Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Berkaitan Dengan Apa Itu Thaghut

apa itu thaghut

Berkaitan Dengan Apa Itu Thaghut – Bismillahi bini’mati tathimushoolihaat ashadu alla illaha ilallah wa ashadu anna muhammadar rosulullah amma ba’du

Pertama : makna thaghut

Menurut Bahasa, kata thaghut berasal dari kata thughyan, (yang melampaui batas).

Maksudnya, air itu sangat banyak dan bertambah melebihi batas dengan seizin Allah. Kata thagha as-sail berarti airnya naik sehingga melampaui batas takaran.

Syaikh Muhammad bin abdul wahhab mengatakan: “hal pertama yang diwajibkan Allah,” yakni yang Dia haruskan dan fardhukan. Dan perkataan beliau “atas anak keturunan Adam” yakni terhadap umat manusia secara keselurahan. Adam adalah bapak umat manusia, disebut dengan bani Adam karena yang dimaksudkan adalah umat manusia saja dan bukan jin, meskipun mereka juga termasuk di dalamnya. Hal ini memengingatkan kemuliaan Adam atas jin sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا

Artinya: “Dan sungguh, kami telah memuliakan cucu anak Adam ….” (QS. Al-isra [17]: 70).

Dalil yang menunjukkan masuknya jin dalam hal tersebut dan bahwa mereka masuk ke dalam taklif  (beban larangan dan juga perintah) adalah firman Allah Subhanahu Wata’ala:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56).

Kufur kepada thaghut didahulukan atas iman kepada Allah karena  kufur kepada thaghut merupakan syarat bagi iman kepada Allah, sedangkan syarat itu harus didahulukan dari yang disyaratkan, sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu Wata’ala:

فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ

Artinya: “…Barang siapa ingkar kepada  thaghut dan beriman kepada Allah, mak sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus….” (QS. Al-Baqarah[2]: 256).

Kufur kepada thaghut dan iman kepada Allah adalah makna dari kalimat La ilaha illallah, karena ia mencakup makna penafiyan yaitu kufur kepada thaghut, dan makna penetapanya itu beriman kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Inilah dasar sekaligus pondasi sebagaimana yang telah dijelaskan dipermulaan buku ini bahwa dasar pokok agama dan kaidahnya ada dua hal. Adapun seluruh perintah dan larangan hanya merupakan cabang dari pokok dasar ini. Artinya, suatu amalan tidak diperintahkan untuk dilaksanakan dan tidak juga akan diterima kecuali setelah tegaknya dasar utama tersebut.

Adapun hadits-hadits Nabi, diantaranya sabda beliau Shallallahu Alaihi Wasallam:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

Artinya: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah …” (Muttafaq ‘alaih).

Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya

Manhaj salaf ahlusunnah wal jamaah telah menetapkan (itsbat) apa-apa yang Allah telah firmankan didalam al-qur’an dan apa-apa yang tela disabdakan oleh Nabi didalam hadits-hadits yang shohih tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah seperti istiwaa’ (bersemayam) nya Allah di atas arsy yang sesuai dengan kebesaran dan kemulian-Nya, turu-Nya marah-Nya cinta-Nya dan lain-lain banyak sekali didalam al-qur’an dan hadits -hadits shohih di bukhori, muslim, abu daud, tarmizi, dan lain-lain. Mereka menetapkan tanpa ta’til (menghilangkan) ta’wil (mengganti arti yang zohir kepada arti yang lain), tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Takhyif (bertanya bagaimana sifat Allah itu). Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Artinya: “tidak ada suatupun yang sama dengan-Nya dan Ialah yang maha mendengar dan maha melihat.” (QS. As-syura’: 11)

Bagian yang pertama dari ayat yang mulia ini menafikan adanya penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Sedangkan bagian yang kedua menetapkan (itsbat) adanya sifat-sifat Allah.

