40 Hadits Pilihan Pembentuk Karakter Muslimah (Bagian 1)

40 hadits pilihan pembentuk karakter muslimah 01

40 Hadits Pilihan Pembentuk Karakter Muslimah –

HADIST KE-1 :

Dari Abu Hurairah, dia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنْ كَسْبِ الْإِمَاءِ.

“Rasulullah melarang (memakan) dari hasil mempekerjakan budak wanita (prostitusi)2. “3

Dan dari Abu Mas’ud al-Badri, dia berkata,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ.

“Bahwasanya Rasulullah melarang (memakan) dari hasil menjual anjing dan mahar pelacur serta upah dukun.”

Penjelasan

Al-Hafizh حاش berkata dalam Kitab al-Fath pada Bab Kasb al-Baghiy wa al-Ima”, “الى dengan huruf ba difathah dan huruf ghain dikasrah dan huruf ya` ditasydidkan, seperti wazan فَعِيل yang berarti pelakunya atau obyeknya,yang maknanya adalah perempuan pezina.” Beliau berkata juga dalam Bab Tsaman al-Kalbi, “Bentuk jamak- nya (plural) dari kata اَلْبَغِيُّ adalah بَغَايَا artinya, zina dan perbuatan keji. Arti asal dari kata الْغَاءُ adalah mencari, namun kata tersebut banyak dipakai untuk (mengung- kapkan) kerusakan.”

Adapun مَهْرُ الْبَغِي adalah upah yang diperoleh pelacur dari hasil zinanya.

Al-Khaththabi dalam Ma’alim as-Sunan berkata pada juz 3, hal. 103, “Dahulu penduduk Makkah dan Madinah mempunyai budak-budak perempuan yang menang- gung kewajiban memberikan pajak, mereka bekerja pada orang lain; ada yang membuat roti, mengambil air, dan melakukan pekerjaan lainnya. Kemudian, mereka harus membayar upeti (pajak) tersebut kepada majikan-majikan mereka. Apabila para budak perempuan terjun pada pekerjaan semacam itu dan mengerahkan kemampuan mereka, dalam keadaan mereka keluar rumah dan menanggung kewajiban membayar pajak pada majikannya, maka mereka atau sebagian dari mereka tidak bisa di- jamin terhindar dari perbuatan keji dan mencari nafkah dengan cara melacur. Maka Rasulullah memerintahkan untuk menghindarkan diri dari memakan hasil pe kerjaan mereka dan ketika bentuk pekerjaan mereka ini tidak jelas, maka tindakan (memakan dari hasil mem pekerjakan budak-budak perempuan itu lebih dilarangdan lebih dibenci.

Asy-Syaukani dalam Nail al-Authar berkata pada juz 7, hal. 384 “كَسْبُ الْبَغِي adalah upah yang diperoleh pelacur dari hasil zinanya, dan para ulama sepakat tentang haramnya hal tersebut.”

Ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam berkata pada juz 2, hal. 458, “Hukum asal an-Nahyu (larangan) adalah haram,” hingga dia berkata, “Yang kedua adalah, haram- nya mahar (upah) pelacur, yaitu sesuatu yang diperoleh pelacur sebagai imbalan zina. Nabi menamakannya mahar sebagai bentuk kiasan, maka harta tersebut adalah haram. Para ahli fikih memiliki perincian hukumnya yang semuanya kembali kepada bagaimana cara ia memperoleh harta tersebut.

Dan yang dipilih (dirajihkan) Imam Ibnul Qayyim حان adalah bahwa upah tersebut dengan semua cara untuk mendapatkannya itu harus disedekahkan dan tidak di- kembalikan kepada yang memberinya, karena ia memberi nya dengan suka rela sebagai imbalan pengganti, tidak boleh orang yang membayarnya tersebut minta dikembalikan. Jadi upah tersebut adalah hasil mencari nafkah yang kotor yang wajib disedekahkan. Pelaku kemaksiatan tidak boleh ditolong dengan memberikan keinginannya, serta mengembalikan hartanya.

