
Prinsip-Prinsip Memuliakan Ilmu
Sesungguhnya kadar ilmu yang deperoleh hamba itu tergantung pada kadar pengagungan hatinya terhadap ilmu. Barang siapa yang hatinya dipenuhi penghormatan dan pengagungan kepada ilmu, maka akan layak untuk menjadi wadah ilmu. Semakin berkurang kadar pengagungan kepada ilmu, maka akan semakin berkurang pula kadar ilmu yang didapatkan hamba, bahkan ada hati yang kosong sama sekali dari ilmu.
Barang siapa memuliakan ilmu maka cahaya ilmu aka menyinarinya dan beragam jenis ilmu akan mendatanginya. Keinginannya hanya terfokus untuk mendapatkan ilmu serta tidak merasakan kenikmatan kecuali saat memikirkan ilmu.
Al-Hafizh Abu Muhammad Ad-Darimiy rahimahullah seakan telah mengisyaratkan hal tersebut saat mengakhiri Bab Ilmu dalam kitab beliau Al-Musnad Al-Jami’ dengan sub pembahasan tentang “Memuliakan Ilmu”. Hal yang paling bisa membantu untuk menumbuhkan pengagungan terhadap ilmu adalah dengan memahami kaidah-kaidah pemuliaan ilmu yaitu prinsip-prinsip dasar yang menjadi barometer pengagungan hati terhadap ilmu. Berikut merupakan prinsip-prinsip dalam memuliakan ilmu tersebut:
Prinsip Pertama Membersihkan Wadah Ilmu
Wadah ilmu adalah hati. Ilmu akan masuk ke dalam hati ketika hati tersebut bersih. Semakin bersih hati, ia akan semakin siap untuk dimasuki ilmu. Kesucian hati dapat diukur dengan dua hal pokok yaitu bersihnya hati dari kotoran syubhat dan bersihnya hati dari kotoran syahwat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللًّهَ لَايَنظُرُ إِلَى صُوَرِكُم وَأَموَالِكُم، وَلَكِن يَنظُرُ إِلَى قُلُوبِكُم وَأَعمَالِكُم.
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian. Namun Dia melihat hati dan amalan kalian”. (HR. Muslim).
Barang siapa membersihkan hatinya, niscaya ilmu akan menempati hati tersebut, dan barang siapa yang tidak menghilangkan kotoran hatinya, niscaya ilmu akan pergi dari hatinya. Berkata Sahl bin Abdullah bahwasanya, “Hati yang masih dipenuhi hal-hal yang dibenci Allah akan sulit dimasuki cahaya”.
Prinsip Kedua Mengikhlaskan Niat Dalam Belajar
Mengikhlaskan niat dalam beramal adalah pondasi dan tangga agar amalan tersebut diterima. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلًّا لِيَعبُدُوا اللًّهَ مُخلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ.
Artinya:
“Mereka hanya diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas menaatin-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama”. QS. Al-Bayyinah (97): 5.
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنّمَا الأَعمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَلِكُلِّ امرِئٍّ مَانَوَى.
Artinya:
“Sesungguhnya Amal itu tergantung niatnya. Setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai niatnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Abu Bakr Al-Murrudziy rahimahullah mengisahkan, “Aku pernah mendengar seseorang berbicara dengan Imam Ahmad tentang kejujuran dan keikhlasan. Imam Ahmad pun berkomentar, “Berkat dua hal itulah para ulama salaf dahulu meraih kedudukan yang tinggi”. Kadar ilmu yang didapatkan oleh seseorang itu tergantung kadar keikhlasannya.
Keikhlasan dalam belajar agama dibangun di atas empat pondasi. Jika terpenuhi semuanya maka niatnya dianggap ikhlas:
Pertama: Berniat untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya.
Kedua : Berniat untuk menghilangkan kebodohan dari orang lain.
Ketiga: Berniat menghidupkan ilmu agama dan menjaganya supaya tidak sirna.
Keempat: Berniat mengamalkan ilmu tersebut.
Dahulu para salaf rahimahumullah senantiasa merasa khawatir belum ikhlas dalam proses mereka belajar agama. Sehingga mereka memilih tidak mengklaim keikhlasan, sebagai bentuk kehati-hatian. Imam Ahmad pernah ditanya, “Apakah engkau belajar ilmu agama semata karena Allah?”. Beliau menjawab, “Ikhlas itu berat. Namun Allah menumbuhkan di dalam hatiku kecintaan terhadap ilmu. Sehingga akupun senantiasa mempelajarinya”.
