Adab Berpakaian (Hukum Isbal) – Di antara kesempurnaan ajaran Islam adalah bahwasanya agama ini mengajarkan adab dalam segala hal, termasuk juga adab berpakaian. Jangan sampai seorang muslim memakai pakaian yang menarik perhatian (sehingga dilaranglah pakaian syuhrah), atau pakaian yang terlalu mahal sehingga bisa menimbulkan kesombongan, atau pakaian yang terbuat dari sutra bagi kaum lelaki karena bahan sutra identik dengan kelembutan dan keindahan yang merupakan kesukaan kaum perempuan bukan kaum lelaki, atau juga pakaian yang menyerupai pakaian lawan jenis, dan lain lain.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhumâ beliau berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لا ينظر الله إلى من جر ثوبه خيلاء
Artinya: “Allah tidak akan memandang orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong.” [1]
Di antara adab berpakaian bagi lelaki adalah larangan melakukan isbal (yaitu menjulurkan pakaian melebihi mata kaki). Hadis-hadis tentang larangan isbal telah mencapai derajat mutawatir dari sisi makna: lebih dari dua puluh orang sahabat Rasulullah meriwayatkannya.
Lafal tsaub (pakaian) pada lafal hadis yang sedang kita bahas (orang yang menjulurkan pakaiannya) adalah bermakna umum, yaitu kullu må yulbas (setiap yang dipakai), mencakup sarung, celana, jubah, atau pakaian apa saja. Semuanya dilarang untuk dipakai jika panjang dan terseret di atas tanah yang dilakukan karena sombong. Orang yang melakukan demikian maka Allah tidak akan melihatnya.
Dalam redaksi sebuah riwayat disebutkan, “Allah tidak akan melihat dia pada hari kiamat”, artinya Allah tidak akan melihat dia dengan pandangan rahmat (kasih sayang). Padahal kita tahu bahwa hari kiamat adalah hari yang sangat dahsyat dan sangat mengerikan. Pada hari itu seseorang sangat butuh dengan kasih sayang (rahmat) Allah. Sementara orang yang isbal karena sombong tidak akan diperdulikan oleh Allah. Ini adalah dalil bahwasanya isbal karena sombong merupakan dosa besar. Para ulama menyepakati keharaman isbal yang dilakukan karena sombong.
Dalam hadis yang lain : Dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu, dari Rasulullah, beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, Artinya: “Tiga golongan yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak dilihat, dan tidak (juga) disucikan. Bagi mereka azab yang pedih.” Abu Dzar menceritakan, “Rasulullah mengulanginya sebanyak tiga kali. Sungguh merugi mereka. Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” tanya Abu Dzar. Rasulullah menjawab, “Orang yang isbal, orang yang mengungkit-ngungkit sedekahnya dan penjual yang menjajakkan dagangannya dengan sumpah palsu.” [2]
Walaupun kalimat musbil (pelaku isbal) bersifat mutlak dalam hadis ini, namun para ulama sepakat maknanya adalah perbuatan isbal yang disertai perasaan sombong. Alasannya, adanya kesamaan hukum (tidak dilihat oleh Allah pada hari kiamat) sebagaimana ditunjukkan oleh kandungan hadis Ibnu Umar yang lalu. Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“بينا رجل يجر إزاره إذ خسف به، فهو يتجلجل في الأرض إلى يوم القيامة
Artinya: “Tatkala seorang laki-laki sedang meng-isbal sarungnya, tiba-tiba bumi terbelah bersamanya. Maka iapun berguncang-guncang, tenggelam di dalam bumi hingga hari Kiamat”[3]
Adapun isbal yang dilakukan tanpa niat sombong, melainkan hanya sekedar mengikuti gaya berpakaian, maka terjadi terdapat ikhtilaf di antara para ulama.
Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa isbal yang dilakukan tanpa diserta kesombongan hukumnya adalah makruh, tidak sampai derajat haram. Mereka beralasan bahwa sebab (‘illah) pengharaman isbal oleh Allah adalah karena sombong. Sehingga, apabila ternyata kesombongan tersebut tidak menyertai hati orang yang berbuat isbal, maka hukumnya hanya sampai kepada makruh, tidak sampai haram. Inilah pendapat kebanyakan ulama Syafi’iyyah seperti Imam Syafi’i dan Imam Nawawi.
Sebagian kecil dari para ulama memandang bahwasanya isbal, meskipun dilakukan bukan karena sombong, hukumnya tetap haram secara mutlak. Ini merupakan salah satu pendapat dalam mazhab Hanbali dan juga pendapat dipilih oleh al-Qadhi ‘lyadh, Ibnul ‘Arabi dari mazhab Malikiyyah, juga pendapat Adz-Dahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar dari mazhab Syafi’iyyah. Di antara para ulama zaman sekarang yang memegang pendapat ini adalah Syekh al-Albani, Syekh Abdul ‘Aziz Bin Báz, dan Syekh Muhammad Saleh al-‘Utsaimin.