HADITS KE-2

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, dia berkata

, قَالَتِ امْرَأَةٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا كُلَّ عَلَى آبَائِنَا وَأَبْنَائِنَا وَأَزْوَاجِنَا، فَمَا يَحِلُّ لَنَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ؟ فَقَالَ: الرَّطْبُ تَأْكُلْنَهُ وَتُهْدِينَهُ.

“Seorang perempuan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kami kaum lemah yang bergantung kepada bapak-bapak kami, anak-anak kami, dan para suami kami, apa yang boleh kami gunakan dari harta-harta mereka (tanpa seizin dari mereka)?” Beliau bersabda, “Makanan basah yang kalian boleh memakan dan menghadiahkannya.” (Diriwayat- kan oleh Abu Dawud).

Penjelasan

Imam al-Khaththabi berkata dalam kitabnya Ma’alim as-Sunan pada juz 2, hal. 79, “Dikhususkannya

4 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1686; dan Hakim, 4/134 dan dia berkata, “Hadits shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim, na- mun keduanya tidak meriwayatkannya”, dan adz-Dzahabi menyepakatinya.

Saya berkata, “Tidak ada yang dipermasalahkan dalam sanad hadits ini kecuali Ziyad bin Jubair, karena dia banyak meriwayatkan hadits dengan cara mursal, namun masih termasuk perawi tsiqat (kredibel), seperti yang dinyatakan Ibnu Hajar dalam Kitab at-Taqrib.”

makanan basah dari jenis makanan lainnya, karena ia lebih mudah basi dan lebih cepat rusak jika dibiarkan begitu saja tanpa dimakan dan bisa jadi berbau busuk dan tidak bisa dimanfaatkan, sehingga menjadi sesuatu yang akan dibuang dan dilempar. Sebaliknya, tidak demikian halnya dengan makanan yang kering, karena dapat ber- tahan lama di dalam penyimpanan dan dapat dimanfaatkan apabila dikeluarkan dan disimpan, sehingga beliau tidak mengizinkan mereka menghabiskannya.

Di antara sesama tetangga dan kerabat telah ber laku kebiasaan saling memberi hadiah buah-buahan dan sayur-mayur segar serta mengirim sebagian masakan matang kepada mereka. Juga memberi oleh-oleh untuk tamu dan orang yang berkunjung kepada mereka apa yang mereka miliki. Maka terjadilah saling memberikan keleluasaan dalam hal ini tanpa harus meminta izin, dan berlaku sesuai dengan adat kebiasaan yang dinyatakan baik pada kondisi sepertinya. Namun aturan ini hanya berlaku untuk orang yang diperkenankan mengurus hartanya dari kalangan bapak dan anak, dan tidak ber laku bagi suami dan istri.

Hal itu karena kondisi hubungan antara bapak dan anak lebih longgar dan tidak butuh perhitungan ekstra teliti dalam mengembangkan harta perserikatan, dalam pembagian di ada antara keduanya. Sedangkan dalam kaitan nafkah antara keduanya, dan hak bagian yangsuami terhadap istrinya, maka ia merupakan pengganti atas bersenang-senang dengannya dan hal tersebut di ukur dengan jumlah tertentu dan memiliki batas maksimal, sehingga dua hal tersebut tidak bisa disamakan. Dan salah satu dari keduanya tidak berhak melakukan se suatu dari hal tersebut kecuali dengan izin pasangannya.

Abu Dawud انت telah memasukkan hadits ini dalam Bab al-Mar’ah Tashaddaga min Baiti Zaujiha (wanita/ istri bersedekah dari rumah suaminya).

Ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam berkata pada juz 2, hal. 279 bahwa Ibnu al-Arabi berkata, “Ulama sa- laf berbeda pendapat dalam masalah tersebut, sebagian dari mereka ada yang membolehkannya dalam sesuatu yang sedikit yang dianggap sepele dan tidak nampak berkurang (setelah diambil). Dan sebagian dari mereka ada yang membolehkan dengan syarat jika suami mengizinkannya, walaupun dengan (ucapan izin) secara global.”

