Teguhkan Niatmu

teguhkan niatmu

Teguhkan Niatmu – Bismillah was shalatu was salamu’ala Rasulillah, waba’du,

Langkah pertama ini adalah fondasi yang akan menjadi landasan dari semua yang ada setelahnya. Ia merupakan titik tolak dari sebuah bangunan. Ia menjadi penentu amalan-amalanmu, menjadi pembeda antara yang Haq dan yang batil, bahkan ia menjadi penentu prioritas satu dengan lainnya dalam perjalanan hidupmu. Lalu apakah hakikat niat itu?

Yang dimaksudkan dengan niat di sini adalah suatu sebab yang mendorongmu untuk melakukan suatu hal. Dan secara bahasa niat artinya bermaksud.

Maka hendaknya engkau selalu bertanya pada dirimu sendiri, apa niatmu? Untuk siapakah amalan-amalanmu itu?

Kami akan mulai dengan mengatakan, sesungguhnya amal-amal yang dilakukan oleh manusia di dalam hidupnya terbagi menjadi dua macam.

Pertama, ibadah yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala sebagai bentuk pendekatan diri seorang hamba kepadaNya. Kalau Allah tidak mensyariatkan, niscaya amal-amal itu tidak menjadi ibadah. Dengan kata lain, amal ibadah adalah suatu hal syar’i yang bersifat khusus yang tidak dilakukan melainkan oleh orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah. Ia tidak dilakukan karena mengikuti adat kebiasaan manusia. Contoh ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan ibadah lainnya yang dimaksudkan untuk mencari ridha dan kemuliaan di sisi Allah Ta’ala.

Kedua, adat kebiasaan yang dilakukan oleh manusia semata-mata berdasarkan fitrah dan kebutuhannya terhadap dunia sebelum datangnya syariat, seperti makan, minum, nikah, transaksi jual-beli, dan bepergian.

Jenis perbuatan yang kedua ini (adat kebiasaan) tidak membutuhkan niat untuk menetapkan kebenaran dan ke bolehannya. Niat hanya dibutuhkan untuk mendapatkan pahala atas amalan tersebut.

Adapun jenis amal yang pertama (ibadah), seseorang perlu niat karena beberapa tujuan; ia harus niat untuk membedakannya dari adat kebiasaan. Seperti halnya orang yang mandi bisa jadi diniatkan untuk jinabah, maka yang demikian itu dihukumi ibadah. Mandi bisa juga diniatkan untuk menjaga kebersihan tubuh, maka ini pula ibadah. Sehingga, di sini perlu adanya niat untuk menentukan maksud dari mandi tersebut.

Kemudian, ia pun membutuhkan niat untuk mendapatkan ganjaran pahala dari amalan-amalannya. Dan ini terdiri dari dua macam niat atau maksud sekaligus: mengharap ridha Allah Ta’ala (ikhlas) dan mengharapkan ganjaran di akhirat (hisbah). Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

ومن يرد ثواب الآخرة نؤتيه منها

Artinya: “Dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala(Akhirat) itu..”[1]

Sesungguhnya langkah pertama yang harus ada di dalam perjalanan hidupmu menuju Allah adalah dengan menentukan niat, apakah yang menjadi pendorong amalan amalanmu adalah salah satu dari dua macam niat tadi, ya itu mengharap keridhaan Allah Ta’ala dan ganjaran akhirat? Atau apakah engkau beramal amalan akhirat untuk ganjaran akhirat dan beramal amalan dunia untuk ganjaran dunia?

Adapun derajat yang pertama, yakni orang-orang yang ibadahnya semata-mata mengharapkan ridha Allah dan ganjaran akhirat adalah derajatnya para nabi dan orang orang shalih. Derajat orang-orang yang memiliki tekad kuat dari kaum mukminin. Mereka mengetahui bahwa dunia adalah fana dan tidak kekal. Dunia hanya sebagai tempat persinggahan atau tempat lewat belaka, bukan untuk tempat bermukim. Maka, mereka pun memberikan seluruh hidup mereka hanya untuk Allah Ta’ala Baik ibadahnya maupun adat kebiasaannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah. Tuhan seluruh alam.”[2]

Inilah makna ayat tersebut. Tapi, ini tidak lantas seorang mukmin itu tidak boleh beramal untuk dunia. Namun, yang benar adalah seorang mukmin itu selain beramal untuk akhirat. juga beramal untuk dunia, dan ke semuanya itu dimaksudkan hanya untuk Allah semata. Sehingga dia shalat hanyalah untuk Allah, dia puasa hanyalah untuk Allah, dia zakat hanyalah untuk Allah, dan dia haji hanyalah untuk Allah, sebagaimana halnya dia makan dan minum hanyalah untuk Allah Pun berdagangnya hanyalah untuk Allah, beramal dengan amalan duniawi lainnya hanyalah untuk Allah. Bahkan, hubungan badan dengan istrinya akan mendapatkan ganjaran pahala jika diniatkan hanya untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala.

Dari Abu Dzar bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

وفي بضع أحدكم صدقة, قالوا: يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر؟ قال: أرأيتم لو وضعها في حرام أكان عليه فيها وزر فكذلك إذا وضعها في الخلال كان له أجزا.

