
Hukum Astrologi dalam Islam – Astrologi adalah ilmu perbintangan. Dalam terminologi syar’i dikenal dengan ilmu nujum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah memberi definisi, “memprediksi kejadian-kejadian di bumi berdasarkan keadaan perbintangan”. (Majmu Fatawa).
Hingga sekarang ilmu ini masih digunakan untuk berbagai kepentingan seperti prakiraan cuaca, musim sampai ramalan nasib manusia. Oleh karena itu pembahasan permasalahan ini memerlukan perincian karena sebab tadi. Hanya saja keyakinan terakhir yakni ramalan nasib manusia nampak lebh dominan dan dikenal luas. Sebagai buktinya adalah kegemaran sementara kalangan terutama kawula muda membaca ramalan rasi bintang yang disuguhkan berbagai media masa. Motivasi mereka berbeda-beda, ada yang sekedar iseng sampai meyakini kebenaran ramalan tersebut. Sebuah survei yang diadakan oleh sebuah koran terbesar di jawa timur menyimpulkan bahwa masih banyak kalangan muda yang mempercayai kebenaran ramalan itu dan menganggap sebagai suatu hal yang wajar (tidak berdosa). Hanya sedikit yang berpendapat sebagai suatu kesyirikan. Ini sangat ironis, generasi muda yang diharapkan menjadi generasi yang cerdasm enjadi intelektual bangsa ternyata masih doyan hal-hal yang irrasional. Terlebih lagi kepercayaan ini termasuk kesyirikan. Ini membuktikan bahwa masyarakat (karena yang percaya tidak hanya kalangan muda) masih banyak yang awam tentang berbagai bentuk kesyirikan, bahkan diyakini sebagai sesuatu yang wajar. Allahul musta’an.
Fungsi Bintang
Allah ﷻ menciptakan bintang dengan tiga tujuan; sebagai hiasan langit, pelempar setan yang mencuri dengar berita langit dan tanda petunjuk jalan. Allah berfirman:
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, dan kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk: 5)
Dan juga firman Allah ta’ala
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ (6) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ (7) لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلَإِ الْأَعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ (8) دُحُورًا وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ (9) إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ (10)
“Sesungguhnya kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan. Yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap setan yang sangat durhaka, setan-setan itu tidak dapat mendengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (diantara mereka) yang mencuri (pembicaraan) maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.” (As-Shaffat: 6-10)
وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
“dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 16)
Imam bukhori berkata, Qotadah berkata, “Allah menciptakan bintang untuk tiga tujuan: sebagai hiasan langit, pelempar setan-setan dan tanda-tanda sebagai petunjuk. Siapa yang menafsirkan selain itu sungguh dia tersalah, menyia-nyiakan keberuntungannya dan memaksakan untuk mengetahui sesuatu tanpa bekal ilmu. (Kitab Bad’il Khalqi, Bab fi nujum secara mu’alaq)
Sanad Bukhari ini diriwayatkan secara bersambung oleh Abdun bin Humaid dari jalan Syaiban dari Qotadah namun dengan tambahan di akhirnya, “Dan sesungguhnya manusia yang bodoh terhadap perkara Allah telah mengada-adakan perdukunan dalam perbintangan ini. Yaitu keyakinan siapa yang menanam pada waktu bintang ini muncul maka akan begini, siapa yang bepergian pada bintang itu maka akan begitu. Aduhai, tidaklah ada satu bintang-pun dari bintang-bintang itu melainkan dilahirkan ketika itu orang yang tinggi, pendek, berkulit merah, kulit putih, rupawan dan buruk rupa. (Namun) bintang, binatang dan burung ini tidaklah mengetauhi perkaya ghaib sedikit-pun” (Fathul Bari, Ibn Hajar 6/437)
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh menjelaskan ucapan Qotadah “Siapa yang menafsirkan selain itu sungguh dia tersalah” yakni siapa yang menyangka selain apa yang disebutkan Allah dalam kitab-Nya yaitu untuk tiga tujuan tersebut maka sungguh ia telah salah. Karena menyangka sesuatu yang tidak ada dalilnya dari Allah. Dan dia telah menyia-nyiakan dirinya untuk memperoleh setiap kebaikan karena telah menyibukkan dirinya pada apa-apa yang membahayakannya bukan pada yang bermanfaat”. (Fathul Majid, Hal. 383)
Hukum Astrologi.
