BERBAKTI DAN MENYAMBUNG SILATURAHMI MUKADIMAH
Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillâh wash-shalatu was-salámu ‘ala Rasûlillah. Pembaca yang dirahmati Allah, bab kedua dari kitabul jami adalah bab “Al-Birr wa Ash-Shilah” (berbuat kebaikan dan menyambung silaturahmi).
Sebelum kita membahas hadis-hadis yang berkaitan dengan silaturahmi, ada beberapa hal yang perlu diingatkan.
Yang pertama, terdapat perbedaan antara al-birru (berbakti) dan as-shilah (menyambung silaturahmi). Berbakti kedudukannya lebih tinggi daripada silaturahmi. Berbakti berkaitan dengan berbuat baik kepada kedua orang tua, adapun silaturahmi berkaitan dengan berbuat baik kepada kerabat selain kedua orang tua. Karenanya orang yang tidak berbakti dinamakan anak yang durhaka (3). Adapun orang yang tidak menyambung silaturahmi dinamakan “pemutus silaturahmi” ,(القاطع)
Maksud berbakti yang utama adalah berbakti kepada kedua orang tua kandung. Adapun kepada kakek dan nenek maka juga dinamakan berbakti akan tetapi kedudukannya di bawah berbakti kepada kedua orang tua kandung. Tatkala Allah menyebutkan tentang kedua orang tua maka Allah menyebutkan tentang kedua orang tua kandung. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا , وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra’: 23-24)
Firman Allah, “Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut” dan, “sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil,” menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan berbakti kepada kedua orang tua adalah kedua orang tua langsung yang telah merawat kita tatkala kita kecil
Yang kedua, banyak orang yang salah dalam menggunakan istilah silaturahim Mereka mengganti istilah ziarah dengan silaturahim. Misalnya. ketika seseorang hendak mengunjungi saudara, teman, atau ustadznya dia mengatakan, “Kita akan silaturahim kepada ustadz, “atau, “Kita akan silaturahim ke rumah teman” Padahal yang dimaksud adalah ziarah (berkunjung). Sedangkan silaturahim adalah menyambung kekerabatan. Sudah jelas bahwa kita dengan teman atau ustadz tidak ada hubungan kekerabatan. Jadi istilah yang benar seharusnya kita menziarahi ustadz atau teman.”
Mengapa demikian? Karena Allah dan syariat memang membedakan antara “silaturahim” (menyambung kekerabatan) dan “ziyáratul ikhwan” (mengunjungi teman). Antara silaturahim dengan ziarah berbeda, pahalanya pun berbeda. Masing-masing memiliki kedudukan, akan tetapi silaturahim memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada sekedar ziarah.
Namun demikianlah yang sering terjadi dalam masyarakat kita. Sebagian besar orang mengganti istilah ziarah dengan silaturahim. Padahal itu adalah istilah yang tidak tepat dan harus diperbaiki. Di antara akibat kerancuan istilah ini ada sebagian orang yang semangat melakukan ziarah/ kunjungan/pertemuan dengan sahabat-sahabatnya (dengan merasa ia sedang bersilaturahmi) sementara karib kerabatnya yang senasab tidak pernah atau jarang ia kunjungi
Silaturahim mendatangkan pahala-pahala yang istimewa. Di antara pahala silaturahim adalah seperti disebutkan dalam firman Allah;
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
“Dan orang-orang yang menghubungkan (menyambungkan) apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (disambung, yaitu silaturahim),” [1]
Setelah menyebutkan beberapa amalan, lalu Allah menyebutkan,
أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
“Bagi mereka kesudahan (tempat tinggal) yang terbaik.” [2]
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا
“(yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama.” [3]
Ini menunjukkan silaturahmi merupakan salah satu amalan yang luar biasa, yang dapat menyebabkan seseorang bisa masuk surga.
Selain ayat di atas, ada banyak sekali hadis yang menyebutkan tentang keutamaan menyambung silaturahmi dengan ibu, ayah, bibi, dan kerabat kerabat lain secara umum.
Oleh karenanya, jangan disamakan antara “silaturahmi” dengan “ziyaratul ikhwan atau akhwat”
Yang ketiga, apa makna ar-rahim? dan kepada siapa kita harus bersilaturahmi?
