Lebih Dekat dengan Akad Salam-Pada zaman milenial ini kita tidak lagi asing dengan kata dropshipping. Maraknya marketplace membuat dropshipping menjamur. Sebelum kita membahas masalah dropshipping, terlebih dahulu kita mengenal akad salam.
Akad salam[1] disebut juga akad salaf. Keduanya adalah kata yang sinonim sebagaimana keterangan para ahli bahasa. Hanya saja, kata salaf bisa digunakan untuk menyebut utang. (az-Zahir fi Gharib al-Alfadz, al-Azhari, hlm. 145).
Disebut salam karena pembeli melakukan taslim (menyerahkan) uang pembayaran di majlis akad, sementara disebut salaf yang artinya terdahulu, karena uang pembayaran didahulukan. Selanjutnya mengerucut, salam lebih banyak digunakan oleh orang Hijaz (wilayah sekitar Mekah dan Madinah), sementara salaf lebih banyak digunakan oleh orang Iraq. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 11/41).
Hanya saja, diriwayatkan bahwa Ibnu Umar lebih memilih istilah salaf, dan kurang suka jika disebut salam. Karena kata salam turunan dari islam, yang artinya tunduk dan taat kepada Allah. Sehingga selayaknya kata ini hanya digunakan untuk hal yang ada kaitannya dengan khusyu’ dan ketaatan. (Mukhtarat min Nushus Haditsiyah, Muhammad Ferkus, hlm. 247)
Tetapi istilah salam lebih tepat untuk menyebut akad ini. Karena kata salaf bisa juga digunakan untuk menyebut utang.
Pengertian Salam secara Istilah
Ada banyak pengertian salam secara istilah yang disampaikan oleh para ulama. Perbedaan itu didasari perbedaan sudut pandang dalam memahami akad salam. Salah satunya definisi akad salam oleh an-Nawawi,
عقد على موصوف بذمة مؤجل بثمن مقبوض بمجلس العقد
Terjemahannya: “Transaksi untuk barang yang tidak ada di majlis yang menjadi tanggungan penjual untuk diserahkan secara tertunda dengan pembayaran yang telah diserahkan di majlis akad”. (Syarh Sahih Muslim an-Nawawi, 11/41 dan al-Inshaf: 5/66).
Dalam akad salam, pembeli dinamakan al-muslim atau al-muslif atau Rabbus Salam. Sedangkan penjual dinamakan al-muslam Ilaihi atau al-muslaf Ilaihi. Sementara pembayaran kontan dinamakan ra’su malis salam (modal salam) dan barang yang dipesan yaitu beras dinamakan al-muslam fihi atau dainus salam (hutang salam). (Fiqh Sunah, 3/122).
Hukum Akad Salam
Akad salam hukumnya dibolehkan berdasarkan dalil al-Qur”an, sunah dan ijma’.
Dalil dari al-Quran adalah firman Allah Subhanahu Wata’ala,
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَينٍ إِلَىٰٓ أَجَل مُّسَمّى فَٱكتُبُوهُۚ …
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya … “ (QS. al-Baqarah: 282)
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma mengatakan,
أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى قد أحله الله تعالى في كتابه وأذن فيه
Artinya: Saya bersaksi bahwa akad salaf yang penyerahannya tertunda sampai batas waktu tertentu telah dihalalkan dan diizinkan olch Allah Ta’ala dalam kitab-Nya. (Diriwayatkan as-Syafii dalam al-Umm, 3/93)
Dalil dari hadits, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
Bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, masyarakat telah melakukan akad salam untuk buah-buahan selama setahun atau dua tahun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan,
من سلف في شىء ففى كيل معلوم ووزن معلوم, إلى أجل معلوم
Artinya: “Siapa yang melakukan akad salam untuk objek tertentu, hendaknya dilakukan dengan takaran yang tertentu, timbangan tertentu, sampai batas waktu yang diketahui.” (Muttafaq ‘alaih).
Dan ulama sepakat bahwa akad salam hukumnya dibolehkan, selain riwayat dari Said bin al-Musayib dan Abu Ubaidah – putra Ibnu Mas’ud – yang menyatakan bahwa transaksi salam hukumnya dilarang. (al-Ijma’, Ibnul Mundzir, hlm. 106 dan al-Muhalla, Ibn Hazm, 9/106).
Dan pendapat jumhur ulama dalam hal ini lebih mendekati kebenaran.
