Resep Nabi Dalam Mendisiplinkan Anak

resep nabi disiplin anak

Resep Pertama : Menanamkan Akidah Sebagai Pondasi

Sesungguhnya modal yang paling utama dalam mendidik anak adalah menanamkan akidah pada diri anak sejak usia dini. Akidah yang ditanamkan sejak anak masih belia akan mengakar kuat di hati anak, sehingga kelak akan menjadi fondasi yang kokoh dalam membentuk pribadi anak tatkala beranjak dewasa. Sebaliknya, mengabaikan Pendidikan akidah terhadap anak sama halnya orang tua mendidik anak tanpa disertai fondasi keimanan yang kuat, sehingga suatu saat anak akan merasakan ketidaksiapan menghadapi berbagai persoalan kehidupan, terutama Ketika ia telah dewasa.

Tugas terbesar bagi seorang kepala keluarga adalah menanamkan akidah yang lurus kepada setiap anggota keluarganya. Membimbing dan membina istri beserta anak-anaknya, mengarahkan mereka ke jalan tauhid dengan memurnikan penghambaan dan peribadahan kepada Allah تعالى. Tugas ini menuntut kepala keluarga bersungguh-sungguh dalam menunaikannya, karena pertanggungjawaban di sisi Allah akan diminta kelak di hari perhitungan.

Mengingat pentingnya penanaman akidah, tak mengherankan jika seorang yang shalih Bernama Luqman Al-Hakim ketika pertama kali menasihati anaknya adalah perkara akidah. Luqman berkata kepada anaknya. “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

Seruan pertama yang disampaikan oleh para rasul Allah juga mengenai pelurusan dan pemurnian akidah, yaitu memerintahkan umatnya untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Allah. Setiap rasul selalu mengucapkan seruan pada awal dakwahmya. “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia.” (Lihat Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 59,65,73 dan 85).

Pernyataan tersebut diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syuha’ib dan juga seluruh rasul. Selama tiga belas tahun di mekah, Rasulullah mengajak manusia kepada tauhid, karena hal tersebut merupakan fondasi utama bagi bangunan bernama Islam. Beliau memulai dengan dakwah akidah, setalah itu beliau mengajak perintah agama yang lainnya. Demikian halnya pendidikan dalam keluarga, pelajaran pertama yang perlu ditanamkan kepada anggota keluarga adalah akidah yang lurus dan benar.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengingatkan kepada setiap orang tua melalui sabda beliau:

كلّ مولود يولد على الفطرة  فأبواه يهوّدانه أو ينصّرانه أو يمجّسانه

Artinya: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), dan orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi”. (Diriwayatkan oleh Bukhari, muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan lainnya).

Ya, anak kita lahir ke dunia dalam keadaan fitrah (Islam). Oleh karena itu, orang tua berkewajiban mendidik anaknya agar tetap dalam keadaan fitrah (Islam). Pendidikan untuk menjadikan anak tetap dalam keadaan fitrahnya harus dimulai dengan Pendidikan akidah, dan pokok dari pendidikan akidah adalah mengenalkan Allah تعالى. Selanjutnya, orang tua dituntut memberi pemahaman agama (terutama akidah) yang lebih dalam lagi kepada anak.

Jangan pernah berpikir bahwa anak kita masih kecil, sehingga kita menunda pengajaran akidah kepadanya. Ingatlah, bahwa Rasulullah tidak pernah mengecualikan anak-anak dari target dakwah beliau. Beliau berangkat menemui Ali bin Abi Thalib yang Ketika itu usianya belum genap sepuluh tahun. Beliau mengajaknya untuk beriman, dan Ali memenuhi ajakan beliau.

Hal yang paling pertama dalam rangka mengajarkan dan menanamkan akidah yang lurus kepada anak adalah dengan memperkenalkan dan mengajarkan kalimat tauhid. Usahakan hal itu dilakukan sedini mungkin semenjak anak masih dalam usia kanak-kanak. Mengajarkan kalimat tauhid kepada anak-anak dalam usia belia sama artinya dengan membuka sebuah pintu untuk memasuki Pendidikan akidah. Mengajarkan tauhid merupakan buah Pendidikan yang ditanamkan Nabi kepada anak-anak yang sedang tumbuh agar menjadi generasi muda muslim yang senantiasa istiqomah dalam memperjuangkan agama Allah.

