Mengambil Pelajaran dari Tafsir Surah Al-Kafirun
Salah satu ayat pendek yang sering kita dengar adalah surat al-kafirun, begitu juga karena ayat ini disunnahkan untuk dibaca ketika sholat witir di rakaat kedua. Pada kesempatan kali ini kita akan mengambil beberapa faedah atau pelajaran dari surat yang mulia ini.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman;
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِين (6)
“Artinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (1) Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai orang-orang kafir!’ (2) Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, (3) dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, (4) dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (5) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. (6) Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 1-6)
Kandungan Surah Al-Kafirun
Diantara kandungan surah ini adalah sebagai penetapan tauhid ibadah dan melepaskan diri dari kesyirikan, serta perbedaan yang jelas antara Islam dan kesyirikan (Tafsir Center for Quranic Studies, 2015).
Ustadz (Andirja, 2020) mengatakan, nama lain surah ini adalah surah al-Ikhlas, sama seperti surah al-ikhlas yang diawali dengan ayat qul huwallahu ahad, karena kedua surah ini mengandung makna berlepas diri dari kesyirikan. Perbedaannya adalah surah al-Kafirun berlepas diri dari kesyirikan dalam hal amalan, sedangkan al-Ikhlas berlepas diri dari kesyirikan dalam hal keilmuan (tauhid) tentang keesaan Allah.
Sebab Turunnya Surah
Disebutkan dalam buku tafsir, surah ini turun berkenaan dengan usaha kaum musyrikin quraisy yang hendak menggagalkan dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan cara bernegoisasi dengan beliau. Imam (Al-Qurthuby, 1964) menjelaskan dalam kitab tafsirnya, ia mengatakan, “Ibnu Ishaq menyebutkan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata, ‘Sebab diturunkan surah ini adalah bahwasannya Walid bin al-Mughirah, al-’Ash bin Wail, al-Aswad bin Abdil Muthallib, Umayyah bin Khalaf mereka menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Hai Muhammad, kemarilah! Kami akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu menyembah apa yang kami sembah, dan kita bersatu dalam setiap urusan kita, jika apa yang engkau bawa lebih baik dari yang ada pada kami, maka kami telah ikut serta dan mengambil bagian darinya, dan apabila apa yang ada pada kami lebih baik dari apa yang engkau bawa, maka engkau telah ikut serta dan juga mengambil bagian darinya.’ maka Allah menurunkan surah ‘qul yaa ayyuhal kaafirun’.” Imam (Ath-Thobari, 2000) membawakan redaksi lain yang juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa kaum musyrikin quraisy menjanjikan harta yang banyak, wanita manapun yang diinginkan, serta kedudukan yang tinggi agar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berhenti menghina tuhan mereka dan menyebutkan kejelekan-kejelekannya, serta agar beliau menyembah tuhan mereka, laata dan ‘uzza selama setahun, dan mereka akan menyembah tuhannya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam selama setahun. Maka datanglah wahyu dari lauhul mahfuzh surah ‘qul yaa ayyuhal kaafirun’ dan juga ayat;
قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ
Artinya: “Katakanlah, “Maka apakah kalian menyuruhku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang bodoh?.” (QS. Az-Zumar: 64)
Penjelasan Ayat:
Maka firman Allah ta’ala, “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir!’” mencakup semua orang kafir yang ada di dunia ini, akan tetapi dalam ayat ini, ketika itu ditujukan kepada orang-orang kafir Quraisy, hal ini karena kebodohan mereka mengajak Rasulullah untuk bersatu dalam peribadatan, sama-sama menyembah tuhan mereka selama satu tahun dan menyembah tuhan Rasulullah selama satu tahun (Ar-Rifai, 2011).
Firman Allah, “Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah,” ini berkaitan dengan keadaan masa lalu hingga sekarang, yakni Rasulullah tidak pernah menyembah kepada berhala semasa hidupnya. “Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah,” begitu orang-orang musyrikin Quraisy pada saat itu tidak meyembah Allah yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
(Al-Baghowi, 1999) berkata, “lafaz ‘maa a’budu’ disini bermakna man a’budu. Sedangkan (Firanda, 2020) menyebutkan perkataan Imam Al-Qurthubi bahwa ada perbedaan pendapat mengenai tafsiran makna maa pada ayat ini dan ayat sebelumnya. Pada ayat kedua, maa bermakna maa al-maushulah sehingga maknanya adalah “Aku tidak pernah menyembah apa yang kalian sembah.”, sementara pendapat kedua mengatakan bahwa lafaz maa pada ayat ini dan ayat sebelumnya bermakna maa al-mashdariyah sehingga maknanya, “Aku tidak akan menyembah sebagaimana cara beribadah kalian.” Hal ini dikarenakan, meskipun mereka mengaku menyembah Allah tetapi cara beribadah mereka dilakukan dengan cara kesyirikan, yaitu dengan menyekutukan Allah, menjadikan sesembahan selain-Nya, dan ini adalah cara beribadah yang salah.
