Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Cinta Rasa Dan Nikmatnya Shalat

CINTA RASA DAN NIKMATNYA SHALAT

Cinta Rasa Dan Nikmatnya Shalat

بسم الله الرحمن الرحيم

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيّئات أعمالنا من يهده الله فلا  مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن لاإله إلاّ الله وأشهد أنّ محمداً عبده ورسوله

Perlu kita ketahui dan tidak diragukan lagi bahwa shalat dalam al-Quran adalah penyejuk hati orang-orang yang cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan kelezatan bagi ruh orang-orang yang mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, taman bagi para ahli ibadah, buah bagi jiwa-jiwa yang khusyu’, kompas bagi orang-orang yang jujur, dan mizan (tolok ukur) bagi orang-orang yang berjalan menuju Allah  Subhanahu Wa Ta’ala. Ia merupakan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menganugerahkan kepada mereka melalui Rasul-Nya yang jujur dan terpercaya, sebagai rahmat dan kemuliaan bagi mereka agar mereka dapat meraih surga-Nya, bukan karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala membutuhkan mereka. Bahkan murni sebagai anugerah dan karunia dari-Nya untuk mereka. Hati dan seluruh anggota badan mereka tunduk kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dia telah menjadikan peran hati merupakan yang paling besar dan sempurna. Yaitu dengan menghidupkannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kegembiraan dan kenikmatan dekat dengan-Nya, kebahagiaan mencintai-Nya dan kegembiraan berdiri di hadapan-Nya, hatinya berpaling dalam melaksanakan ibadah dari menengok kepada selain-Nya. Menyempurnakan tuntutan-tuntutan ubudiyyah lahir maupun batin menurut yang dikehendaki Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan diridhai-Nya.

Allah telah menetapkan pada setiap anggota tubuh aktifitas ‘ubudiyyah yang khusus, dan ketaatan yang dituntut darinya. Untuk itulah manusia diciptakan dan dipersiapkan, dengan demikian manusia terbagi menjadi tiga kelompok:

Pertama, manusia yang memfungsikan (menggunakan) anggota tubuhnya sesuai dengan tujuan dan maksud penciptaannya. Inilah manusia yang berdagang kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan perdagangan yang paling menguntungkan. Shalat disyariatkan untuk memfungsikan (menggunakan) seluruh anggota tubuh dan aktifitas ‘ubudiyyah mengikuti aktifitas hati dalam pelaksanaannya.

Kedua, manusia yang memfungsikan (menggunakan) anggota tubuhnya untuk sesuatu yang bukan merupakan tujuan penciptaannya dan untuk sesuatu yang tidak diciptakan baginya. Ini adalah manusia yang merugi usahanya bangkrut dan bangkrut perniagaannya.

Ketiga, manusia yang memandulkan dan mematikan fungsi anggota tubuhnya. Ini juga termasuk manusia yang merugi. Sebab, manusia diciptakan untuk beribadah dan berbuat ketaatan, bukan menganggur. Manusia yang paling dibenci oleh Allah adalah yang menganggur, tidak berusaha untuk dunia dan tidak beramal untuk akhirat. Ia hanya menjadi beban dunia dan agama.

Manusia jenis pertama, apabila ia bergerak, diam, bangkit, duduk, makan, minum, tidur, berpakaian, bicara atau tidak bicara, semuanya adalah untuknya (mendatangkan pahala baginya), tidak membawa dosa atasnya. Ia selalu dalam keadaan berdzikir, berbuat taat, mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan terus melakukan aktifitas ibadahnya.

Adapun orang kedua, seluruh aktifitasnya mendatangkan dosa atasnya tidak ada yang membawa pahala. Ia selalu tersingkir, terasing dan merugi. Sedangkan yang ketiga, seluruh waktunya hanyalah diisi dengan kelalaian dan menganggur.

Yang pertama adalah manusia yang selalu dalam lingkupan ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah. Yang kedua adalah yang selalu dalam lingkupan khianat dan pelanggaran. Dan yang ketiga adalah yang selalu dalam lingkupan kelalaian, tuntutan hawa nafsu dan tabiat.

Allah ‘Azza wa Jalla mengajak kaum muwahhidin (orang-orang yang mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan benar) untuk mengerjakan shalat lima waktu sebagai salah satu bentuk rahmat-Nya kepada mereka. Allah ‘Azza wa Jalla telah membentangkan bagi mereka dalam shalat itu berbagai jenis ibadah agar dengan itu mereka dapat meraih karunia dalam setiap perkataan, perbuatan, gerakan dan diam mereka.