- Kerabat bisa diklasifikasikan menjadi tiga berikut ini. Kerabat dari ashhår (keluarga istri). Termasuk di dalamnya adalahipar, mertua, dan sebagainya.
- Kerabat sepersusuan, seperti saudara sepersusuan, kakak sepersusuan.ayah sepersusuan, dan sebagainya.
- Kerabat dan nasab, yaitu kerabat yang memiliki hubungan darah, misalnya saudara kandung, saudara satu kakek, dan sebagainya.
Lalu, di antara tiga jenis kerabat ini, manakah yang harus disambung tali kekerabatannya dengan silaturahmi?
Yang dimaksud dengan silaturahmi adalah yang menyambung hubungan karena nasab atau hubungan darah, yaitu yang ketiga.
Menyambung hubungan dengan kerabat istri tidak dinamakan silaturahmi, meskipun hal itu juga termasuk perbuatan baik yang dianjurkan sebagai bagian dari berbuat baik kepada manusia secara umum, terlebih dengan mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Jika kita berbuat baik kepada mertua atau ipar tidak dinamakan silaturahmi. Meskipun kita juga berharap mudah-mudahan kita mendapat pahala silaturahmi karena kita membantu istri kita untuk bersilaturahmi dengan ayah dan ibunya
Berkaitan dengan saudara sepersusuan, Rasulullah bersabda,
يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب
“Diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab.” [4]
Yang dimaksud dalam hadis ini adalah yang berkaitan dengan pernikahan, yaitu yang menjadi mahrain karena nasab (hubungan darah) dan juga berkaitan dengan persusuan, karena orang yang sepersusuan bisa menjadi mahram Akan tetapi, Rasulullah tidak bersabda,
يجب من الرضاع ما يجب من النسب
“Yang wajib berlaku pada nasab juga berlaku pada sepersusuan.”
Jika seandainya Rasulullah berkata demikian, maka wajib bagi kita bersilaturahmi kepada saudara sepersusuan. Namun ternyata Rasulullâh tidak mengatakan demikian,
Dengan demikian, maka kita kembali kepada hukum umum, yaitu kita berusaha berbuat baik kepada seluruh manusia, terlebih lagi kepada orang orang yang mempunyai hubungan sepersususan dengan kita. Namun, hal itu tidak dinamakan silaturahmi dan ayat serta hadis di atas bukan termasuk dari ayat dan hadis yang memerintahkan silaturahmi.
Jadi kesimpulannya, yang dimaksud dengan silaturahmi adalah menyambung hubungan karena nasab atau darah.
Mungkin akan timbul pertanyaan, apakah seluruh orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan kita wajib kita sambung dengan silaturahmi? Dalam hal ini ada 3 pendapat di kalangan para ulama, yaitu sebagai berikut.
Pendapat pertama
Menunit pendapat ini, yang wajib untuk disambung silaturahmi adalah kerabat-kerabat yang memiliki hubungan mahram dengan kita, baik mahram dari sisi laki-laki maupun perempuan. Contohnya:
- Orang tua; ayah merupakan mahram bagi putrinya dan ibu merupakan mahram dari putranya
- saudara laki-laki dan saudara perempuan, baik sekandung, seayahdan seibu/seayah.
- kakek dan nenek.