Firman Allah, “dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.” Imam (Al-Qurthubi, 1964) menyebutkan beberapa pendapat tentang makna kedua ayat ini, dikatakan bahwa makna kedua ayat ini berkaitan dengan masa depan. Artinya, Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam tidak akan pernah menyembah apa yang telah mereka sembah baik sesembahan mereka saat itu, maupun sesembahan mereka yang akan datang. Pendapat lainya, bahwa ayat ini berisi peniadaan ibadah atau bentuk berlepas diri dari Rasulullah kepada apa yang telah mereka sembah di masa lalu, kemudian berkata “dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah” disini terdapat pengulangan ayat secara lafaz tetapi tidak secara makna. Sebagaimana yang disebutkan (Ar-Rifai, 2001) tentang makna ayat yang ke lima ini yaitu, kamu tidak akan mengikuti perintah-perintah dan syariat-syariat Allah dalam beribadah kepada-Nya, bahkan kalian telah mengadakan suatu perkara sesuai dengan hawa nafsu kalian. Sebagaimana firman-Nya, “Tidaklah yang mereka ikuti melain prasangka belaka dan apa yang diminati hawa nafsu. Padahal, sesungguhnya telah datang petunjuk dari Tuhan mereka.” (QS. An-Najm: 23).
Firman Allah, “Untukmu Agamamu, dan untukku agamaku.” Menurut Imam (Al-Qurthubi, 1964), pada ayat ini bermakna ancaman, sebagaimana firman Allah لَنا أَعْمالُنا وَلَكُمْ أَعْمالُكُمْ “bagi kami amal-amal kami, dan bagimu amal-amalmu” (QS. Al-Qoshos: 55). Yaitu, bahwa kami kalian ridho dengan agama kalian, dan maka kami telah ridho dengan agama kami. Dan ayat ini sebelum turunnya perintah berperang, maka dikatakan ayat ini telah di-mansukh oleh ayat saif (perintah untuk berperang), juga dikatakan bahwa seluruh surat ini di-mansukh, dikatakan juga bahwa tidak ada yang di-mansukh pada surat ini, karena surat ini berupa khabar (pengabaran).
Ayat ini merupakan dalil bahwasannya tidak akan pernah bersatu agama tauhid dan kesyirikan, serta tidak mungkin pula disamakan. Ayat ini menjadi bantahan tegas terhadap orang-orang liberal yang menyatakan bahwa semua agama itu sama (Andirja, 2020).
Penutup
Surah Al-Kafirun merupakan diantara surah yang memiliki keutamaan khusus untuk dibaca ketika shalat, Nabi bersabda, “Sebaik-baik surah yang dibaca ketika dua rakaat qabliyah subuh adalah qul huwallahu ahad (surah al-ikhlas) dan qul yaa ayyuhal kafirun (surah al-kafirun).” (HR. Ibnu Khuzaimah). Dalam hadis lainnya juga disebutkan tentang betapa seringnya belia membaca surat ini, hal ini menunjukkan betapa pentingnya surah ini, dan karena surah ini berisi bara’atu minasy syirk atau pernyataan berlepas diri dari kesyirikan. Demikian tafsir ringkas surah Al-Kafirun, wa billahit taufiq.
Disusun oleh: Sahl Suyono Abu Luqman (Pengajar Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)
Daftar Pustaka
- Al-Baghowi, A.M. (1999). Ma’alimut Tanziil fi Tafsiril Qur’an. Beirut: Dar Ihya At-Turots Al-’Arobi.
- Al-Qhurthubi, M.A. (1964). Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an (2nd). Kairo: Darul Kitab Al-Mishriyah.
- Andirja, Firanda. (2020). Tafsir Juz ‘Amma (3rd). Jakarta: Ustadz Firanda Andirja Official.
- Ar-Rifai, M.N. (2011). Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Budi Permadi, Penerjemah.). Jakarta: Gema Insani.
- At-Thobari, M.J. (2000). Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an. Muasssasah Risalah.
- Tafsir Center for Qur’anic Studies. (2015). Al-Mukhtashor fi Tafsiril Qur’anil Karim (3rd). Riyadh: Author.
Baca juga artikel:
Leave a Reply