Abdurrazaq meriwayatkan bahwa para sahabat رضي الله عنه mengajarkan kepada anak-anak mereka kalimat ”Laa ilaha illallah” sebgai kalimat yang pertama mereka ucapkan. Kalimat tersebut juga menjadi kalimat yang paling akrab bagi lisan anak-anak dari para sahabat, sehingga tertanam keyakinan yang teguh di dalam hatinya untuk mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun dan siapa pun.

Ibnu Qayyim رضي الله عنه di dalam Ahkamul Maulud menasihati, ”Di awal waktu Ketika anak-anak mulai bisa berbicara, hendaklah mendiktekan kepada mereka kalimat  ”Laa ilaha illallah”, Muhammad Rasulullah,’ dan hendaknya sesuatu yang di dengar pertama kali oleh telinga mereka adalah Laa ilaha illallah dan mentauhidkan-Nya. Juga diajarkan kepada mereka bahwa Allah bersemayam di singgasana-Nya yang senantiasa melihat dan mendengar perkataan mereka, senantiasa Bersama dengan mereka di mana pun mereka berada.”

Demikian seharusnya orang tua muslim dalam mendidik anaknya. Karakter anak yang hendak dibentuk seharusnya dilandasi dengan penanaman akidah yang kokoh pada dirinya. Pendisiplinan akan lebih terarah manakala sikap disiplin itu dibangun melalui bingkai akidah yang baik. Alangkah sangat percuma manakala orang tua bersusah payah mendidik anaknya agar menjadi pribadi yang berdisiplin tinggi, akan tetapi mereka lupa memberikan fondasi yang kokoh bagi anak, yaitu akidah yang lurus.

Kedisiplinan seorang  anak yang dibentuk dengan fondasi akidah yang lurus dan kokoh akan  menjadi pemicu kedisiplinan-kedisiplinan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya kedisiplinan dalam menunaikan perintah Allah, seperti melaksanakan shalat fardhu dengan berjama’ah di masjid bagi laki-laki, atau shalat tepat waktu di rumah bagi perempuan. Bermodal akidah yang kokoh, insyaAllah anak akan mampu istiqomah dengan berbagai ketentuan syariat, sehingga juga akan menjadikannya mampu konsisten dalam memenuhi berbagai ketentuan atau peraturan yang ada dalam bermuamalah kepada sesama manusia.

Tips Mengenal Allah kepada anak sejak dini    

Orang tua tentu mengharapkan anaknya memiliki akidah yang lurus dan kokoh pada dirinya, sehingga dapat menjadi fondasi yang utama bagi kehidupannya. Namun tidak sedikit orang tua yang merasa kebingungan dalam menanamkan akidah kepada anak sejak buah hatinya masih berusia belia. Berikut ini beberapa tips yang mungkin dapat dicoba oleh orang tua untuk menanamkan akidah pada diri anak:

  1. Hendaknya mengajarkan kalimat tauhid (Laa ilaha illallah, Muhammad Rasulullah) kepada anak sedini mungkin, bahkan Ketika mereka masih berusia balita. Ajarkan pula makna kalimat tauhid supaya ia bisa’ sedikit’ mengerti, tidak sekedar menirukan saja. Biasakan anak mendengar kalimat tauhid, kemudian ajaklah ia untuk menirukannya. Bila anak telah mampu mengucapkan kalimat tauhid, anjurkan lah kepadanya untuk mengucapkan berulang-ulang di setiap waktu dan kesempatan. Dengan demikian, di dalam hatinya akan tersimpan file khusus Bernama “kalimat tauhid” yang akan senantiasa terpatri hingga anak tumbuh menjadi dewasa.
  2. Menerangkan kepada si anak bahwa Allah itu adalah Rabb yang telah menciptakan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam semesta. Perlu diperhatikan bahwa dalam rangka memberikan penjelasan kepada anak harus dengan menggunakan Bahasa anak dan menyesuaikan dengan daya nalar anak, sehingga anak tidak akan merasa bingung. Kalau pun anak masih terlalu kecil untuk menerima penjelasan akidah, tidak apa-apa, karena setidaknya penjelasan itu bisa terekam oleh anak, sehingga suatu saat kita bisa menerangkan Kembali dan anak akan lebih mudah menerimanya.
  3. Membuat perumpamaan mengenai keberadaan Allah. Contohnya, orang tua dapat membuat perumpamaan bahwa ada makanan karena ada yang membuatnya maka ada ayah, ibu dan Ananda, tentu juga karena ada yang membuatnya. Siapa yang membuat kita ? yang membuat kita adalah Allah تعالى.
  4. Mengajak anak berpikir sederhana mengenai Allah. Ajaklah anak Anda untuk keluar rumah sejenak. Lihatlah langit dan ajaklah anak untuk turut serta menatap langit. Kemudian katakanlah kepadanya, ”Mengapa langit yang ada di atas tidak jatuh ke bumi?” Mendengar pertanyaan itu, anak akan terangsang untuk berpikir mencari jawabnya, maka ia akan mengembalikan pertanyaan itu kepada Anda dengan maksud agar Anda yang menjawabnya. Saat itulah merupakan kesempatan bagi Anda untuk menjelaskan, bahwa langit tidak jatuh karena ada yang menjaganya, yaitu Allah.
  5. Ajarkan kisah-kisah islami kepada anak. Kisah yang sangat bagus untuk memperkenalkan Allah kepada anak dan sangat layak untuk diajarkan kepada anak adalah kisah Nabi Ibrahim mencari Ra Menerangkan melalui cerita akan membuat anak lebih antusias mendengarkan dan lebih mudah dipahami oleh anak.
  6. Sering-seringlah orang tua menyebut nama Allah dalam setiap kesempatan. Misalnya, Ketika seorang ibu hendak mengerjakan shalat, maka ia bisa mengatakan kepada anaknya, ”Nak, ibu shalat dulu, ya. Orang yang rajin shalat akan disayang oleh Allah.” Terkesan sederhana, tetapi telah menanamkan pada memori anak sebuah nama yang terekam, “Allah”.
  7. Ajarkan kalimat thayyibah beserta artinya, terutama pada momen tertentu. Misalnya, Ketika anak mau makan, biasakan untuk mengajak anak membaca,”Bismillahirrahmanirrahim” (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Selesai, makan, ucapkanlah, ”Alhamdulillah” (Segala puji bagi Allah). Atau Ketika melihat pemandangan yang indah, ajak anak untuk segera mengucapkan, ”Subhanallah” (Maha suci Allah). Dengan begitu akan membuat asma Allah terpatri dalam diri anak.

Resep kedua : Membinasakan Anak Rutin Beribadah

Kedisiplinan berikutnya yang perlu ditanamkan pada diri anak adalah kedisiplinan dalam masalah ibadah. Hal ini merupakan perkara yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan. Ibarat dua sisi mata uang, maka akidah menjadu salah satu sisinya, sedangkan ibadah menjadi sisi yang lainnya. Keduanya merupakan sepasang perkara yang harus diajarkan kepada anak sejak dini, sehingga anak memiliki pemahaman yang benar dan lurus, serta dapat dipraktikkan sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Mendisiplinkan anak dalam masalah ibadah dimaksudkan agar anak tidak meremehkan ibadah kepada Allah. sebagai orang tua, kita tidak boleh menilai bahwa diri kita rajin sholat, kemudian merasa yakin kalua anak kita akan mengikuti jejak orang tuanya, tanpa orang tua bersungguh-sungguh dalam mendidiknya. tidak! anak akan mengikuti jejak kebaikan orang tua jika orang tua mendidiknya untuk berbuat seperti dirinya.