Penjual Salam tidak Harus Memiliki Barang
Ketika akad salam dilakukan, penjual tidak harus memiliki barang. Bahkan ini yang menjadi ciri khas akad salam. Sehingga barang itu berada dalam tanggungannya untuk dia datangkan pada waktu yang ditetapkan.
Muhammad bin Abil Mujalid mengisahkan,
“Pada suatu hari aku diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk bertanya kepada sahabat Abdullah bin Aufa. Mereka berdua berpesan,
“Bertanyalah kepadanya, apakah dahulu sahabat semasa hidup Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– memesan gandum dengan pembayaran lunas di muka?
Ketika sahabat Abdullah ditanya demikian, beliau menjawab,
“Dahulu kami memesan gandum, sya’ir(gandum kasar), dan minyak zaitun dalam takaran, dan tempo penyerahan yang disepakati dari para pedagang Negeri Syam.”
Muhammad bin Abil Mujalid kembali bertanya,
“Apakah kalian memesan langsung dari para pemilik ladang?
Abdullah bin Aufa kembali menjawab,
“Kami tidak bertanya kepada mereka, tentang hal itu.” (HR. Bukhari 2244).
Macam-macam Salam
Dilihat dari waktu penyerahan barang, salam dibagi menjadi dua,
- Salam yang waktu penyerahannya lama, seperti 1 tahun atau 6 bulan atau sebulan ..
Salam yang penyerahannya lama disebut salam mu’ajjal.
- Salam yang waktu penyerahannya pendek, umumnya kurang dari sebulan. Salam yang penyerahannya singkat disebut salam haal.
Salam Mu’ajjal dibolehkan berdasarkan ijma’ ulama yang membolehkan salam. Sementara untuk salam haal ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya, insyaaAllah akan dibahas tersendiri. Kajian seputar salam haal ini berkaitan dengan hukum praktek dropshipping di sekitar kita. Sebagian ustad membolehkan dan sebagian melarang. Berangkat dari perbedaan ulama dalam memahami hukum salam haal.
Antara Akad dan Penyerahan
Sebelumnya, perlu dilakukan penyeragaman pemahaman terhadap istilah akad salam dan penyerahan barang (tagabudh). Majlis akad terjadi saat pembeli datang ke penjual untuk membeli barang A, lalu pembeli menyerahkan uangnya, sementara barang A akan diserahkan sebulan yang akan datang.
Karena akad sudah terjadi, maka pembeli tidak bisa membatalkan secara sepihak selama rentang masa salam, meskipun penjual belum mendapatkan barang. Ketika penjual telah berhasil mendapatkan barang A, maka barang itu tinggal diserahkan dan tidak perlu dilakukan akad ulang.
Uang Harus Diserahkan di Depan
Alat pembayaran dalam akad salam di masa silam tidak harus dalam bentuk uang dinar atau dirham. Karena hakekat dari akad salam adalah jual beli, dimana barang kedua diserahkan secara tertunda. Selama bukan benda ribawi yang memiliki satu illah, maka dibolehkan.
Misalnya, beli gandum atau kurma dibayar dengan kain atau dengan binatang ternak. Kain atau binatang ternak diserahkan sekarang, sementara gandum atau kurma diserahkan beberapa waktu kemudian. Seperti yang pernah diceritakan Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli seekor onta dibayar dengan satu wasaq’[2] kurma ajwah. (HR. Ahmad 26312, Ibnu Abi Syaibah 22541 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Karena itulah, para ulama menyebut alat pembayaran ini dengan ra’sul maal (modal). Mencakup uang atau barang lainnya.
Meskipun penggunaan barang sebagai alat pembayaran di zaman sekarang sangat jarang. Sehingga alat pembayaran dalam transaksi lebih banyak menggunakan uang. Sehingga ra’sul maal di zaman kita adalah uang.
Untuk lebih memudahkan pembahasan, kita hanya akan menggunakan istilah alat pembayaran dengan uang. Karena jika disebut modal, bisa menimbulkan ambigu dengan investasi atau mudharabah.
Bagian dari ketentuan salam, uang harus diserahkan di depan, di majlis akad. Dan inilah yang membedakan antara salam dengan jual beli kali’ bil kali’ (jual beli utang dengan utang).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
“Kami menganggap jual beli salam dibolehkan. Uang untuk beli sesuatu, uang dibayar tunai.” (HR. al-Baihaqi dalam al-Kubro, 6/19).