Sufyan Ats-Tsauriy rahimahullah berkata, “Sesuatu yang paling sulit untuk aku perbaiki adalah niatku, sebab ia selalu berubah-ubah’. Bahkan Sulaiman Al-Hasyimiy rahimahullah berkata, “Terkadang saat akan menyampaikan sebuah hadits, aku sudah berupaya menghadirkan niat. Namun ketika telah menyampaikan separuh hadits, tiba-tiba niatku berubah. Sehingga untuk menyampaikan satu hadits saja bisa membutuhkan niat berkali-kali”.
Prinsip Ketiga Serius Belajar
Serius menjalankan sesuatu ditandai dengan tiga hal yaitu bersemangat dalam menggapai sesuatu yang bermanfaat, memohon bantuan kepada Allah untuk dapat meraihnya dan tidak bersikap malas dalam upaya menggapainya. Tiga hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:
اِحرِص عَلَى مَايَنفَعُكَ، وَاستَعِن بِاللَّهِ وَلَاتَعجِز.
Artinya:
“Bersemangatlah dalam menggapai hal yang bermanfaat untukmu. Mohonlah bantuan kepada Allah dan janganlah malas”. (HR. Muslim).
Al-Junaid rahimahullah menjelaskan, “Seseorang yang mengejar sesuatu dengan semangar dan kejujuran, pasti akan mendapatkannya. Jika tidak semuanya berhasil ia raih, paling tidak ia akan meraih sebagiannya.”
Di antara hal yang dapat mendongkrak semangat adalah membaca sejarah para ulama serta mengenali bagaimana kesungguhan mereka. Saat Ahmad bin Hanbal masih kecil, beliau biasa keluar rumah sebelum subuh untuk berangkat menghadiri majelis ilmu para ulama. Karena merasa kasihan, ibunya pun memegangi bajunya seraya berkata,”Tunggu hingga adzan berkumandang, atau lebih pagi seidkit”.
Al-Khatib Al-Baghdadiy rahimahullah pernah mengkhatamkan Shahih Bukhari hanya dalam tiga pertemuan di hadapan guru beliau yaitu Ismail Al-Hiriy. Dua pertemuan masing-masing dimulai setelah Maghrib hingga Subuh dan pertemuan ketiga dimulai sejak waktu Dhuha hingga Maghrib lalu dilanjutkan setelah Maghrib hingga terbit fajar.
Abu Muhammad Ibnu At-Tabban di masa awal menuntut ilmu, biasa belajar semalam suntuk hingga ibunya merasa kasihan dan melarangnya membaca di malam hari. Beliau pun menyiasati dengan menyembunyikan lampu miliknya di bawah ember besar seolah-olah dia telah tertidur. Apabila ibunya telah tertidur beliau mengeluarkan lampunya lalu belajar kembali.
Prinsip Keempat Memprioritaskan Mempelajari Al-Qur’an dan Hadits
Seluruh ilmu yang bermanfaat bersumber dari firman Allah ta’ala dan sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Adapun ilmu-ilmu lainnya maka hanya ada dua kemungkinan yaitu ilu itu dibutuhkan sebagai alat bantu untuk memahami Al-Qur’an dan Hadits maka perlu dipelajari sesuai kadar kebutuhan atau ilmu tersebut tidak memiliki hubungan apa-apa dengan AlQur’an dan Hadits sehingga manakala seseorang tidak mengetahuinya maka tidak masalah.
Hammad bin Zaid berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ayyub As-Sikhtiyaniy, “Lebih banyak mana ilmu hari ini atau ilmu di masa lalu? Beliau menjawab, “Hari ini yang lebih banyak adalah pembahasan tentang sesuatu yang kurang bermanfaat. Adapun Ilmu maka lebih banyak di masa lalu.”
Prinsip Kelima Mengikuti Metode Yang Benar Dalam Belajar
Ilmu memiliki jalan untuk menggapainya. Barang siapa tidak menapakinya maka ia akan gagal meraih tujuannya. Kalaupun ia mendapatkan manfaat maka hanya sedikit sekali. Tidak sebanding dengan keletihan yang telah dicurahkan.
Muhammad Murtadha Az-Zabidiy pengarang kitab Taj Al-’Arus berkata dalam bait-bait syairnya yang berjudul Alfiyyah As-Sanad, “Sekalipun seseorang hidup seribu tahun, ia tidak akan menggapai tujuannya secara sempurna. Maka pelajarilah inti setiap ilmu. Caranya dengan menghafal matan yang menghimpun pendapat terkuat dalam setiap permasalahan. Engkau pelajari matan tersebut dari guru yang mumpuni ilmunya dan bagus cara mengajarnya”.
Metode yang benar dalam belajar agama itu terbagi menjadi dua tahapan. Barang siapa yang mengikuti tahapan tersebut maka dia telah memuliakan ilmu sebab dia mencari ilmu melalui jalan yang benar.
