Amalan Ringan Berpahala Besar

AMALAN

 

Amalan Ringan Berpahala Besar-Telah datang dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Rasulullah  ditanya oleh Jibril tentang keimanan. Lalu Rasulullah menjawab bahwa iman adalah beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan takdir baik dan buruk. Sehingga seseorang yang mengaku beriman harus mengimani 6 hal tersebut. Apabila salah satu di antaranya ditinggalkan, maka tidak akan sah imannya.

Begitu pula dengan beriman kepada hari akhir. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

 

لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَـٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْـَٔاخِرِ

وَٱلْمَلَـٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَـٰبِ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ

 

Artinya:

“Tidaklah dinamakan kebaikan bila engkau memalingkan wajahmu ke arah timur dan barat akan tetapi kebaikan itu adalah engkau beriman kepada Allah dan hari akhir, malaikat, kitab-kitab dan para nabi.” (QS. Al-Baqarah: 177)

 

Di dalam ayat lain, Allah Subhanahu Wata’ala mengatakan:

 

وَمَن يَكْفُرْ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَٱلْيَوْمِ ٱلْـَٔاخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـٰلًۢا بَعِيدًا

 

Artinya:

“Dan barangsiapa yang kufur kepada Allah dan juga para malaikat, kitab-kitab, para nabi dan kufur dengan hari akhir maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang jauh.” (QS. An-Nisā: 136)

 

Ayat-ayat di atas menunjukkan tentang tingginya kedudukan beriman kepada hari akhir. Yang dimaksud dengan beriman kepada hari akhir adalah beriman kepada sebagian atau seluruh apa yang terjadi setelah kematian, baik berupa fitnah kubur, adzab kubur, hari kebangkitan, hari pengumpulan manusia, penimbangan amal, hisab, sampai masuknya manusia ke dalam surga atau neraka.

Seorang yang mengaku beriman harus mengimani adanya timbangan amal perbuatan manusia yang akan terjadi di hari akhir. Kelak manusia akan ditimbang amalannya, entah itu baik atau buruk. Kebaikan yang dia lakukan di dunia akan ditimbang demikian pula keburukan (dosa dan maksiat) juga akan ditimbang.

Di antaraya keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah kelak akan ada mizan yakni timbangan amal. Seluruh amalan baik dan buruk akan ada timbangannya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wata’ala:

 

وَنَضَعُ ٱلْمَوَٰزِينَ ٱلْقِسْطَ لِيَوْمِ ٱلْقِيَـٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌۭ شَيْـًۭٔا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍۢ مِّنْ خَرْدَلٍ

أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَـٰسِبِينَ

 

Artinya:

“Kami akan meletakkan timbangan-timbangan yang adil pada hari kiamat, maka tidak akan ada jiwa yang terzhalimi. Meskipun amalan tersebut berupa kebaikan atau keburukan seberat habbah min khardal (satu biji sawi) niscaya kami akan mendatangkannya (tidak ada yang ketinggalan) dan cukuplah kami sebagai yang menghitung.” (QS. Al-Anbiyya: 47)

 

Orang yang hidup di dunia tentu memiliki kebaikan dan kejelekan. Namun orang yang ketika di hari kiamat setelah ditimbang, kebaikan dan pahalanya lebih berat daripada dosanya, merekalah orang yang beruntung dan kelak akan masuk ke dalam surga. Adapun, barangsiapa yang timbangan kebaikannya lebih ringan daripada keburukannya, maka merekalah orang-orang yang merugi. Tidak ada kerugian yang lebih besar daripada kerugian seseorang di akhirat. Gagal di akhirat berarti gagal selamanya. Karena kehidupan di akhirat itu abadi, berbeda dengan kehidupan di dunia yang sebentar. Mereka kekal di dalam neraka Jahannam.

Ini adalah akibat dari orang yang bertemu Allah Subhanahu Wata’ala di akhirat dalam keadaan tidak membawa pahala yang lebih besar dan lebih berat daripada keburukannya. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim memperhatikan dan mengoreksi dirinya sendiri, apakah kebaikan yang selama ini dilakukan sudah banyak atau belum. Apakah kebaikan-kebaikan yang dia lakukan lebih banyak dari keburukannya atau justru lebih sedikit. Kemudian hendaknya selalu menjaga supaya amal kebaikannya diterima oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, kebaikan yang kelak bermanfaat bagi seseorang adalah kebaikan yang diterima oleh Allah. Adapun kebaikan yang tidak diterima oleh Allah Subhanahu Wata’ala maka tidak dihitung di hari kiamat.

