Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Suami Adalah Pemimpin Bukan Penguasa

suami adalah pemimpin bukan penguasa-1

Suami Adalah Pemimpin Bukan Penguasa – Segala puji bagi Allah Rabbal ‘Alamin. Segala puji bagi Allah yang telah mengumpulkan kita di tempat yang baik ini dengan izin Allah laksana satu hati dalam tubuh satu orang, sehingga kita menjadi saudara-saudara yang saling mencintai. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik, serta menganugerahkan kemudahan kepada kita untuk menuntut ilmu (syar’i) , (yang)  telah menjadikan kita termasuk orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang berjalan mengikuti jalan ilmu.

Sebelum segala sesuatu dimulai, saya berwasiat kepada diri saya sendiri dan kepada hadirin semua untuk bertakwa kepada Allah. Sebab, takwa kepada Allah merupakan himpunan segala kebaikan. Taqwa merupakan pangkal kebenaran hakiki bagi setiap muslim, khususnya bagi setiap da’i. Taqwa merupakan bekal yang sejati bagi setiap muslim.

Suami Diposisikan Sebagai Pemimpin Rumah Tangga

Jika selama ini dikatakan bahwa suami adalah kepala rumah tangga, yang berarti dialah pemimpin rumah tangga, pemimpin istri dan anaknya, maka pemahaman seperti ini bukanlah pemahaman yang salah. Bahkan inilah yang selaras dengan firman- Nya:

الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. An-Nisa’: 34)

Bahkan Allah menegaskan bahwa kedudukan istri di bawah suaminya. Allah sebutkan hal ini dalam kisah Nabi Nuh dan Luth.

ضرب الله مثلا للذين كفروا امرأة نوح وامراة لوط كانتا تحت عبدين من عبادنا صالحين

Artinya: “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya. Berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami”.(QS. At Tahrim: 10)

Ini hampir menjadi kesepakatan seluruh bangsa, muslim maupun kafir. Kepemimpinan ini pun bersifat tunggal, tidak ganda. Karena bagaimanapun cocoknya suami istri, kalau masing-masing menempatkan dirinya sebagai pemimpin, akan terjadi ketimpangan dalam pengaturan kehidupan rumah tangga.

Karenanya, Allah memperingatkan agar kaum wanita jangan sampai iri dengan kelebihan yang diberikan pada kaum laki-laki, sebagaimana laki-laki jangan sampai iri dengan keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada kaum wanita.

Perhatikan firman Allah :

ولا تتمنوا ما فضل الله به، بعضكم على بعض للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن وسئلوا الله من فضله إنّ الله كان بكل شئ عليـما

Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih -banyak dari sebagian yang lain. (Karena bagi laki laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nisa’: 32)

Dengan apa laki-laki menjadi pemimpin?

Kepemimpinan dalam rumah tangga yang diberikan oleh Allah kepada kaum suami bukannya tanpa sebab. Allah menjelaskan dengan sangat gamblang, kenapa laki-laki yang menjadi pemimpin rumah tangga. Yang paling inti adalah:

Pertama: Akal laki-laki lebih mendominasi sebagaimana perasaan wanita lebih dominan. Harus diakui karena memang inilah fakta, bahwa cara berpikir laki-laki banyak dikendalikan oleh akal sehatnya. Ini sangat berbeda dengan kaum wanita yang secara umum perasaannya lebih menominasi dibanding dengan akal sehatnya. Terutama saat ada pengaruh luar yang sangat menghanyutkan perasaan, baik sedih, gembira, marah atau lainnya.

Karena itulah Allah dan Rasul-Nya tidak pernah memberikan keputusan masalah-masalah besar di tangan wanita. Dalam urusan ketatanegaraan, wanita tidak boleh menjadi pemimpin negara, tidak boleh pula jadi hakim dalam dunia peradilan.

Begitu pula dalam rumah tangga, masalah masalah besar seperti menikahkan, cerai, rujuk berada di tangan laki-laki, bukan wanita.