Keduanya wajib kita Imani yaitu tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan Allah tidak serupa dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya, nama dan sifat-Nya dan perbuatan-Nya.

Dan kitapun menetapkan nama dan sifat-Nya apa adanya tanpa ta’wil dan seterusnya seperti di atas.

Dan tidaklah dikatakan menyerupakan Allah dengna makhluk-Nya kalua kita menetapkan bahwa Allah bersemayam di atas arsy mempunyai wajah, tangan, mata, datang dan turun yang sesuai dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya.

Dan tidaklah sama bersemayam-Nya, wajah-Nya, tangan-Nya, mata-Nya, datang-Nya, turun-Nya, kelangit dunia setiap sepertiga malam yang akhir dan seterusnya dengan bersemayam, wajah, tangan makhluk-Nya. Kecuali kalau kita mengatakan bahwa bersemayamnya Allah, wajah-Nya dan tangan-Nya sama atau serupa dengan bersemayamnya, wajah dan tangan makhluk-Nya.

Kalau menetapkan nama dan sifat Allah dituduh menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ahlussunnah wal jama’ah bertanya kepada ahli bid’ah dari kaum jahmiyyah, mu’tazilah, as’ariyah, maaturudiyyah, dan lain-lain “bukankah kamu telah menetapkan ada dzat bagi Allag dan manusia juga mempunyai dzat, samakah atau serupakah dzat Allah dengan dzat manusia?”

Mereka menjawab: “tidak sama dan tidak serupa dzat Allah dengan dzat manusia!”

Berkata ahlussunnah: “kalau demikian jawabanmu, maka jawabanmu itu menjadi jawaban bagi kami, kenapa kamu tidak katakana tentang bersemayamnya Allah, wajah-Nya, tangan-Nya, dan seterusnya tidak sama dan tidak serupa dengan bersemayamnya, wajah dan tanganya makhluk,sebagaimana kamu telah tetapkan tentang dzat, bahwa tidak sama dan tidak serupa dzat Allah dengan dzat manusia? Jawablah wahai kaum!”

“satu soal lagi wahai kaum, bukankah kamu mempunyai wajah, mata, tangan dan kaki. Dan kera atau babai juga mempunyai wajah, mata, tangan dan kaki. Samakah wajahmu, mata, tangan dan kakimu dengan wajah, mata, tangan dan akaki kera atau babi?”

Syaikhul islam berkata dalam kitabnya al-ubudiyyah beliau menjelaskan tentang dua dasar yang terkumpul seluruh ajaran agama:

Pertama: Bahwa tidak boleh kita beribadah kecuali hanya kepada Allah

Kedua: tidak boleh kita beribadah kepadanya kecuali dengan apa-apa yang Allah syariatkan. Dan kita tidak beribdaha kepadanya dengan berbagai macam bid’ah

Perhatian!

Janganlah disalah pahami bahwa yang dimaksud dengan adat ialah yang dibuat-buat oleh manusia dari adat syirik, bida’ah, kurofat dan tahayul, seperti menginjak telur diwaktu nikah. Bukan itu! Akan tetapi yang dimaksud dengan adat yang telah diterangkan oleh para ulama kita ialah muamalat, seperti jual beli dan lain-lain.

Dari keterangan ringkas dari para ulama tentang masalah ini dapatlah kita mengetahui: bahwa setiap ibadah harus ada keteranganya dari Allah dan Rasul-Nya. Baik secara mutlak atau muqoyyad. Yang saya maksud secara mutlak yang artinya “terlepas” yakni tidak terkait dengan: jumlah atau bilangan, waktu dan tempat atau sifat.

Maka apabila Allah dan Rasul-Nya mensyariatkan suatu ibadah secara mutlak seperti penjelasan diatas, maka wajiblah kita memutlakanya. Sedangkan yang saya maksud dengan muqoyyad yang artinya “tarkait/terikat” yakni terikat dengan: bilanga, waktu dan tempat atau sifat.