Tahapan pertama adalah menghafal matan yang berisikan pendapat yang terkuat. Barang siapa yang mengira bisa memperoleh ilmu tanpa menghapal, maka sejatinya ia sedang mengejar sesuatu yang mustahil. Matan yang dimaksud adalah matan yang mu’tamad yaitu yang diakui dan diterima oleh para ahli di bidang studi tersebut.
Tahapan kedua adalah mempelajari matan tersebut di bawah bimbingan orang yang mumpuni dan cakap dalam mengajarkannya. Guru ini bertugas menjelaskan kandungan matan tersebut dengan memenuhi dua kriteria yaitu guru tersebut memumpuni yakni menguasai disiplin ilmu tersebut. Diketahui asal-usul proses belajarnya hingga menguasai bidang tersebut sehingga memiliki kemampuan maksimal di dalamnya. Kemudian guru tersebut cakap dalam mengajarkannya. Hal ini diukur dari eklayakan beliau untuk dijadikan suri tauladan, bisa dicontoh penampilan dan perilakunya. Juga diukur dari pengetahuan beliau dalam metodologi mengajar sehingga beliau terampil dalam mengajari murid-muridnya. Mengetahui apa yang bermanfaat untuk mereka dan apa yang membahayakan bagi mereka.
Prinsip Keenam Meragamkan Ilmu Yang Dipelajari dan Memperioritaskan yang Terpenting
Dalam Shaid Al-Khathir, Ibnu Al-Jauziy rahimahullah berkata, “Menguasai berbagai macam ilmu adalah sebuah hal yang istimewa”.
Muhammad Ibu Mani’ rahimahullah dalam Irsyad Ath-Thullab menjelaskan, ‘Tidak layak bagi orang yang mulia meninggalkan sebuah ilmu yang bermanfaat. Jika ia merasa memiliki kemampuan untuk mempelajarinya. Terlebih manakala bisa dijadikan alat bantu untuk memahami Kitab dan Sunnah. Tidak pantas baginya untuk mencela ilmu yang tidak diketahuinya atau merendahkan orang yang mengetahui ilmu tersebut. Sungguh perilaku tersebut adalah sebuah kekurangan dan kehinaan”.
Meragamkan ilmu yang dipelajari akan bermanfaat apabila memenuhi dua syarat berikut:
Pertama: Mendahulukan ilmu yang paling penting sebelum yang penting. Yaitu Ilmu yang kita butuhkan agar bisa menjalankan dengan benar tugas ibadah kepada Allah.
Kedua: Hendaklah di awal masa belajar berusaha menguasai ikhtisar (ringkasan) dari setiap disiplin ilmu.
Jika semua ringkasan ilmu bermanfaat tersebut telah dikuasai, barulah melanjutkan langkah berikutnya. Yaitu melihat manakah disiplin ilmu yang ia gemari dan ia merasa memiliki kemampuan untuk medalaminya. Boleh secara bertahadap dari satu disiplin ilmu saja atau boleh juga lebih dari itu. Hindari disiplin ilmu lainnya, sebelum tuntas mempelajari ilmu tadi terlebih dahulu. Namun jika ada seseorang yang merasa memiliki kemampuan untuk mempelajari lebih dari dua ilmu secara bersamaan, maka diperbolehkan. Orang tersebut mendapat pengecualian dari kebanyakan orang lainnya.
Prinsip Ketujuh Bersegera Mulai Belajar dan Memaksimalkan Masa Muda
Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah bertutur, “Belajar di masa kecil bagaikan mengukir di atas batu”. Awetnya ilmu yang dipelajari di masa kecil seperti awetnya ukiran di atas batu. Barang siapa memanfaatkan masa mudanya niscaya ia akan meraih cita-citanya. Sehingga di masa tuanya ia akan bahagia dengan kenikmatan yang dirasakannya.
Perlu dipahami bahwa orang yang sudah tua pun perlu untuk belajar bukan berarti jika sudah tua maka tidak perlu belajar lagi. Justru banyak sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang mulai belajar di usia senja mereka. Sebagaimana diterangkan oleh Al-Bukhari dalam buku beliau Ash-Shahih, Kitab Ilmu.
Al-Mawardiy dalam kitab Adab Ad-Dunya Wa Ad-Din menjelaskan sebab beratnya belajar di masa tua, antara lain karena banyaknya kesibukan, dominasi halangan dan bertambahnya jalinan hubungan sosial. Barang siapa yang mampu mengatasi hal-hal tersebut niscaya ia akan meraih ilmu.
(Bagian 1) Bersambung ….
REFERENSI:
Sumber: Buku Memuliakan Ilmu Karya Syaikh Shalih Bin Abdullah Al-’Ushaimiy (Penerjemah: Abdullah Zaen). 2020.
Diringkas Oleh: Muhammad Yurbi Muslih (Pengajar Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur).
Ajukan Pertanyaan atau Komentar