Inilah makna sabda Rasulullah yang mengatakan bahwa wanita kurang akalnya saat beliau menasihati para jamaah wanita dalam shalat ‘Id, “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah, karena saya melihat kalian mayoritas penduduk neraka.” Para wanita pun bertanya alasannya. Rosululloh menjawab, “Kalian banyak melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami. Aku tidak melihat ath-Thalaq: 7) wanita yang kurang akal dan agamanya yang dapat menghilangkan kemauan keras lelaki yang tegas tang hak istri atas suami, maka beliau menjawab: daripada seorang di antara kamu.” Mereka bertanya lagi, “Apa kekurangan agama dan akal kami, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bukankah kesaksian seorang wanita itu setengah kesaksian seorang laki- kekurangan akalnya. Dan bukankah apabila haid, makai pakaian.” (Hasan, HR. Ahmad, Abu Dawud. Wanita tidak melakukan shalat juga tidak berpuasa?” Al-Misykah: 3259) “Ya”, jawab mereka. Rasulullah bersabda, “Itulah yang dimaksud kekurangan agamanya.” (HR. Al- Bukhari: 298 Muslim: 80)

أن تطعمها إذا طعمت وتكسوها إذا اكتسيت

Artinya: “Engkau memberinya makanan jika engkau makan, laki?” “Ya”, jawab mereka. Beliau bersabda, “Itulah dan engkau memberinya pakaian jika engkau memakai pakaian”. (shahih, HR. Abu Dawud (lihat shahih Abu Dawud (2142))

Syaikh Masyhur bin Hasan al-Salman menjelas kan, “Maknanya, perasaan mereka lebih dominan dibanding akal mereka. Namun tidak menutup ke- mungkinan adanya wanita yang akalnya lebih pin- tar dibanding dengan laki-laki. Sebelum 550 tahun yang lalu, di Libya, orang-orang menjadikan wanita

Yang bernama Wikoya sebagai rujukan dalam masalah fiqih, sehingga saat menghadapi masalah yang rumit mereka berkata, Pergilah kalian kepada Wikoyah karena pembalut kepala dia lebih baik dari menutup kepala kepala kita.” Fatwa Syaikh masyhur 1/44-syamilah). Allah dalam surat an-nisa ayat 34 di atas. Ini memang hukum umum, bahwa yang berkewajiban memberikan nafkah adalah para suami, bukan para istri. Meskipun seandainya istri ikut membantu suami mencari nafkah merupakan suatu kebajikan yang sangat mulia sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat wanita.

Suami memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

لينفق ذو سعة من سعته، ومن قدر عليه رزقه، فلينفق ممآءاتهالله، لا يكلف الله نفسا إلا مآاتها، سيجعل الله بعد عسر يسرا

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7)

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang hak istri atau suami, maka beliau menjawab: “Engkau memberinya makanan jika engkau makan, dan engkau memberinya pakaian jika engkau memakai pakaian.” (Hasan, HR. Ahmad, Abu Dawud, Al_Miskah: 3259″)

Kebalikannya, istri tidak wajib menafkahi suaminya, kecuali dia ingin membantu dan bersedekah pada keluarganya, maka itu sebuah kebajikan yang sangat utama bahkan sedekahnya akan bernilai lebih. Dalam lanjutan hadits nasihat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada kaum wanita saat salat ied tapi kalau shalat telah usai pergilah Zainab istri Ibnu Mas’ud ke rumah Rasulullah, menanyakan tentang keinginannya bersedekah yang dikomentari oleh suaminya bahwa suami dan anak-anaknya lah yang paling berhak disedekahi. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda Ibnu Mas’ud benar, suami dan anak-anakmu lah yang paling berhak engkau sedekahi. “(HR. Al_Bukhori Muslim) ”

Ketiga: kelebihan yang Allah berikan pada laki-laki dibanding wanita. Selain masalah akal dan perasaan, harus diakui bahwa secara umum laki-laki memiliki banyak kelebihan dibanding wanita. Kelebihan fisik, bebasnya bergerak, kecepatan dalam mengerjakan sesuatu maupun yang lainnya. Sebagaimana kaum wanita juga memiliki kelebihan yang tidak dimiliki laki-laki, seperti kesabaran dalam mengandung, menyusui mendidik dan sebagainya sedangkan kepemimpinan dalam rumah tangga menuntut orang yang memiliki fisik kuat karena harus mengurus semuanya, harus leluasa dalam bergerak dan banyak di luar rumah untuk banyak urusan.