 

Di antara amalan-amalan yang akan memperberat timbangan amal kebaikan di hari kiamat adalah sebagai berikut

  1. Dua kalimat syahadat

Dua kalimat syahadat adalah syarat mutlak pemberat timbangan amalan di hari kiamat. Ia adalah rukun yang pertama di dalam rukun Islam, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam:

 

بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ

وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصَوْمِ رَمَضَانَ

 

Artinya:

“Islam dibangun atas lima pekara. (1) Persaksian bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah E (2) mendirikan shalat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa Ramadhan”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

 

Dua  kalimat syahadat maknanya adalah aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah Subhanahu Wata’ala dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah. Dua kalimat ini, apabila diucapkan oleh seseorang, tidak membutuhkan waktu yang panjang, bahkan kurang dari satu menit. Namun, ia dapat memberatkan timbangan seseorang di hari kiamat.

Dalilnya adalah hadits Abdullah Ibnu ‘Amr ibnu Ash  yang menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda yang di dalamnya dikatakan bahwa akan ada satu orang laki-laki yang dipilih oleh Allah Subhanahu Wata’ala di hadapan makhluk-makhluk lain, lalu dibukakan untuknya 99 sijil (kitab yang besar) yang berisi dosa-dosanya. Namun, karena lelaki tersebut ketika di dunia bersyahadat dan tidak melakukan pembatal syahadat maka dikeluarkan untuknya bithaqah atau kartu bertuliskan kalimat syahadat lalu ditimbangkan dengan 99 sijil dan terbanglah 99 sijil tersebut karena ringannya serta beratnya bithaqah bertuliskan kalimat syahadat tersebut. Hadits ini shahih diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dan dikenal dengan haditsul bithaqah.[1]

Maksud dari tidak melakukan pembatal syahadat adalah tidak menyembah kepada selain Allah, tidak berdo’a kepada selain Allah, tidak bernadzar untuk selain Allah, tidak meminta tolong kepada selain Allah Subhanahu Wata’ala, dan mengikuti perintah Rasulullah, menjauhi larangan beliau, serta membenarkan ucapan beliau.

  1. Akhlak yang baik

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan, “Tidak ada sesuatu yang lebih berat di dalam timbangan di hari akhir daripada akhlak yang baik.”[2] Hadits ini menunjukkan pentingnya akhlak yang baik di dalam kehidupan seorang muslim. Akhlak yang baik meliputi akhlak kepada Allah, kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, dan kepada manusia yang lain.

Akhlak kepada Allah Subhanahu Wata’ala di antaranya tauhid (أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ). Akhlak kepada Rasulullah di antaranya membenarkan kabar beliau dan beribadah dengan cara beliau. Akhlak kepada manusia artinya kita bermuamalah (bergaul) dengan baik kepada orang lain.

  1. Membaca kalimat: ( سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ )

Dari Abu Hurairah menyebutkan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

 

كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ

الْعَظِيمِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ

 

Artinya:

“Dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, dan dicintai Allah Subhanahu Wata’ala yang Maha Rahman, yaitu SubhaanAlla hil‘azhiim dan SubhanAllah  wabihamdihi.” (HR. Al-Bukhari)

 

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengabarkan bahwa dua kalimat tersebut bisa memberatkan timbangan amalan seseorang di hari kiamat. Ringan diucapkan, bahkan dalam satu menit seseorang bisa beberapa kali mengucapkan dua kalimat ini, namun berat di timbangan amal. Oleh karenanya, seseorang hendaknya berusaha untuk mengamalkan dan mengucapkan dua kalimat ini ketika dia ingat.

  1. Mengucapkan kalimat ٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan, “Ucapan Alhamdulillah akan memenuhi timbangan amalan seseorang.”[4] Ucapan yang ringan tetapi dikabarkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bahwasanya dia adalah amalan yang berat yaitu sampai memenuhi timbangan amalan pada hari Kiamat.

 

  1. Melakukan shalat di tanah haram Makkah dan Madinah

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

 

صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى

الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ

 

Artinya:

“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Imam Albani)

 

Shalat di masjid Nabawi dan di Masjidil Haram pahalanya jauh lebih banyak, berlipat ganda daripada shalat di selain masjid Nabawi dan selain di Masjidil Haram. Perbandingannya, untuk mendapatkan pahala sekali shalat di masjid Nabawi, diperlukan waktu kurang lebih 2 tahun 8 bulan shalat di masjid lain. Jika shalat sekali di masjidil Haram 2 tahun 8 bulan, maka perlu waktu 200 tahun 800 bulan shalat di masjid selain Masjidil Haram.