Maka apabila syara’ (agama) menjelaskan suatu ibadah secara muqoyyad (terkait) dengan suatu yang tersebut diatas, maka wajiblah bagi kita untuk me-muqoyyadkannya (mengaitkanya).

KAIDAH-KAIDAH BID’AH

Kaidah pertama: ketahuilah bahwa bid’ah itu dosa, dan kesesatanya tidak tetap pada satu tingkatan atau satu derajat. Akan tetapi bid’ah itu bertingkat-tingkat atau berderajat dosa dan kesesatanya. Kalau kita lihat dari besar dan kecilnya, bidah itu terbagi menjadi tiga tingkatan:

  1. Sebagian bid’ah ada yang tegas-tegas mencapai tingkatan syirik dan kufur
  2. Sebagiannya lagi haram, atau masih diperselisihkan tentang syirik dan kekufuranya
  3. Sebagianya lagi haram dan telah disepakati bahwa di aitu tidak sampai pada tingkatan syirik atau kufur.

Kaidah kedua: setiap bida’ah itu maksiat dan tidak sebaliknya (yakni tidak semua maksiat itu bid’ah)

Contohnya: zina, dia itu maksiat akan tetapi bukan bid’ah

Maulid, di aitu bid’ah dan pasti maksiat

Kaidah ketiga: bid’ah haqiqiyah dan bidah idhafiyyah

Yang dimaksud dengan bid’ah haqiqiyah ialah: “satu macam bid’ah yang tidak ditunjuki oleh dalil syari’i (al-kitab,sunnah,dan ijma’) dari segala jurusanya baik secara jumlah atau secara tafsil (terperinci)”. Contohnya seperti orang yang mengaku menjadi nabi atau mengaku mendapat wahyu atau mengingkari kehujjahan sunnah Nabi dan lain-lain.

Adapun yang dimaksud dengan bid’ah idhafiyyah ialah: “satu macam bid’ah, yang apabila dilihat dari satu sisi, disyariatkan atau ada dalilnya, akan tetapi apabila dilihat dari sisi yang lain, maka dia serupa bid’ah haqiqiyyah”.

Contohnya seperti orang-orang yang berkumpul untuk yasinan setiap malam jum’at. Dilihat dari satu sisi disyariatkan, yaitu membaca al-qur’an termasuk didalamnya surat yasin. Akan tetapi dilihat dari sisi yang lain tidak syak lagi tentang bid’ahnya. Karena menetukan cara dan waktunya setiap malam jum’at sama sekali tidak ada asal-usulnya dari agama yang mulia ini.

Demikian juga perbuatan Sebagian kaum muslimin, mereka shalat qiyamullail berjama’ah dimasjid-masjid selain dibulan Ramadhan dengan ditentukan tempatnya, waktunya dan caranya. Inilah bid’ah idhafiyyah yang hanya di Indonesia.

Oleh karena itu jika kita tidak memelihara kaidah yang besar ini maka timbulah berbagai macam bid’ah dalam agama. Ambil misal, agama menganjurkan kita untuk membaca qur’an. Maka kita melihat kepada dalil yang shohih tentang pembacaan qur’an, kita dapati ada yang mutlak dan mukoyyad Adapun yang mutlak, kitab oleh membaca al-qu’ran atau ayat apa saja. Sebagian atau seluruhnya dan waktu yang tidak ditentukan. Sedangkan mukoyyad terikat dengan salah satu yang tersebut diatas. Kemudian datanglah Sebagian manusia mengaitkan apa-apa yang telah dimutlakan oleh Allah dan agama seperti membaca surat Yasin pada setiap malam jum’at.

 

Sumber:

Risalah bid’ah karya ustadz abdul hakim bin amir abdat, cetakan ke 8

Buku putih ahlus sunnah wal jamaah karya ustadz zainal abidin bin syamsudin cetakan ke 1

Peringkas: Rico Muzakki

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.