Adab-adab Dalam Shalat Berjamaah – Shalat berjamaah merupakan salah satu kewajiban kaum muslimin laki-laki baligh dan berakal, ketika mendatanganinya hendaknya seorang muslim memperhatikan adab-adab yang harus ditunaikan. Ada beberapa adab dan sunnah-sunnah jika seseorang mendatangi shalat berjamaah, diantaranya :
-
Hendaknya masuk dalam barisan (shaff) shalat jamaah dengan mengikuti keadaan imam.
Dari ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabal, keduanya mengatakan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian mendatangi shalat jamaah pada saat imam sedang melakukan gerakan apa saja, maka hendaklah ia melakukan gerakan sebagaimana yang sedang dilakukan imam.”[1]
-
Kapan seseorang dianggap mendapat satu rakaat ?
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi bersabda: “Jika kalian mendatangi shalat jamaah pada saat kami sedang sujud, maka sujudlah dan jangan dihitung (satu raka’at). Dan barangsiapa mendapati (imam) sedang ruku’, maka dia mendapat satu rakaat shalat.”[2]
-
Hendaknya tidak ruku’ sebelum sampai di shaff.
Dari Abu Bakrah bahwasanya ia mendapati Nabi sedang ruku, ia pun ruku’ sebelum sampai di shaff. Kemudian Nabi diberitahu tentang hal tersebut. Beliaupun bersabda: “Semoga Allah menambah semangatmu, tetapi engkau jangan mengulanginya.”[3]
-
Kriteria orang yang berhak menjadi imam shalat.
Dari Abu Mas’ud al-Ansharia, ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Yang berhak mengimami sebuah kaum adalah yang paling banyak hafalan al-Qur’an di antara mereka. Jika dalam bacaan sama, maka yang paling tahu tentang Sunnah. Jika dalam Sunnah sama, maka yang paling dulu berhijrah. Jika dalam hijrah sama, maka yang paling dulu masuk Islam (dalam riwayat lain: maka yang paling tua). Janganlah seseorang mengimami orang lain di dalam kekuasaannya. Dan janganlah menduduki tempat khusus di rumah orang itu kecuali dengan izinnya.”[4]
-
Bolehnya menjadikan seorang anak kecil sebagai imam apabila hafalan al-Qur’annya melebihi yang lain.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Shahabat ‘Amr bin Salamah bahwasanya beliau mengimami kaumnya padahal saat itu usia beliau baru 6 atau 7 tahun.[5]
-
Hendaknya imam meringankan shalat menyesuaikan kondisi orang-orang yang berjamaah bersamanya.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفَ فَإِنَّ مِنْهُمُ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوّلُ مَا شَاءَ.
Artinya: “Jika salah seorang di antara kalian mengimami orang-orang, maka ringankanlah. Karena di antara mereka ada yang lemah, sakit, dan orang tua. Namun jika ia shalat sendirian, maka dia boleh memperpanjang sesuka hatinya.”[6]
-
Makmum wajib mengikuti imam dan dilarang untuk mendahuluinya Dari Anas, Nabi bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبَرُوْا، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ….
Artinya: “Sesungguhnya imam diangkat untuk diikuti. Jika dia bertakbir, maka bertakbirlah. Jika dia sujud, maka sujudlah. Dan jika dia bangkit, maka bangkitlah….”[7]
-
Orang yang mukim boleh bermakmum pada orang yang safar atau sebaliknya.
Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Umar pernah mengimami penduduk Makkah shalat Zhuhur. Dia kemudian salam pada raka’at kedua, lalu berkata, ‘Sempurnakanlah shalat kalian, wahai penduduk Makkah, karena kami sedang dalam perjalanan (musafir).”[8]
-
Jika seorang musafir bermakmum di belakang orang yang mukim, maka dia harus ikut menyempurnakan shalat.
Dari Musa bin Salamah al-Hudzali, ia berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Bagaimana caraku shalat bila sedang di Makkah padahal aku tidak shalat berjama’ah dengan seorang imam ?’ Dia menjawab, ‘(Shalatlah) dua rakaat. Begitulah Sunnah Abul Qasim.
Dari Abu Mijlaza, ia berkata, “Aku bertanya pada Ibnu Umar, Apabila seorang musafir telah mendapatkan dua raka’at ketika shalat berjama’ah dengan penduduk yang mukim (menetap), maka apakah dua raka’at tadi telah mencukupinya ataukah ia harus mengikuti shalat mereka?’ Ibnu ‘Umar pun tertawa sambil menjawab, ‘Dia harus shalat sebagaimana mereka shalat.”
-
Bila seorang yang mampu berdiri bermakmum pada orang yang shalat sambil duduk, maka dia harus ikut duduk.
Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah pernah jatuh dari kuda beliau yang menyebabkan bagian kanan badan beliau lecet (terkoyak). Selang tak berapa lama lalu kami menjenguk beliau, lalu tibalah waktu shalat. Beliau lantas mengimami kami dalam keadaan duduk, dan kami pun shalat di belakang beliau sambil duduk. Ketika selesai menunaikan shalat, beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya imam ditunjuk untuk diikuti. Jika ia takbir, maka takbirlah kalian. Jika ia sujud, maka sujudlah kalian. Jika ia bangkit, maka bangkitlah kalian. Jika ia mengucap, ‘Sami’allahu liman hamidah,’ maka ucapkanlah, Rabbana wa lakal hamdu’. Dan jika ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian semua sambil duduk.“[9]
-
Apabila makmum hanya satu orang, maka imam dan makmum berdiri sejajar.
Dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam alat Isya. Setelah itu, beliau shalat empat rakaat lalu tidur. Selang tak berapa lama kemudian beliau bangun lalu shalat. Aku pun lantas berdiri di sebelah kiri beliau. Akan tetapi beliau langsung menarikku ke sebelah kanannya.[10]
-
Jika makmumnya dua orang atau lebih, maka mereka berdiri sejajar di belakang imam.
Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah hendak melaksanakan shalat. Lantas aku berdiri di sisi kiri beliau. Beliau segera memegang tanganku lalu memutarku hingga mendirikanku di samping kanannya. Tak lama kemudian Jabbar bin Shakhr datang dan langsung berdiri di sisi kiri Rasulullah. Beliau lantas memegang kedua tangan kami berdua lalu mendorong hingga mendirikan kami di belakangnya.“[11]
-
Jika makmumnya seorang wanita, maka dia berdiri di belakang imam.
Dari Anas bin Malik, ia mengatakan bahwasanya Rasulullah pernah shalat bersamanya, ibu atau bibinya. Dia berkata, “Beliau lantas mendirikanku di samping kanan beliau dan mendirikan wanita di belakang kami.”[12]
-
Wajibnya meluruskan shaff.
Dari Abu Mas’ud, ia mengatakan bahwa ketika hendak shalat, Rasulullah memegang pundak-pundak kami sambil bersabda:
اسْتَوُوا وَلَا تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ.
Artinya: “Luruskanlah ! dan janganlah kalian berselisih sehingga hati kalian ikut berselisih.”[13]
-
Cara meluruskan shaff
Dari Anas, dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, beliau bersabda:
أَقِيْمُوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي.
Artinya: “Luruskan shaff kalian ! Karena sesungguhnya aku melihat kalian dari balik punggungku.”[14]
Anas mengatakan, “Kemudian salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu kawannya, dan menempelkan kakinya dengan kaki kawannya.”
-
Shaff laki-laki dan shaff wanita
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
Artinya: “Sebaik-baik shaff laki-laki adalah yang paling depan, dan sejelek-jelek shaff mereka adalah yang paling akhir. Sedangkan sebaik-baik shaff perempuan adalah yang paling akhir, dan seburuk-buruk shaff mereka adalah yang paling depan.” (HR. Muslim)
-
Seutama-utama shaff adalah yang paling depan
Dari al-Baraa’ bin ‘Azib, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda:
إنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصُّفُوْفِ الْأُولِ.
Artinya: “Sesungguhnya Allah beserta para Malaikat-Nya bershalawat untuk orang-orang yang berada di shaff-shaff pertama.”[15]
-
Yang paling berhak berdiri di belakang imam adalah yang paling pandai dan ‘alim.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Hendaknya orang-orang yang berilmu lagi pandai berdiri di belakangku. Kemudian orang-orang yang mendekati mereka, lalu orang-orang yang mendekati mereka lagi (dalam sifat ini).“[16]
-
Makruhnya mendirikan shaff di antara tiang.
Dari Mu’awiyah bin Qurrah, dari ayahnya, ia berkata, “Dahulu pada zaman Rasulullah kami dilarang mendirikan shaff di antara tiang dan kami benar-benar diperintahkan keluar dari tiang-tiang itu.”[17]
Hukum ini hanya berlaku dalam shalat jamaah. Adapun shalat sendirian, maka tidak mengapa shalat di antara dua tiang kalau di depannya ada sutrah (pembatas).
Wallahu ta’ala a’lam.
REFERENSI:
Diambil dari buku “Amalan Sunnah Setahun Menurut Al-Qur’an dan Sunnah”, karya Ustadz Yazid bin Abdil Qadir Jawas. Penerbit: Khazanah Fawaid.
Oleh : Sahl Suyono, Staff pengajar Ponpes DQH OKU Timur.
[1] HR. At-Tarmidzi
[2] HR. Abu Dawud
[3] HR. Al-Bukhari, Abu Dawud dan An-Nasa’i
[4] HR. Muslim
[5] HR. Al-Bukhari
[6] HR. Al-Bukhari dan Muslim
[7] HR. Al-Bukhari dan Muslim
[8] HR. Abdurrazzaq
[9] Muttafaqun ‘Alaihi
[10] Muttafaqun ‘Alaihi
[11] HR. Muslim dan Abu Dawud.
[12] HR. Muslim.
[13] HR. Muslim.
[14] HR. Al-Bukhari.
[15] HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i.
[16] HR. Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi.
[17] HR. Ibnu Majah.
BACA JUGA :
Leave a Reply