Saya berkata, Sebab perbedaan pendapat ini adalah adanya hadits-hadits yang membolehkan wanita berse- dekah dari harta suaminya, dan hadits-hadits yang melarang hal tersebut. Al-Hafizh al-Iraqi menyampaikan satu perkataan bagus dalam memadukan hadits-hadits yang (tampak) bertentangan tentang tema ini. Seperti hadits Abu Umamah al-Bahili yang ang diriwayatkan at- Tirmidzi dan Ibnu Majah, dia berkata,

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فِي خُطْبَةِ الْوَدَاعِ يَقُوْلُ: لَا تُنْفِقُ الْمَرْأَةُ

شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا فَقِيلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلَا الطَّعَامَ؟ قَالَ: ذُلِكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا.

Saya mendengar Rasulullah bersabda ketika khutbah wada’ (perpisahan), ‘Seorang wanita tidak boleh meng infakkan sesuatu apa pun dari harta suaminya kecuali dengan izin suaminya.’ Dikatakan, ‘Tidak pula makanan wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Itu adalah harta kami yang paling utama.”

Hadits ini melarang kaum wanita menginfakkan harta suaminya tanpa seizinnya. Sedangkan hadits yang sedang kita bicarakan yaitu hadits Sa’ad bin Abi Waqqash,

membolehkan wanita menyedekahkan harta dari rumah suaminya seperti rathb (makanan basah) dan sejenisnya.

Al-Hafizh al-Iraqi berkata, “Cara menggabungkan pengertian dua hadits tersebut, adalah bahwa hal itu berbeda sesuai dengan perbedaan adat istiadat suatu ne- gara, dan sesuai dengan perbedaan kondisi suami terkait dengan berkenan dan tidak berkenannya dia akan hal tersebut. Juga tergantung pada perbedaan kondisi barang yang diinfakkannya; antara barang remeh yang diper kenankan dan jenis barang yang memiliki nilai penting bagi dirinya yang ia tidak mudah memberikannya, dan perbedaan antara makanan yang basah dan mudah rusak jika terlambat dimakan, dengan yang bisa disimpan dan tidak cepat rusak.” Beliau (Imam al-Iraqi) menjadikanperkataan al-Khaththabi sebagai penguat pendapatnya setelah menyampaikan hadits Aisyah yang berbunyi,

إِذَا أَنْفَقَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا غَيْرَ مُفْسِدَ

“Apabila seorang perempuan menafkahkan sesuatu dari rumah suaminya, tanpa membuat kerusakan (dengan ber- lebih-lebihan)….”

Perkataan ini mengarah pada kebiasaan penduduk Hijaz dan penduduk negeri lainnya, bahwa pemilik harta terkadang mengizinkan istri, keluarga dan pembantunya untuk menginfakkan sesuatu yang ada di rumahnya berupa makanan atau lauk-pauk dan sejenisnya. Dia mem berikan kebebasan kepada mereka dalam bersedekah dari hartanya, jika ada orang yang meminta dan tamu yang berkunjung. Maka Nabi Muhammad ﷺ menganjurkan untuk mempertahankan dan membiasakan kebiasaan baik ini serta menjanjikan pahala bagi pelakunya. Namun, bukan berarti seorang istri atau pembantu boleh bertindak sendiri mengambil sesuatu yang tidak di iinkan pemilik harta dan tidak diberikan kebebasan bagi mereka berinfak darinya, bahkan beliau khawatir jika itu dilakukan, maka mereka akan mendapat dosa. Demikian juga ia memperkuat argumentasinya dengan perkataan Ibnu al-Arabi dan al-Mundziri yang akan dibahas nanti. Allahua’lam

Bersambung……

 

Diringkas oleh : Angii Abu Rayyan pegawai ponpes DQH

Referensi : 40 hadits pilihan pembentuk karakter muslimah oleh al ustadz Mansyur Bin Hasan Al-abdullah

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.