Diantara makna jual beli kali’ bil kali’ adalah menjual barang yang belum dimiliki dengan pembayaran yang tidak tunai.[3]
Sehingga yang terjadi adalah tukar menukar barang yang belum ada dengan uang yang juga belum ada.
Definisi ini dinyatakan an-Nawawi dalam al-Majmu’,
Tidak boleh menjual utang dengan utang. Bentuknya ada pembeli mengatakan,
Tolong jual sehelai kain untukku tertunda dengan kriteria tertentu, dan tolong serahkan bulan sekian, dengan harga 1 dinar dibayar kredit sampai tanggal sekian.” Kemudian penjual menerimanya.
Transaksi ini batal, tanpa ada perbedaan pendapat ulama.(al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 9/400).
Keterangan yang lain disampaikan Syaikhul Islam. Beliau menjelaskan jual beli kali’bil kali’ yang terlarang. Beliau mengatakan,
Adanya larangan jual beli kali’ bil kali – al-Kali’ artinya tertunda yang belum ada di tangan, ditukar dengan sesuatu yang juga belum ada di tangan. Ini seperti orang yang melakukan akad salam untuk barang yang masih dalam tanggungan dengan bayaran tertunda, schingga keduanya tertunda. Jual beli semacam ini tidak boleh dengan sepakat ulama. itulah ba’i al-Kali’ bil Kali. (Majmu’ Fatawa, 20/512).
Karena dalam transaksi salam penjual tidak memiliki barang ketika akad, maka pembeli harus menyerahkan uangnya di depan. Agar membedakan akad salam ini dengan jual beli kali’ bil kali’.
Bersambung….
Sumber:
Kitab Harta Haram Bisnis Online karya Ustadz Ammi Nur Baits, Pustaka Muamalah Jogja, Jogjakarta: Dzul Qa’dah 1441 H.
Diringkas oleh: Rika Kowasanda (Pengajar Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur)
[1] Para ulama memberi istilah lain untuk jual beli salam dengan ba’i mahawij (jual beli yang sangat dibutuhkan). Karena transaksi ini dilakukan ketika barang tidak ada, sementara keduanya, baik penjual atau pembeli sangat membutuhkannya. Pemilik uang (pembeli) sangat membutuhkan barang itu, dan penjual juga membutuhkan dana lebih cepat untuk keperluan pribadinya dan modal cari barang. (Fiqh as-Sunah, Sayid Sabiq, 3/121).
[2] Satu wasaq = 60 sha’, Jika satu sha’ – 2,5 kg, berarti 1 wasaq = + 150 kg.
[3] Terdapat hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa beliau mengatakan.
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-Kali’ bil Kali’ (utang dengan utang).
Hanya saja hadis ini statusnya dhaif. Hadis ini diriwayatkan ad-Daruquthni dalam sunannya 3105 dan Baihaqi dalam as-Sughra dari jalur Musa bin Ubaidah ar-Rabadzi dari Abdullah bin Dinar …
Akan tetapi, ulama sepakat bahwa Jual beli al-Kali bil Kali’ hukumnya terlarang.
Imam as-Syafii dalam kitabnya al-Umm pernah membahas hukum menjual barang yang masih dalam tanggungan. Beliau mengatakan,
“Kaum muslimin dilarang untuk jual beli utang dengan utang.” (al-Umm. 4/30)
Pernyataan kesepakatan ulama,
Ibnu Qudamah menukil keterangan ijma’ ulama dari Ibnul Mundzir,
Ibnul Mundzir mengatakan, ‘Ulama sepakat bahwa jual beli utang dengan utang tidak boleh. Imam Ahmad mengatakan, “Ulama sepakat dalam masalah ini.” (al-Mughni, 4/186).
As-Syaukani mengomentari sanad hadis di atas, dan adanya ijma’,
Meskipun dalam sanadnya terdapat perawi bernama Musa bin Ubaidah ar-Rabadzi, namun ada pendukung kuat dari nukilan ijma’ bahwa tidak boleh melakukan jual beli utang dengan utang. (as-Sailul Jarar, hlm. 480) Ijma’ inilah yang menjadi landasan kita untuk menyatakan bahwa jual beli utang dengan utang hukumnya terlarang.
Baca juga artikel:
Leave a Reply