Ada beberapa hadits yang menjelaskan hukum perbintangan ini.
Siapa yang mepelajari ilmu nujum berarti telah mempelajari sebagian dari ilmu sihir, bertambah sihirnya selaras dengan ilmu nujum yang dipelajarinya. (Hadits Hasan. Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dishahihkan Oleh Nawawi, Adz-dzahabi, dan Al-Albani).
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Aku takutkan dua hal menimpa umatku sepeninggalku nanti; mendustakan takdir dan beriaman kepada nujum. (Hadits Hasan Lighairi, Abu Ya’la dalam Musnad 1023)
Syaikhul islam berkata, Rasulullah secara tegas mengatakan bahwa ilmu nujum termasuk sihir, dan Allah berfirman,
وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى
“dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang”. (Taha: 69)
Al Khathabi berkata, “ilmu nujum yang dilarang adalah apa yang diklaim oleh ahlu nujum berupa ilmu yang digunakan untuk mengetahui peristiwa yang belum terjadi atau terjadi pada waktu tertentu yang akan datang seperti informasi waktu berhembusnya angin, turunnya hujan, turunnya es, cuaca panas dan dingin, berubahnya harga barang dan semisalnya. Mereka menyangka tahu hal itu berdasarkan peredaran bintang, berkumpul dan berpencarnya. Mereka menyangka bahwa bintang itu memiliki pengaruh di bumi. Ini adalah menerka –nerka pekara ghaib dan ilmu Allah. Padahal tidak ada yang tahu mengenai perkara yang ghaib melainkan Allah ﷻ. Adapun ilmu nujum yang diketahui dengan cara menyaksikan langsung dan dari informasi yang dengannya diketahui waktu tergelincirnya matahari dan arah kiblat maka tidak dilarang.
Sedangkan untuk melihat arah kiblat maka telah dicermati oleh para ulama pakar yang tidak diragukan lagi perhatian dan pemahaman mereka terhadap masalah agama dan kebenaran apa yang diinformasikan oleh mereka. Ibnul mundzir meriwayatkan dari Mujahid, beliau memandang tidak mengapa mempelajari kedudukan bulan.
Ibnu Rajab dalam Fadhlu Ilmi Salaf Ala Ilmi Khalaf hal, 24-26 membawakan riwayat dari umar bin khathabm berkata, “Pelajari dari bintang apa-apa yang dapat kamu jadikan petunjuk di daratan dan di lautan kemudian berhentilah (jangan lebih dari itu –pen). Ibrahim An-Nakhai memandang tidak mengapa seseorang mempelajari perbintangan untuk petunjuk (jalan). Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih membolehkan mempelajari ilmu posisi bulan, seperti yang dinukil oleh Harb bin Ismail (murid beliau), Ishaq juga menambahkan, “Boleh juga mempelajari nama-nama bintang untuk petunjuk”. Qotadah membvenci belajar ilmu tersebut dan Sufyan bin uyaiah tidak membolehkannya seperti dituturkan oleh Harb. Ibnu abbas berkata, “Seringkali irang yang mempelajari ilmu nujum dan huruf Abu Jad tidak mendapatkan bagian di sisi Allah”. Usai itu Ibnu Rajab berkata, “ Larangan ini bila yagn dimaksud adalah ilmu ta’tsir (bintang menyebabkan kejadian di bumi) bukan ilmu tasyir (bintang dan peredaranya sebagai tanda waktu atau arah). Karena ilmu ta’tsir itu batil dan haram dan dalam hal ini terdapat sebuah hadits yang marfu’ “siapa yang memperlajari ilmu nujum berarti telah mempelajari sebagian dari ilmu sihir”. Dikeluarkan Abu Dawud dari hadits ibnu Abbas secara marfu’.