Ingatlah, Allah sendiri telah menyampaikan kepada kita mengenai adanya generasi yang sholih, bahkan mereka adalah para nabi, kemudian generasi sholeh tersebut diganti oleh generasi penerus yang sangat buruk akidah dan ibadahnya.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman :

أولئك الّذين أنعم الله عليهم مّن النّبيّن من ذرّيّة ءادم وممّن حملنا مع نوح ومن ذرّيّة إبراهيم و إسراءيل وممّن هدينا واجتبينآ إذا تتلى عليهم ءايت الرحمن خرّوا سجّدًا وبكيًا, فخلف من بعدهم خلف أضاعوا الصّلوة واتّبعوا الشّهوات فسوف يلقون غيّا إلا من تاب وءامن وعمل صلحًا فأولئك يدخلون الجنّة ولا يظلمون شيئا

Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi dari keturunan Adam, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah kami beri petunjuk dan telah kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. Maka datanglah sesudah mereka, pengganti(yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka  kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun.” (Al-Quran Surat Maryam (19) : 58-60)

Penuturan dalam al-qur’an surat Maryam membicarakan orang-orang shalih, terpilih, bahkan nabi-nabi dengan sikap patuhnya yang amat tinggi. mereka bersujud dan menangis Ketika dibacakan ayat Allah. namun selanjutnya, disambung dengan ayat yang memberitakan sifat-sifat generasi pengganti yang jauh berbeda, bahkan berlawanan dari sifat-sifat kepatuhan yang tinggi itu, yakni sikap generasi penerus yang menyia-nyiakan sholat dan mengumbar hawa nafsu.

Ibnu katsir menjelaskan, generasi yang adha’ush shalat itu, kalau mereka sudah menyia-nyiakan shalat, maka pasti mereka lebih menyia-nyiakan kewajiban-kewajiban lainnya. karena sholat itu adalah tiang agama dan pilarnya, dan sebaik-baik perbuatan hamba dan akan tambah lagi (keburukan mereka) dengan mengikuti syahwat dunia dan kelezatannya, senang dengan kehidupan dan kenikmatan dunia. maka mereka itu akan menemui kesesatan, artinya kerugian di hari kiamat.

Sebagai orang tua, tentunya kita menegaskan bahwa putusnya tali Islam yang terakhir adalah sholat. selagi sholat itu masih ditegakkan, maka putuslah tali islam keseluruhannya, karena sholat adalah tali yang terakhir dalam Islam, tidak mengherankan jika Allah menyebut tingkah adha’ush shalah (menyia-nyiakan dan meninggalkan sholat) dalam ayat tersebut diucapkan pada urutan lebih dulu dibanding ittiba’usy syahwat (menuruti syahwat), sekalipun tingkah menurut syahwat itu sudah merupakan puncak kebejatan moral manusia. Dengan demikian, bisa kita pahami, betapa memuncaknya nilai jelek orang-orng yang meninggalkan sholat, karena puncak kebejatan moral berupa menuruti syahwat pun masih pada urutan belakang dibanding tingkah meninggalkan sholat. wallahu a’lam.

Sebagai orang tua, tentunya kita tidak menginginkan anak-anak kita menjadi generasi yang meninggalkan ibadah, terutama shalat. oleh katena itu, perhatian dan Pendidikan mengenai hal  itu perlu kita lakukan dengan serius terhadap anak. selama ini, sudahkah kita mengajarkan anak-anak kita untuk shalat dengan baik dan benar? Sudakan kita selalu menanyakan, mengingatkan dan mengontrol anak-anak kita setiap waktu shalat, agar mereka tidak lalai mengerjakan sholat? Sayangnya, Sebagian dari kita terlalu cuek, bahkan kepada keluarga sendiri, padahal shalat merupan ibadah yang paling mulia disisi Allah yang harus kita perhatikan secara serius.

Sejujurnya saya sangat sedih melihat fenomena sekarang ini, dimana anak-anak yang kemudian berkembang menjadi remaja hingga dewasa,  sangat marak yang secara terang-terangan  meninggalkan shalatnya. padahal pada masa masih usia sekolah dasar, ia rajin menghadiri taman Pendidikan al-qur’an, namun karena tidak ada Pendidikan dan kontrol dari orang tua, mereka dengan leluasa meninggalkan kewajibannya beribadah kepada Allah.  jika sudah demikian yang terjadi, pantaskah hanya anak yang disalahkan, padahal orang tua memiliki andil terhadap kerusakan anaknya?

