahwa keumuman umur umat ini antara 60 hingga 70 tahun, dengan realita yang bisa disaksikan. Dimana ada juga di antara umat ini yang (mati) sebelum umur 60 tahun. Ini termasuk dari rahmat Alloh dan kasih sayangnya supaya umat ini tidak terlibat dalam kehidupan dunia kecuali hanya sebentar. Karena umur, badan, dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian kali lipat dibandingkan umat ini. Dahulu ada yang diberi umur seribu tahun, panjang tubuhnya mencapai sekitar 80 hasta atau kurang. Satu biji gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh orang. Mereka mengambil dari dunia sesuai dengan jasad dan umur mereka, sehingga mereka sombong dan berpaling dari Alloh. Dan manusia pun terus mengalami bentuk penurunan fisik, rizki, dan ajal. Maka jadilah umat ini sebagai umat yang terakhir, yang mengambil rizki yang sedikit, dengan badan yang lemah, dan pada masa yang pendek supaya mereka tidak menyombongkan diri. Ini adalah bentuk kasih sayang Alloh Ta’ala kepada mereka.”[11]

Orang Yang Paling Baik

Manusia yang terbaik adalah manusia yang mengisi waktunya dengan amalan untuk kebaikan dunia dan akhiratnya. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ وَشَرَّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ

“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya. Dan sejelek-jelek manusia adalah yang panjang umurnya dan jelek amalannya.”[12]

Seorang yang banyak kebaikannya, setiap kali dipanjangkan umurnya, maka akan banyak amalannya dan bertambah pahala kebaikannya,

Dahulu ada dua orang yang datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan sama-sama masuk Islam. Salah satunya lebih bersemangat untuk beramal dari pada yang lainnya. Orang yang bersemanagat tersebut ikut pertempuran dan terbunuh. Temennya yang satu masih hidup satu tahun setelahnya, lalu meninggal di atas ranjangnya. Maka ada shohabat bernama Tholhah bin Ubaidillah radhiallahu ‘anhu bermimpi tentang dua orang tersebut. Dalam mimpinya keduanya berada di pintu surga. Maka orang yang matinya di atas ranjangnya dipersilahkan masuk surga terlebih dahulu. Setelah itu temannya yang terbunuh dipersilahkan masuk. Pada pagi harinya Tholhah bercerita kepada orang-orang dan mereka merasa takjub dengan hal tersebut, berita mimpi Tholhah dan takjubnya mereka pun sampai kepada Rosululloh shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Bukankah (orang yang mati diranjangnya) ini masih hidup setahun setelah (kematian temennya yang terbunuh dijalan Alloh) itu? Para shohabat menjawab, “Benar”. Rosululloh shallallahu’alaihi wasallam bertanya lagi, “Dan ia mendapati bulan Romadhon lalu ia puasa dan sholat sekian dan sekian dalam setahun?” para shohabat menjawab, “Benar”. Rosululloh bersabda, “Jarak (derajat) antara keduanya lebih jauh dari pada jarak antara langit dan bumi.”[13]

Karena berharga dan mahalnya umur seorang mu’min, maka dahulu ada seorang salaf mengatakan, “Sungguh satu jam kamu hidup padanya dengan kamu beristighfar kepada Alloh lebih baik dari pada kamu mati selama setahun.

Dan dahulu ada seorang salaf yang sudah tua ditanya, “Apakah kamu ingin mati?” jawabnya, “Tidak. Karena masa masa muda dan kejahatannya telah berlalu, dan kini datang masa tua bersama kebaikannya. Jika aku berdiri aku mengucapkan bismillah, jika aku duduk aku mengucapkan alhamdulillah. Aku ingin untuk terus dalam kedaan seperti ini.”

Dan ada juga seorang salaf lainnya yang sudah tua ditanya, “Apa yang masih masih tersisa dari keinginanmu didunia ini?” Dia menjawab, “Menangisi dosa-dosa yang telah aku perbuat.”

Oleh karena itu banyak dari salaf kita yang menangis ketika mau meninggal. Bukan karena sedih berpisah dengan kenikmatan dunia, namun bersedih karena terputus dengan amalan-amalan sholat malam yang dia lakukan, puasa, tilawatul Qu’an dan yang lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi rahimahullah.[14]

Sumber Majalah Lentera Qolbu Tahun ke-2 Edisi ke-9

[1] Taisir Al-‘Aliyyir Qadir: 4/339.

[2] Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi: hal.32.

[3] HR. Al-Bukhari: 6416.

[4] HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. Lihat As-Shahihah, no.946.

[5] HR. Bukhari dan At-Tirmidzi. Lihat Shahih At-tirmidzi no.2304.

[6] HR. Al-Hakim dan selainnya.dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihul Jami’ no.1077.

[7] Faidhul Qadhir: 2/21.

[8] HR. Al-Bukhari: no.6419.

[9] Fathul Bari: 11/240.

[10] Hadits ini dihasankan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar didalam Fathul Bari: 11/240.

[11] Disadur secara makna dari perkataan Imam At-thibi didalan kitab Al-Faidhul Qadir: 2/15.

[12] HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Bakrah radhiyallahu’anhu, lihat Shahihul Jami’ no: 3297.

[13] Shahih Sunan Ibnu Majah: no.3185.

[14] Lihat Syarah hadits Allohumma Bi’ilmika al-Ghaib. Karya Ibnu Rajab rahimahullah, hal.25-26.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.