Inti dan rahasia ibadah shalat adalah menghadapkan hati dan menghadirkannya secara totalitas ke hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika ia tidak menghadapkannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sibuk dengan hal lain dan lalai dengan bisikan nafsu, maka kedudukannya seperti orang yang datang menghadap raja untuk meminta maaf atas kelancangan dan kesalahannya, mengharap kedemawanan dan belas kasihnya, meminta makanan bagi hatinya agar dapat melayani dan berkhidmat kepada sang raja. Sesampainya di pintu sang raja dan sudah berhadapan dengannya, ia malah melengos, berpaling ke kanan dan ke kiri, membalikkan badannya, sibuk melakukan sesuatu yang membuat murka sang raja, berbuat sesuatu yang hina di sisi raja, ia lebih mengutamakan hal itu terjadi pada raja, mencurahkan kiblat hatinya dan perhatiannya kepada perkara tersebut, lalu ia mempersilahkan pelayang-pelayan dan pembantu-pembantunya agar mau mentaati sang raja. Sementara sang raja menyaksikan hal itu dan melihat keadaan mereka.  Namun demikian dengan sifat kemuliaan, kedermawanan, luasnya kebaikan dan karunia sang raja, pembantu dan pelayan yang mengikutinya enggan berpaling dari sang raja. Maka mereka pun kecipratan rahmat dan kebaikan sang raja. Akan tetapi sang raja membagi-baginya sesuai dengan bagian masing-masing. Ada yang mendapat bagian yang banyak dan adapula yang seharusnya tidak mendapat bagian namun diberi juga bagian yang sedikit.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

﴿ولكلّ درجٰت ممّا عملواۖ وليفّهم أعمٰلهم لا يظلمون﴾

“Dan setiap orang yang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah mencukupkan balasan perbuatan mereka sedang mereka tidak dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf: 19)

Allah menciptakan manusia agar berbakti kepada-Nya, mengisitimewakannya dan menciptakan segala sesuatu untuknya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan shalat sebagai jalan yang menyampaikannya kepada kedekatan-Nya, munajat-Nya, cinta-Nya dan kasih sayang-Nya. Dengan berwudhu’, badannya menjadi bersih sehingga ia datang menghadap Rabbnya dalam kedaan suci. Wudhu’ memiliki makna lahir batin. Secara lahir, anggota badan yang terlibat langsung dalam beribadah suci dari kotoran. Secara batin, orang yang berwudhu’ hatinya suci dan bersih dari kotoran dengan bertaubat. Oleh sebab itu Allah mengiringi penyebutan taubat dengan thaharah (kesucian) dalam firman-Nya:

﴿ … إنّ الله يحبّ التّوّٰبين ويحبّ المتطهّرين ﴾

“… Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga mensyari’atkan bagi orang yang berwudhu’ agar membaca doa di bawah ini setiap kali selesai berwudhu’:

أشهد أن لا إلٰه إلاّ الله وحده لا شريك له، وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله

“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”[1]

Lalu membaca:

اللهمّ اجعلني من التوّابين واجعلني من المتطهّرين

“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang menyucikan diri.”[2]

Dengan begitu ia telah menyempurnakan bagian ibadah, yaitu kesucian lahir dan batin. Dengan bersyahadat ia bersih dari syirik, dengan bertaubat ia bersih dari dosa dan dengan air ia bersih dari kotoran badan. Ia disyaratkan menjalani proses pensucian diri yang paling sempurna sebelum menghadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan berdiri di hadapan-Nya. Setelah suci lahir batin, barulah ia diizinkan menghadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berdiri di hadapan-Nya. Ia telah terlepas dari pelarian, terbukti dengan kehadirannya di rumah-Nya dan tempat peribadahan-Nya.

Oleh sebab itulah hadir ke masjid merupakan kesempurnaan yang wajib bagi ibadah shalat seseorang menurut bagian ulama dan mustahab menurut sebagian yang lainnya.  Seorang hamba yang dalam keadaan lalai seperti seorang budak yang melarikan diri dari tuannya. Ia menonaktifkan seluruh anggota badan dan hatinya dari kewajiban yang harus ditunaikannya dan untuk itulah ia diciptakan. Apabila ia kembali kepada Rabbnya, maka ia telah kembali dari pelariannya. Apabila ia berdiri di hadapan-Nya dalam keadaan beribadah, tunduk dan mengharapkan-Nya, maka ia telah mengambil perhatian Rabbnya dan mendatangi-Nya kembali setelah berpaling.