Jika kita perhatikan dari sisi pendalilan, dalil-dalil yang mengatakan bahwa isbal dihukumi haram secara mutlak adalah lebih kuat. Di antara dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
فإن إسبال الإزار من المخيلة
Artinya: “Sesungguhnya isbal pada sarung adalah termasuk dari kesombongan.”[4]
Jadi, menurut hadis ini isbal itu sendiri sudah termasuk kesombongan. Ibnul ‘Arabi menggariskan, “Seseorang tidak boleh menjulurkan pakaiannya melewati mata kakinya kemudian berkilah, ‘Saya tidak menjulurkannya karena kesombongan. Karena larangan (dalam hadis) telah mencakup dirinya. Seseorang yang secara hukum terjerat dalam larangan, tidak boleh berkata (membela diri), saya tidak mengerjakannya karena sebab larangan pada hadis (yaitu kesombongan) tidak ada pada diri saya. Hal seperti ini adalah klaim yang tidak dapat diterima. Sebab, tatkala dia memanjangkan ujung pakaiannya sejatinya ia tengah menunjukkan kesombongannya.”
Usai mengutipkan ungkapan Ibnul ‘Arabi di atas, Ibnu Hajar Rahimahullah menetapkan: “Kesimpulannya, isbal berkonsekuensi (melazimkan) pemanjangan pakaian. Memanjangkan pakaian berarti unjuk kesombongan walaupun orang yang memakai pakaian tersebut tidak berniat sombong.”
Ada hadis-hadis lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah melarang isbal secara mutlak, di antaranya:
Dari al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu Anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
يا سفيان بن سهل، لا تسبل فإن الله لا يحب المسبلين
Artinya: “Wahai Sufyan bin Sahl, Janganlah engkau isball Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang isbal”.”[5]
Dan hadis Hudzaifah Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, “Rasulullah memegangi betisnya dan berkata, ‘Ini adalah tempat sarung (pakaian bawah), jika engkau enggan maka turunkanlah. Dan jika engkau enggan maka tidak ada hak bagi sarung di kedua mata kaki.” Berdasarkan tekstual hadis ini, izar (pakaian bawah) tidak boleh diletakkan di mata kaki secara mutlak, baik karena sombong atau tidak.
Berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
نعم الرجل خريم الأسدي لولا طول جمته وإسبال إزاره
Artinya: “Sebaik-baik lelaki adalah Kharim al-Asadi Andai saja ia tidak memanjangkan jummahnya (rambut pada pundaknya) dan tidak melakukan isbal pada sarungnya.” [6]
Kedua, Ketika menegur sebagian sahâbat agar mengangkat sarung mereka di atas mata kaki, Rasulullah tidak pernah bertanya kepada mereka terlebih dahulu, “Apakah kau melakukannya karena sombong atau tidak? Kalau kau melakukannya karena sombong maka angkat, kalau tidak karena sombong maka tidak usah angkat.”
Kesombongan adalah masalah hati. Adapun Rasulullah ketika menegur para sahabat yang berbuat isbal untuk mengangkat kainnya sampai di atas mata kaki tidak pernah menanyakan masalah kesombongan ini kepada mereka. Siapa saja ditegur oleh Rasulullah, padahal para sahabat adalah generasi terbaik yang jauh dari sifat kesombongan.
Ketiga, Kisah ‘Umar menjelang meninggal dunia.
Menjelang meninggal dunianya, seorang pemuda datang menemui dan memuji ‘Umar bin al-Khaththab. Ketika pemuda tersebut beranjak pergi, ‘Umar bin al-Khaththab memanggilnya kembali. Kemudian ‘Umar berkata kepadanya,
ارفع ثوبك فإنه أنقى لثوبك وأتقى لربك
Artinya: “Angkatlah pakaianmu! Sesungguhnya (tidak isbal) itu lebih bersih bagi pakaianmu dan lebih dekat kepada ketakwaan kepada Rabbmu.” [7]
Perhatikan perkataan “Umar bin al-Khaththab di atas! ‘Umar bin al-Khaththab tidak bertanya, “Apakah engkau melakukannya dengan sombong atau tidak?” Akan tetapi ‘Umar bin Khaththab langsung memerintahkan pemuda itu untuk mengangkat pakaiannya.
Ibnu Abdil Barr Rahimahullah berkata: “Termasuk riwayat yang paling mengena tentang hal ini, apa yang diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyaiynah dari Husain dari ‘Amr bin Maimun berkata, Tatkala Umar ditikam, manusia berdatangan menjenguk beliau. Di antara pembesuk, seorang pemuda dari Quraisy. la memberi salam kepada Umar. (Begitu hendak bergegas pergi) Umar melihat sarung pemuda tersebut dalam keadaan isbal, maka spontan beliau memanggilnya kembali dan berkata, ‘Angkat pakaianmu karena hal itu lebih bersih bagi pakaianmu dan lebih dekat kepada ketakwaan kepada Rabbmu. ‘Amr bin Maimun berkomentar, ‘Kondisi Umar (yang tengah kritis) tidak menghalanginya untuk menyuruh anak muda tadi agar mentaati Allah.”
Referensi:
Diringkas oleh Nurul Latifah
Dari”KITABUL JAMI’”, penjelasan hadits-hadits adab dan akhlak. Karya Al-Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc., M.A. Ustadz Firanda Andirja Office.
[1] HR. Bukhori dan Muslim
[2] HR. Muslim
[3] HR. Bukhori
[4] HR. Ahmad dan Abu Dawud, dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Arnauth
[5] HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
[6] HR. Ahmad
[7] HR. Bukhori
BACA JUGA :
Leave a Reply