- cucu
- al-a’mám (Paman-paman yang merupakan saudara-saudara laki laki dari bapak)
- al-ammát (Bibi bibi yang merupakan saudari-saudari perempuandari bapak)
- akhwal (Paman-paman yang merupakan saudara-saudara laki-lakidari ibu)
- khálát (Bibi-bibi, yang merupakan saudari-saudari perempuan dari ibu)
Ini merupakan pendapat yang masyhur dari kalangan Hanafiyah dan Malikiyah Mereka berdalil dengan suatu hadis dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah bersabda,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يجمع بين المرأة وعمتها، ولا بين المرأة وحالتها
“Tidak boleh seseorang menikahi seorang perempuan dan tantenya (saudari dari bapaknya) sekaligus atau menikahi sekaligus seorang perempuan dan bibi wanita tersebut (saudari dari ibunya).”[5]
Hal ini dilarang oleh Rasulullah karena bisa memutuskan silaturahmi antara seorang wanita dengan tantenya atau bibinya. Kita tahu, hubungan antara seorang wanita dengan tantenya atau bibinya adalah hubungan mahram. Dari sini, mereka (para ulama) mengatakan, “Yang wajib disambung silaturahmi adalah yang memiliki hubungan mahram. ”
Konsekuensi dari pendapat ini adalah kalau sepupu maka tidak wajib bagi kita untuk menyambung silaturahmi dengannya karena dia bukan mahram. Ini pendapat yang cukup kuat Bagaimana kita sebagai laki-laki menyambung silaturahmi dengan sepupu perempuan sementara dia bukan mahram. Bagaimana kita kaum lelaki mengobrol dengan dia sementara bukan mahram Akan tetapi menyambung silaturahmi dengan sepupu hukumnya adalah mustahab dan tidak wajib. Hal itu dikarenakan manyambung silaturahmi dengan sepupu tidak seluas dan sebebas menyambung silaturahmi dengan kerabat yang mahram.
Oleh karenanya, kita perlu mengenal dan perlu pembahasan khusus tentang mahram ini.
Pendapat kedua
Menurut pendapat kedua, yang dimaksud rahim yang wajib kita sambung yaitu ahli waris.
Ini merupakan pendapat sebagian ahli fikih seperti pendapat al Qadhi’ lyadh dari mazhab Maliki dan An-Nawawi dari mazhab Syafi’i
Mereka berdalil dengan hadis Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu.
عن أبي هريرة، قال قال رجل يا رسول الله من أحق بحسن الصحبة قال: أمك ثم أمك ثم أمك ثم أبوك ثم أذناك أذناك
Bahwa Rasulullah tatkala ditanya oleh seseorang, “Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Maka jawaban Rasulullah, “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu, kemudian yang paling dekat denganmu yang paling dekat denganmu.” [6]
Para ulama yang berpegang dengan pendapat ini memahami bahwa kalimat “ibu dan ayah merupakan termasuk ahli waris kita. Sedangkan kalimat “yang paling dekat denganmu” adalah yang paling dekat dari sisi para ahli waris.
Namun pendapat ini terbantahkan (kurang kuat) karena 2 sebab, yaitu:
Sebab pertama, Sabda Rasulullah dengan lafal “yang lebih dekat dengan engkau” tidak dapat dipahami hanya sebagai ahli waris saja, akan tetapi lebih tepat jika dibawa kepada makna umum, yaitu “yang paling dekat sisi kekerabatannya/nasabnya denganmu.”
Rasulullah tidak menyebutkan bahwa “yang paling dekat” adalah ahli waris, sehingga tidak boleh kita khususkan sesuatu yang bersifat umum.
Sebab kedua, pendapat ini meniscayakan kita untuk tidak perlu menyambung tali silaturahmi dengan bibi atau tante, terutama dengan bibi dari pihak ibu, karena bibi bukan ahli waris kita Padahal dalam hadis Rasulullah mengatakan,
الخالة بمنزلة الأم
“Bibi saudari perempuan ibu adalah kedudukannya seperti ibu.”[7]
Menurut hadis ini, wajib bagi kita untuk menyambung silaturahmi dan berbuat baik kepada bibi sebagaimana berbuat baik kepada ibu, kendati bibi bukan termasuk ahli waris.
Oleh Karena itu, pendapat yang ke-2 ini adalah pendapat yang kurang kuat.
Referensi;
Diringkas oleh: Nurul Latifah
Dari” KITABUL JAMI’ “, penjelasan hadits-hadits adab dan akhlak. Karya Al-Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc., M.A. Ustadz Firanda Andirja Office.
[1] QS. Ar-Ra’du: 21.
[2] QS. Ar-Ra’du: 22.
[3] QS. Ar-Ra’du: 23.
[4] HR. Bukhari No. 2465.
[5] HR. Bukhari No. 5109 dan Muslim No. 1408.
[6] HR. Muslim No. 2548.
[7] HR. Bukhori No. 2699.
Baca juga artikel:
Leave a Reply