Anda pemimpin, Bukan penguasa.

Wahai para suami kamu seolah Allah menjadikanmu sebagai kaum, Pahamilah bahwa itu berarti pemimpin yang mengurusi, mengayomi memperhatikan dan bertanggung jawab kepada keluarganya. Anda bukanlah seorang penguasa yang bersikap diktator kecil dalam rumah tanggamu. Ketahuilah, bahwa istrimu adalah partner anda dalam memimpin rumah tangga, bukan budak dan bukan bawahan Anda.

Lihatlah kamu bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mencontohkan kita hal ini. Beliau tidak sok jadi pemimpin kaum bahkan beliau menerima nasihat istrinya, Khodijah saat pertama kali menerima wahyu, ketika istri beliau mengajaknya untuk menanyakan hal ini kepada Waraqah bin Naufal.

Begitu kaum pulang saat peristiwa hudaibiyah saat kaum muslimin ditahan untuk masuk Mekah untuk meneruskan manasik dan terjadilah peristiwa perjanjian damai yang masyhur dalam sejarah.

Setelah selesai urusan penulisan perjanjian hudaibiyah, Rasulullah memerintahkan para sahabat menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut. Ternyata, tidak ada suatu sahabat yang bergerak, sampai Rasulullah mengulangi perintahnya tiga kali. Tetapi tidak ada seorangpun yang bergerak. Maka Rasulullah menemui Ummu Salamah dan menceritakan kejadian tersebut. Ummu Salamah berkata, Wahai Rasulullah Apakah engkau ingin mereka melakukannya keluarlah, jangan bicara pada seorang pun sampai engkau sembelih binatangmu, lalu mencukur rambutmu. Rasulullah pun keluar dan tidak berbicara pada seorang pun sampai menyembelih binatang dan memanggil tukang cukur, beliau lalu mencukur rambutnya. Kalah para sahabat melihat itu, barulah mereka bergerak untuk menyembelih binatang mereka dan sebagian mereka mencukur yang lain. Sehingga hampir saja mereka saling membunuh sesamanya karena perasaan gundah yang menyelimuti mereka.

Lihatlah, Bagaimana Rasulullah meminta pendapat istrinya dan menerimanya. Padahal beliau adalah seorang laki-laki yang sempurna segala tindakannya di bawah bimbingan wahyu. Lalu bagaimana dengan yang lainnya?

Dan cermatilah bagaimana Rasulullah sebagai seorang pemimpin, sangat lembut terhadap istrinya dan penuh pengertian. Suatu saat beliau pernah mengajak lomba lari istrinya, apa Rasulullah pernah dijadikan pijakan istrinya, Sofia untuk menaiki unta. Saat beliau masuk rumah, ternyata tidak ada sesuatu maupun makanan, beliau malah berkata kalau begitu kamu saya puasa. “Lihatlah, Bagaimana beliau tidak pernah mencela makanan yang disuguhkan oleh istrinya. Bahkan beliau membantu mengurusi pekerjaan rumah tangganya.

Ibrahim bin Aswad bertanya kepada Aisyah, “Apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah saat bersama keluarganya?” Aisyah menjawab,” beliau mengerjakan pekerjaan keluarganya. Apabila waktu salat, beliau keluar rumah untuk salat. “(HR. Al_ Bukhori)

Saya tutup pembahasan ini dengan definisi dari Rasulullah tentang pemimpin rumah tangga yang baik. Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Sebaik_baik kalian adalah orang yang paling baik pada keluarganya, dan saya adalah orang yang baik pada keluargaku. ” (HR. At_Tirmidzi dan Ad_Darimi, Ash_Shaihah:285)

 

REFERENSI:

Ustadz Ahmad Sabiq, Majalah Al-Mawaddah Muharram 1435 H, Penerbit Lajnah Da’wah Ma’had al-Furqon al-Islami,

Peringkas: Anas Arlaya (Staf & Pengajar Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.