Banyak pahala yang akan didapatkan dengan melakukan shalat di Masjidil Haram. Hendaknya seorang muslim berdo’a semoga Allah Subhanahu Wata’ala memudahkannya untuk bisa berkunjung ke Makkah dan Madinah, melaksanakan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam:

 

لاتشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد: المسجد الحرام، ومسجد الرسول، ومسجد الأقصى

Artinya:

“Tidak boleh mengadakan perjalanan/safar kecuali menuju ke tiga masjid, yaitu, Masjid Al-Haram, Masjid Ar-Rasul (masjid Nabawi), dan masjid Al Aqsha.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

  1. Melaksanakan shalat Jumat.

Di dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah mengatakan, “Barangsiapa mendatangi istrinya pada hari Jum’at kemudian dia mandi, lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi ke masjid dalam keadaan berjalan kaki, tidak naik kendaraan lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti amalan yang dikerjakan selama setahun (pahala puasa dan pahala shalatnya).” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud di dalam Sunnan-nya dan Ibnu Majah di dalam Sunnan-nya, At-Tirmidzi dan An-Nasai)

 

  1. Melakukan shalat berjama’ah khususnya shalat Subuh dan Isya.

Secara umum shalat berjamaah pahalanya besar. Namun untuk shalat Subuh dan Isya telah dikabarkan oleh Nabi bahwa dua shalat ini paling berat dilakukan oleh orang-orang munafik. Beliau mengatakan, “Barangsiapa shalat isya secara berjama’ah maka dia seperti orang yang shalat malam separuh malam. Dan barangsiapa yang shalat Isya dan Subuh secara berjama’ah maka dia seperti orang yang shalat malam semalam suntuk”.

Kalau seseorang bisa menjaga shalat berjama’ah Isya dengan Subuh maka ditulis seakan-akan dia melakukan shalat malam semalam suntuk. Apabila seseorang shalat Isya berjamaah maka dia seperti shalat separuh malam. Hadīts ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, menunjukkan tentang keutamaan melakukan dua shalat ini.

  1. Shalat Isyraq (Shuruq)

Shalat Isyraq yaitu shalat yang dikerjakan setelah matahari terbit awal dari waktu dhuha. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi Rasulullah mengatakan, “Barangsiapa shalat subuh berjama’ah kemudian dia duduk (berdzikir) setelah shalat subuh sampai terbit matahari kemudian shalat dua raka’at maka dia mendapatkan pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna.”

Sampai terbit matahari di sini,  menurut Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin adalah sekitar 15 menit setelah terbit matahari. Jadi apabila matahari terbit jam 6 pagi, maka shalat ini dilakukan jam 6 lebih 15 menit, bukan saat matahari terbit karena waktu ini dilarang untuk shalat supaya tidak menyerupai orang-orang majusi. Orang-orang majusi melakukan peribadatan kepada matahari ketika matahari terbit dan ketika matahari tenggelam.

Perlu dipahami bahwa ucapan Nabi dalam hadits ini hanyalah menunjukkan tentang besarnya pahala shalat syuruq dan bukan menggugurkan kewajiban haji atau meniadakan keutamaan umrah secara langsung. Apabila seseorang memiliki kemampuan fisik dan harta untuk melakukan ibadah haji maka dia tetap wajib melakukan ibadah haji. Hadits ini hanya menunjukkan tentang besarnya pahala dan tidak menunjukkan bahwasanya amalan ini bisa menggugurkan kewajiban.

  1. Shalat Dhuha.

Di dalam sebuah hadits, Rasulullah mengatakan, “Kewajiban setiap anggota badan (setiap sendi) yang kita miliki diwajibkan untuk shadaqah dan kita memiliki 360 sendi. Masing-masing dari sendi ini berkewajiban untuk shadaqah setiap harinya tetapi yang demikian cukup dengan melakukan dua raka’at di waktu dhuha.” Apabila seseorang shalat dua raka’at di waktu dhuha, maka ini sudah mencukupi atau mewakili shadaqah yang wajib ditunaikan bagi anggota badan seorang muslim.

Banyak amalan-amalan yang sangat ringan dilakukan namun ia bisa menjadi pemberat timbangan kelak di hari akhir. Yang hendaknya dilakukan adalah amalan-amalan yang memiliki dasar dalil yang kuat yang datang dari Nabi. Bukan dari hadits-hadits yang dha’if atau lemah atau bahkan amalan tak berdasar. Sebab, apabila seseorang mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang shahih kemudian diamalkan sampai meninggal dunia, maka ini sudah merupakan amalan yang paling utama. Terlalu banyak hadits-hadits shahih yang apabila dilaksanakan semuanya maka seseorang tidak mempunyai waktu lagi untuk mengamalkan hadits yang tidak shahih.

Semoga Allah memampukan kaum muslimin dalam mengamalkan amalan-amalan yang menjadi pemberat timbangan amal yang akan bermanfaat kelak di hari akhir.

 

Referensi:

 

Ditulis oleh: Avrie Pramoyo dari Majalah HSI edisi  017ـ Dzulqa’dah 1441 H

Diringkas oleh: Aryadi Erwansah (Staf Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur)

Baca juga artikel:

Hadiah Komersial

Ngalap Berkah

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.