Kewajiban orang tua adalah memerintahkan anaknya untuk shalat. perintah ini tentunya dapat dilaksanakan manakala terlebih dahulu orang  mengajarkan anaknya mengenai bagaimana beribadah yang benar. setelah ia mengajarkan, maka kewajiban berikutnya adalah memerintahkan anak nya untuk shalat dan mengontrolnya, anak perlu disiplinkan dalam ibadahnya, meskipun setiap kali masuk waktu sholat orang tua harus memberi perintah kepada anaknya untuk mengerjakan shalat. Allah Ta’ala berfirman:

وأمر أهلك با لصّلوة واصطبر عليها لا نسئلك رزقا نحن نرزقك والعقبة للتّقوى

Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. kami tidak meminta rezeki kepadamu,Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha [20]: 132)

Mendisiplinkan anak dalam perkara ibadah merupakan kewajiban yang tidak boleh diabaikan oleh orang tua. kontrol uang sungguh-sungguh akan membantu anak untuk melakukan kebiasaan baik dalam beribadah, misalnya beribadah tepat waktunya. kalaupun anak menolak dalam hal ini, maka orang tua diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan yang lebih tegas terhadap penolakan anaknya, karena sholat merupakan ibadah yang tidak boleh ditawar-tawar. shalat harus dilakukan dengan disiplin, sesuai waktunya, sesuai rukunnya dan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.

Secara syar’i kewajiban mendisiplinkan anak untuk shalat sejak usia tujuh tahun. dan anak dapat dikenai sanksi bila telah berusia sepuluh tahun dan tidak mau mengerjakan shalat. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

مروا أولادكم با لصّلاة وهم أبناء سبع واضربوهم عليها وهم أبناء عشر وفرّقوا بينهم في المضاجع

Artinya: “Perintahkanlah anakmu supaya shalat Ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (bila tidak mau shalat) Ketika berumur sepuluh tahu, serta pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.”(Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Hakim dan Baihaqi).

Inilah konsep disiplin dalam ibadah yang benar-benar ditekankan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam  khususnya terhadap shalat. Hal ini di terapkan karena apabila anak mengabaikannya, maka yang diabaikan adalah shalat yang merupakan tiang agama serta pilar(rukun) yang mendasar. Orang tua tidak boleh bosan atau lalai dalam memerintahkan atau memperingatkan anaknya untuk mengerjakan shalat, karena hal ini merupakan kewajiban orang tua terhadap anaknya.

Pukulan yang di bolehkan hanya sekedar pelajaran terhadap anak laksana garam bagi makanan, sebagaimana garam itu apabila di taburkan sedikit akan mengubah makanan dan akan membuatnya enak, maka demikian pulalah dengan hukuman pukulan. Jika pukulan itu diberikan ala kadarnya, maka ia akan membawa manfaat. Itulah sebenarnya yang di tuntut dalam proses Pendidikan. Sebab yang menjadi tujuan- bagaimana yang kami sebutkan-bahwa pukulan itu bersifat darurat atau terpaksa demi melakukan proses Pendidikan. Bukan sanksi atau hukuman, apabila untuk melegakan rasa panas dan amarah orang tua atau pendidik. (Muhammad Suwaid, mendidik Anak Bersama Nabi, pustaka Arafah, Solo, Cet. V, 2006, hal. 545.

Demikian halnya Ketika orang tua memukul anaknya karena mengabaikan shalat, maka hendaknya orang tua memukul bukan bertujuan untuk menghukum anak, tetapi menjadikan sebagai sarana untuk mendidik anak agar ia merubah kesalahannya.  Jika orang tus memukul anak dengan tujuan menghukum anak, maka apabila anaka belum melaksanakan shalatnya, sementara orang tua menanyakan, anak akan lebih memilih berbohong dengan mengatakan bahwa dirinya sudah shalat demi menghindari hukuman itu.

Bila anak belum berusia sepuluh tahun, yang dilakukan orang tua adalah memberikan bimbingan dan nasihat kepada anak secara cermat dan sabar, sehingga anak akan tergugah hatinya untuk melaksanakan shalat. Rasullallah shallallahu’alaihi wasallam tidak memerintahkan memukul anak sebelum berusia sepuluh tahun atas pengabaiannya terhadap ibadah shalat. Lebih lagi dalam masalah kehidupan, perilaku atau kesalahan anak yang kepentingan dan kedudukannya disisi Allah tidak seimbang dengan kedudukan shalat, tentu tidak diperkenankan pula orang tua ‘main pukul’ terhadap anaknya.