  • Rahasia dan inti shalat

Rahasia, rub, dan inti shalat adalah menghadapkan seluruh jiwa raga kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ka’bah yang merupakan rumah Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah kiblat bagi wajah dan badannya. Dan pemilik rumah itu, yakni Allah Subhanahu Wa Ta’ala, adalah kiblat hati dan ruhnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menghadap kepada seorang hamba di dalam shalat selama hamba itu menghadapkan wajah dan hatinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika ia berpaling maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan berpaling darinya.

Menghadap kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam shalat ada tiga tingkatan:

  1. Menghadapkan hatinya dan menjaganya dari syahwat, bisikan jahat, pikiran-pikiran kotor yang dapat membatalkan pahala shalat atau dapat menguranginya.
  2. Menghadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan selalu muraqabah (merasa diawasi oleh Allah) sehingga seakan-akan ia melihat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
  3. Menghayati makna kalam Ilahi dan perincian nilai-nilai ‘Ubudiyyah shalat sehingga ia bisa khusyu’ dan thuma’ninah.

Dengan menyempurnakan ketiga tingkatan ini maka dapatlah dikatakan ia telah menegakkan shalat (bukan cuma mengerjakan shalat). Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menghadap kepada hamba-Nya menurut kadar ketiga tingkatan tersebut.[3]

  • Shalat sebagai penyejuk mata

Seperti halnya buah dari ibadah puasa adalah kesucian jiwa; buah hasil ibadah zakat adalah kebersihan harta; buah hasil ibadah haji adalah mendapatkan ampunan; dan buah hasil jihad adalah penyerahan jiwa yang dibeli oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan Surga sebagai harganya.

Maka buah hasil dari shalat adalah menghadap kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghadap ke arah hamba-Nya. Dibalik hal ini tersimpan semua buah hasil dari segala amal. Karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah mengatakan bahwa penyejuk mata beliau terletak pada puasa, haji, ataupun ‘umrah. Namun Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam berkata,

إنّما حبّب إليّ من دنياكم : النّساء والطّيب، وجعلت قرّة عيني في الصّلاة

“Sesungguhnya di antara kesenangan dunia kalian yang aku cintai adalah wanita dan wewangian. Dan dijadikan penyejuk mataku terletak di dalam shalat.”[4]

Perhatikanlah sabda beliau, “Dan dijadikan penyejuk mataku terletak di dalam shalat.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berkata “Dengan shalat.” karena sejatinya hati beliau menjadi sejuk dengan masuknya beliau dalam shalat, layaknya seorang pecinta merasa sejuk dengan berbaur bersama kekasihnya dan orang yang takut merasa sejuk dengan masuknya dia ke tempat aman. Oleh karena itu, kesejukan hati setelah memasuki sesuatu lebih sempurna daripada kesejukan sebelum memasukinya.

Ketika keletihan mengusik ketenangan hatinya, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

“Wahai Bilal! Senangkanlah kami dengan shalat.”[5]

يا بلال، أرحن باالصّلاة

Yakni, serukanlah iqamah untuk shalat agar kami bisa istirahat dari segala kesibukan yang melelahkan layaknya orang yang letih beristirahat dan menjadi tenang dan sejuk ketika sampai di rumahnya.[6]

Diringkas oleh : Yasmin Yuni Azrah (Pengabdian Ponpes Darul Quran wal Hadits)

Sumber : Sebaik-Baik Amal Adalah Shalat karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

[1] Shahih: HR. Muslim (no.234), Abu Dawud (no.169), dan Ibnu Hibban (no.1047-at-Ta’liiqaatul Hisaan) dari Shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani radhiyallahu’anhu.

[2] Shahih: HR. At-Tirmidzi (no.55). lihat Irwaa-ul Ghaliil (I/135)

[3] Lihat Kasyful Ghitaa (113-120) karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah.

[4] Shahih: HR. Ahmad (III/128, 199, 285) An Nasa’i (VII/61-62) dan dalam Isyratun Nisaa’ (no.1), al-Hakim (II/160), dan al-Baihaqi (VII/78) lafazh ini miliknya. Lihat Shahiih al-Jamii’ish Shaghiir (no.3124)

[5] Shahih: HR. Ahmad (V/364) dan Abu Dawud (4985/4986). lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no.7892).

[6] Lihat Kasyful Ghithaa’ (hlm. 140).

Baca juga artikel:

Periksa Akhlakmu Sebagai Penuntut Ilmu

Sujud Sahwi

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.