Artinya: “… Bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun ter dapat sedekah.” Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jika salah seorang di antara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala?’ Beliau men jawab, “Bagaimana sekiranya kalian menyalurkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu juga sebaliknya, bila kalian menyalurkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala.”[3]

Dan dalam sebuah riwayat Imam Ahmad,

أفتحتسبون بالشر ولا تحتسبون بالخير

Artinya: “Apakah kalian memperhitungkan perbuatan yang buruk namun tidak memperhitungkan yang baik?”[4]

Dan pada akhirnya, matinya pun hanya untuk Allah Ta’ala. Yakni, mati sebagai syahid di jalan Allah atau mati dalam keadaan mengharap kepada Allah sehingga menjadi berpahala.

Inilah kehidupan seorang mukmin dari golongan derajat yang tertinggi, hidup dan waktu mereka hanya untuk Allah Ta’ala. Bangun dan tidur mereka semuanya berpa hala. Demi Allah, inilah panen yang sesungguhnya. Mereka dapat memanfaatkan setiap detik dari umurnya dan tidak sedikit pun menyia-nyiakannya. Bagaimana tidak, semen tara Allah Ta’ala telah memudahkan jalan-jalan tertentu dan menerima amalan dari pelakunya meski sekadar ber niat walaupun tidak sempat beramal. Sehingga Muadz bin Jabal pun berkata mengenai hal ini, “Aku berharap pahala dari tidurku sebagaimana berharap pahala dari shalat malamku.”[5]

Yakni, aku mengharapkan kebaikan dan pahala dari Allah melalui tidurku, karena aku melakukannya untuk membantuku agar giat dalam ketaatan dan ibadah serta menunaikan hak-hak, sebagaimana aku mengharapkan ke baikan dan pahala dari amalan-amalan kebaikan tatkala aku terbangun.

Dalam proses memperbaiki niat dan merealisasikan (mencapai) kedudukan tinggi itu, orang-orang shalih rela berlelah diri dan manusia pun semangat berkompetisi. Hingga ada salah seorang yang shalih berkata, “Hal yang paling berat di dunia ini adalah ikhlas. Betapa beratnya aku berusaha untuk menyingkirkan riya’ dari hatiku, seakan- akan riya itu tumbuh di dalam hatiku dengan warna (dan bentuk) yang berbeda.”[6]

Ja’far bin Hayyan Rahimahullah berkata, “Inti dari amalan-amalan ini ialah niat, karena dengan niat seseorang dapat mencapai derajat yang tidak dapat dicapai dengan amalnya.”[7]

Zubaid Rahimahullah berkata, “Aku senang jika segala sesuatu yang aku lakukan didasari dengan niat, walaupun pada makan dan tidurku.”[8]

Abu Hurairah Radhiyallahuanhu pernah berkata, “Berlindunglah kepada Allah dari khusyu’ yang nifaq.” Ada yang bertanya, “Apakah itu?” Ia menjawab, “Jasad terlihat khu syu’ namun hatinya tidak demikian.”[9]

Adapun derajat kedua adalah derajatnya mayoritas manusia. Yaitu seseorang yang melakukan ibadah yang telah Allah wajibkan, dan bersamaan dengan itu ia pun beramal untuk amalan dunia dengan mengharap karunia Allah be rupa rezeki-Nya, namun niatnya hanyalah sekadar untuk memperbaiki kehidupan duniawinya.

Jika engkau termasuk golongan yang kedua, maka tidak mengapa jika engkau mau memenuhi beberapa syarat berikut ini.

Pertama: engkau harus seimbang.

Sesungguhnya menyibukkan diri dengan perkara duniawi sering kali menjadikan seseorang lalai dari perkara akhirat. Batas minimal dari amalan akhirat yang setiap orang harus melaksanakannya adalah mengerjakan hal-hal yang fardhu dan meninggalkan hal-hal yang terlarang. Dengan demikian engkau telah mewujudkan jalan keselama tan dirimu. Allah Ta’ala berfirman,

يأيها الذين ءامنوا لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذكر الله ومن يفعل ذلك فأوليك هم الخاسرون

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)

Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata:  “Dzikrullah (mengingat Allah); mencakup semua perintah Allah seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan perintah-perintah Allah lain nya.” [10]

Dan merupakan bagian dari keseimbangan yang diha rapkan ialah agar engkau tidak terlena dengan harta hing ga lalai dari memperhatikan anak dan orang-orang yang memiliki hak atas dirimu, seperti kedua orangtua dan ke rabat, karena setiap individu memiliki haknya tersendiri, maka tunaikanlah hak kepada setiap pemiliknya.