Maka ilmu ta’tsir nujum adalah batil dan haram. Mengerjakan konsekuensinya berupa taqarrub (mendekatkan diri kepada bintang sebagai ibadah) adalah kufur. Adapun ilmu tasyiir, jika mempelajarinya karena dibutuhkan seperti untuk petunjuk (jalan), mengetahui arah kiblat dan jalan maka dibolehkan menurut jumhur ulama. Lebih dari itu tidak diperlukan dan termasuk menyia-nyiakan ilmu yang lebih penting darinya. Visa jadi memperlajari secara detail akan menyeret kepada buruk sangka terhadap mihrab-mihrab *masjid) kaum muslimini di negre0negeri mereka seperrti menimpa kepada ahlo masalah ini waktu dulu dan sekarang. Bisa juga menyalahjkan shalat para shabat dan tabi’in di banyak negeri dan ini jelas batil”
Adapun syaikh ibnu utsaimin lebih memerinci sehingga permasalahan semakin jelas. Beliau berkatra. “ilmu nujum terbagi menjadi dua; ilmu ta’tsir dan tasyiir.
- Ilmu Ta’tsir (pengaruh)
Ilmu ini terbagi dalam tiga macam;
Pertama, meyakini bahwa bintang itulah yang memberi pengaruh dan sebagai pelaku. Artinya bintang itu menciptakan peristiwa dan kejelekan dibumi. Ini termasuk syirik besar karena siapa yang mengklaim ada pencipta selain Allah maka telah melakukan kesyirikan besar. Dia telah menjadikan makhluk yang ditundukkan menjadi pencipta dan yang mendundukkan.
Kedua, anggapan bahwa bintang tersebut merupakan sebab untuk mengetahui ilmu ghaib. Dengan memperhatikan gerakan dan perubahan bintang-bintang tersebut maka akan terjadi di bumi peristiwa ini dan itu. Karena bintang ini mka menjadi begini dan bvegitu. Misalnyam, fulan hifupnya akan sengsara karena lahir pada rasi bintang in i mmisalnya, sedang fulan itu hidupnya akan bahagia karena lahir pada rasi bintang itu., keyaknina ini berarti mnjadikan ilmu perbintangan sebagai sarana mengetahi ilmu ghhaib. Klaim mengetahi ilmu ghaib adalah kekufuran, keluar dari islam. Karena Alalh berfirman
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah: “tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (An Naml: 65)
Dalam ayat ini terdapat jenis a pembatasan yang paling kuat karena adanya peniadaan dan penetapan (adanya huruf la di awal dan illa di akhir -pen). Jika ada saeseorang mengkalim tahu ilmu ghaib maka telah mendustakan Al Qur’an.
Ketiga, keyakinan bahwa bintang tersebut merupakan sebab terjadinya kebaikan dan kejelekan. Maksudnya jika terjadi suatu lantas disandarkan kepada bintang dan penyandaran ini setelah terjadinya sesuatu itu. Ini tergolong syirik kecil.
- Ilmu Tasyiir (peredaran bintang).
Terbagi menjadi dua;
Pertama, peredaran bintang digunakan sebagai petunjuk untuk kemaslahatan dalam masalah agama. Hal ini dituntut. Jika kemaslahatan agama ini wajib maka hukum mempelajarinya juga wajib. Misalnya untuk menentukan arah kiblat, dengan cara mengamati suatu bintang, bila muncul bintang tertentu pada sepertiga malam terakhir itu menunjukkan arah kiblat, bintang lain bila muncul seperempat malam menunjukkan arah kiblat. Dalam hal ini terdapat manfaat yang besar.
Kedua, untuk kemaslahatan dunia, hal ini tidak mengapa dan ada dua keadaan.
- Untuk menentukan arah, semisal arah itu menunjukkan arah utara karena ada bintang tertentu (Capricornus) yang beredar disitu dan itu mendekati arah utara, begitu seterusnya. Ini dibolehkan firman Nya:
- Untuk menunjukkan musim dengan mencermati posisi bulan. Sebagian salaf membenci ilmu ini, sementara yang lain membolehkannya. Kebencian ini didasari asumsi bila muncul bintang tertentu pada musim dingin atau panas maka sebagian orang awam meyakini bahwa bintang itulah yang menyebabkan dingin, panas atau berhembusnya angin. Pendapat yang benar adalah tidak mengapa. (al Qoulul Mufid, Ibnu Utsaimin).
Diringkas oleh: Sahl Suyono
Dari Majalah Al Furqan, Edisi: 7 Tahun IV, Shofar 1426
BACA JUGA:
Ajukan Pertanyaan atau Komentar