Tips Mengajak Anak Shalat Sejak Belia

Mengajak anak shalat sejak usia dini bisa di lakukan oleh orang tua, diantaranya dengan beberapa Langkah berikut ini:

  1. Beri teladan. Orang tua hendaknya memberikan keteladanan bagi anaknya dalam masalah menjaga shalatnya. Bagi ayahnya, biasakan shalat di masjid, namun tidak ada salahnya sebelum berangkat ke masjid, biasakan untuk berpamitan dengan anak, atau sesekali ajaklah anak untuk pergi ke masjid. Adapun ibu, dia bisa mencontohkan secara langsung bagaimana shalat dilakukan , yaitu dengan cara meletakan anak tidak jauh dari tempat shalat ibu, dengan harapan anak akan melihat setiap Gerakan ibunya. Keteladanan orang tua menjadi bekal utama bagi anak dalam meniru setiap tingkah laku orang-orang di sekitarnya.
  2. Ajarkan tata cara shalat. Ajarkan anak Anda untuk mengenal gerakan-gerakan shalat secara bertahap. Mula-mula Anda bisa mengajarkan bagaimana bertakbir dan ajaklah anak untuk menirukannya. Proses pembelajaran bagi anak yang masih belia hendaknya di lakukan dengan suasana yang rileks dan penuh dengan kecerian, sehingga anak dapat menikmatinya . tidak perlu memaksakan, tetapi biarkan anak berkembang secara bertahap.
  3. Jelaskan mengapa harus shalat. Bisa jadi di dalam diri seorang anak ada sebuah pertanyaan kritis. ”megapa harus shalat”? kerena itu, tidak ada salah jika orang tua memberikan penjelasan yang sederhana mengapa manusia harus shalat. Anda isa menjelaskan kepada anak bahwa shalat adalah perintah Allah. Shalat juga merupakan bentuk rasa syukur kita kepada Allah.
  4. Ajak shalat Bersama. Ajaklah anak untuk shalat Bersama dengan orang tua. Ibu bisa mengajak belitanya untuk ikut shalat, baik saat shalat wajib ataupun shalat sunnah. Begitu pula dengan ayah, bila anak sudah bisa di kondisikan, ia bias diajak untuk shalat berjammah di masjid.
  5. Belikan perlengkapan shalat yang menarik. Salah satu merangsang anak belita agar mengikuti keinginan orang tua adalah dengan memberikan sesuatu yang menarik perhatiannya. Orang tua dianjurkan memberikan anak perlengkapan shalat yang menarik, mulai dari sajadah (alas shalat), mukena atau sarung dan peci. Sekarang ini banyak perlengkapan shalat untuk anak yang bermotif menarik. Namun demikian, hendaknya tidak memilih motif berupa gambar makhluk bernyawa, seperti manusia atau hewan.

pujilah anak Ketika memakai perlengkapan shalat dan biarkan sejenak Ketika ia sedang menikmati perlengkapan shalat yang dikenakannya. Lalu arahkanlah untuk turut serta mengerjakan shalat dengan cara mengikuti setiap gerakan shalat orang tuanya.

  1. Mengajak kemasjid. Mengajak anak ke masjid merupakan Langkah yang tepat dalam membiasakan anak untuk berjamaah. Syaratnya, anak tersebut bisa di kondisikan atau paling tidak sekitar tiga tahun ke atas. Hal ini di maksudkan agar kehadiran anak di dalam masjid tidak mengganggu penyelenggaraan shalat jamaah, baik karena tangisan, teriakan atau ulahnya.

 

Diringkas oleh : Dewi Sartika pengajar di ponpes darul Qur’an wal Hadits OKU Timur Sumsel

Judul : Resep Nabi Dalam Mendisiplinkan Anak

Judul Buku : Gantungkan Cambuk dirumahmu

Cetakan pertama : Juli 2012

Karya  : Abu ilyas Mu’afa

Penerbit  : Nabawi Publising

Editor : Muhammad Albani

Penulis: Asadullah Al-Faruq

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.