Kedua: engkau harus melandasi segala kegiatan dunia wimu di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Janganlah engkau melakukan hal-hal yang diharamkan; janganlah engkau membantu pekerjaan yang diharamkan;  janganlah engkau menghasilkan hartamu dari pekerjaan yang diharamkan, karena itu semua dapat meringankan timbangan kebaikanmu hingga menjadikanmu orang yang merugi di akhirat nanti. Di samping itu,  pekerjaan yang haram merupakan sebab tertolaknya sedekah dan zakat. Allah tidak akan menerima itu semua dari pelakunya. Dan pekerjaan haram juga merupakan sebab tidak terkabulnya doa. Cukuplah bagi kita akan ancaman ini. Jika maknanya adalah terputusnya hubungan dengan Allah, maka antara pemakan barang haram dengan hewan ternak tidak ada bedanya. Mereka sama-sama Allah beri rezeki, hanya saja hewan ternak tidak dihisab, sementara pemakan barang haram tertawan dengan dosanya, dan terputus hubungan nya dengan Allah Ta’ala.

Nabi Shallallahu Alaihi wasallam bersabda:

إن الله تعالى طيب لا يقبل إلا طيبا… ثم ذكر الرجل يطيل الشفر أشعث أغبر ثم يمد يديه إلى السماء يا رب يا رب ومطعمه حرام ومشربه حرام وملبسه حرام وغدي بالحرام فأنى يستجاب له؟

Artinya: “Sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak akan menerima se suatu melainkan yang baik pula…” Kemudian Nabi Shal lallahu Alaihi wa Sallam menceritakan tentang seseorang yang telah melakukan perjalanan panjang, kusut rambut nya, kemudian mengangkat kedua tangannya dan menga takan, “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, maka nannya dari yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan perutnya diisi dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?”[11]

Ketiga: waspadai jangan sampai hartamu menjadi penolong kaum kafir atau menjadi sarana untuk memerangi Islam.

Hal ini bisa terjadi dalam beberapa bentuk, di antaranya:

  1. Lebih mengutamakan barang dagangan yang dipro duksi oleh kaum kafir dan tidak adanya dukungan ter hadap barang produksi kaum muslimin.
  2. Menggunakan pekerja dari kalangan kaum kafir dan enggan untuk menggunakan pekerja dari kalangan kaum muslimin.
  3. Memperjualbelikan barang dagangan yang membantu memperbaiki ekonomi musuh yang kafir.

Ini adalah perintah yang terarah dari Sang pembuat syariat. Allah Yang Maha Bijaksana. Di antara contohnya, Abu Musa Al-As’ary pernah mempekerjakan seorang juru tulis Nashrani, lalu beliau datang (bersama juru tulis Nash rani itu) menemui Umar Al-Faruq Radhiyallahu Anhu Umar pun merasa takjub dengan kuatnya hafalan juru tulis tersebut. Hingga beliau berkata, “Katakanlah kepada juru tulismu agar membacakan kami sebuah kitab-kala itu me reka sedang berada di dalam masjid- Maka dikatakan ke pada beliau. ‘Sesungguhnya dia adalah seorang Nashrani yang tidak boleh masuk masjid. Lalu Umar pun marah dan menghardiknya, “Apakah engkau tidak menemukan seorang juru tulis dari kalangan kaum muslimin? Jangan lah engkau muliakan kaum kafir sementara Allah telah menghinakan mereka; janganlah engkau dekatkan mereka sementara Allah telah menjauhkan mereka; dan jangan lah engkau beri mereka kepercayaan sementara Allah tidak mempercayai mereka. [12]

Keempat: bersemangatlah mempelajari hukum-hukum syariat yang berhubungan erat dengan bidangmu.

Hendaknya engkau sering bersilaturahmi dengan para ulama dan penuntut ilmu, serta sering bertanya kepada mereka tentang pekerjaan yang hendak engkau lakukan, karena mereka banyak mengetahui hal-hal yang tidak engkau ketahui. Bertanyalah sebelum engkau melakukan suatu hal yang sebenarnya terlarang sehingga engkau harus menghentikan pekerjaan dalam keadaan merugi. Padahal, bertanya sebelum melakukan suatu hal kepada mereka adalah suatu hal yang sama sekali tidak mengeluarkan biaya apapun.

 

Sumber:

Kiat Sukses Membentuk Karakter dan Jatidiri, penulis Ahmad bin Shalih Az-Zahrani, Cetakan pertama, September 2015, penerbit Darus Sunnah

Diringkas oleh: Lailatul Fadilah (Pengajar Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur)

 

Footnotes:

[1] QS. Ali-Imran: 145

[2] QS. Al-An’am: 162

[3] Asalnya dari HR. Muslim di dalam Kitab Az-Zakah, “Bab Bayan Anna Ism Ash-Shadaqah Yaqa”ala Anwa’ Muta’addidah min Al-Birr,”dari Abu Dzar

[4]Musnad Ahmad (5/154, 167)

[5] HR. Al-Bukhari di dalam Kitab Al-Maghazi

[6] Madarij As-Salikin (2/96)

[7] Az-Zuhud Karya Ibn Al-Mubarak, (hal. 63)

[8] Idem (hal. 64)

[9] Syahrus As-Sunnah: 14/327

[10] Tafsir Al-Qurthuby (18/84)

[11] HR. Muslim di dalam Kitab Kitab Az-Zakah

[12] As-Sunnah Al-Kubra, Karya Al-Baihaqi (10/216)

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.