Islam adalah agama keteguhan, kesungguhan dan beramal. Ia memerintahkan banyak berbuat kebaikan. Ia memerintahkan supaya semangat dan bersungguh-sunguh di dalam beramal. Dan memerintahkan supaya teguh dan sabar dalam menjalankan ketaatan-ketaatan. Oleh karena itu, seorang muslim dituntut untuk menjadi orang yang kuat di dalam menjalankan agamanya. Nabi bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Seorang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Alloh dari pada mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah dalam mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, memohonlah pertolongan kepada Alloh dan janganlah lemah. Jika kamu ditimpa suatu musibah, janganlah mengatakan “andaikata aku berbuat ini dan itu” tatapi katakanlah “Alloh telah takdirkan dan Dia melakukan apa yang dikehendaiki-Nya” karena ucapan “andaikata” akan membuka perbuatan syetan. (HR Muslim)
Siapakah mukmin yang kuat?
Hadits di atas, disamping menjelaskan seorang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Alloh dari pada seorang mukmin yang lemah, juga menunjukkan siapa yang dimaksud dengan mukmin yang kuat dan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang mukmin.
Syaikh Abdurrohman as-Sa’di mengatakan: “Hadits di atas menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan-keyakinan hati, perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan sebagaimana madzhab Ahlusunah wal Jama’ah. Karena iman ada tujuh puluh cabang lebih: cabang iman yang paling tinggi adalah perkataan laa ilaaha illalloh (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Alloh); cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu di jalan; dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan. Cabang-cabang keimanan ini, baik yang berupa amal-amal lahir maupun amal-amal batin, semuanya termasuk keimanan. Maka barang siapa yang mengamalkan cabang-cabang keimanan tersebut dengan sebenar-benarnya dan menyempurnakan dirinya dengan ilmu yang bermanfaat serta amal sholih. Juga menyempurnakan orang lain dengan saling memerintah berbuat kebenaran dan saling memerintah berbuat kesabaran, maka itulah mukmin yang kuat. Dan barang siapa yang tidak sampai tingkatan tersebut, maka ia adalah mukmin yang lemah”. (Bahjatu Qulubil Abror :28)
Syaikh Utsaimin juga mengatakan: “Mukmin yang kuat: yakni kuat di dalam keimanannya, bukan maksudnya kuat di dalam badannya. Karena kekuatan badan akan membahayakan manusia apabila digunakan untuk bermaksiat kepada Alloh. Kekuatan badan itu sendiri tidak terpuji dan tidak tercela pada asalnya. Apabila kekutan tersebut digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat di dunia dan akhirat, maka menjadi terpuji. Tetapi apabila digunakan untuk bermaksiat kepada Alloh, maka menjadi tercela.
Jadi maksud “al-mu’minul qowiyyu” (seorang mukmin yang kuat) di dalam sabda Nabi adalah kuat di dalam keimanannya karena kata “qowiyyu” yang berarti kuat tersebut kembali kepada sifat yang ada pada kata sebelumnya yaitu sifat keimanan yang terdapat pada kata “al-mu’minu”. Seperti kamu mengatakan “ar-rojulul qowiyyu” yang berarti seorang laki-laki yang kuat. Artnya kuat di dalam sifat kelaki-lakiannya. Seperti itulah “al-mu’minul qowiyyu” artinya kuat di dalam keimanannya. Karena orang mukmin yang kuat di dalam keimanannya, keimannannya akan membawanya untuk melaksanakan perbuatan yang wajib dan menambah dengan yang sunah. Sedangkan orang yang lemah keimanannya karena kelemahan keimanannya tidak terdorong untuk melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang haram. Maka ia sangat kurang di dalam beramal. (Syarah Riyadhusholihin : 1:119 )
Dengan demikian, kuat dan lemahnya seorang mukmin tidak dilihat dari besar dan kuatnya badan. Tetapi diukur dari sejauhmana ia di dalam menjalankan perintah-perintah agama dan menjauhi larangan-larangannya. Meskipun badannya besar dan kuat tetapi tidak melaksanakan agama secara utuh, maka ia seorang yang lemah. Walaupun badanya kurus tetapi mampu melaksanakan agama secara sempurna, maka ia seorang yang kuat. Tetapi yang perlu diingat, asal keduanya beriman kepada Alloh, maka tetap mendapatkan predikat kebaikan.
Beginilah seharusnya menjadi seorang mukmin!
Ada empat golongan manusia, yaitu: pertama, orang yang malas beribadah dan malas bekerja; kedua, orang yang semangat bekerja tetapi malas beribadah; ketiga, orang yang semangat beribadah tetapi malas bekerja; dan keempat, orang yang semangat beribadah dan semangat bekerja. Sifat golongan yang keempat inilah yang terdapat pada seorang mukmin. Karena ia melaksanakan wasiat Rasululloh :
Bersemangatlah dalam mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu
(HR Muslim)
Syaikh Abdurahman as-Sa’di berkata: “Perkara yang bermanfaat ada dua macam: perkara agama dan perkara dunia. Seorang hamba membutuhkan dunia sebagaimana ia membutuhkan agama. Dan kebahagiaan dan taufiknya pun tergantung kepada semangat dan kesungguhannya dalam mendapatkan perkara-perkara yang bermanfaat tersebut dengan memohon pertolongan kepada Alloh. Seorang hamba yang bersemangat dan bersungguh-sungguh, menempuh jalan usaha serta memohon kepada Alloh di dalam mendapatnya, akan mendapatkan kesempurnaan dan keberuntungan. Tetapi apabila tidak terpenuhi salah satu di antara tiga perkara tersebut, maka ia tidak mendapatkan kebaikan sesuai dengan perkara yang hilang daripadanya. Barang siapa yang tidak bersemangat dan malas dalam perkara yang bermanfaat, maka ia tidak mendapatkan apa-apa. Malas adalah pangkal kerugian dan kegagalan. Orang yang malas tidak memperoleh kebaikan, kemulyaan dan keberuntungan agama dan dunia. Dan barang siapa bersemangat tetapi bukan pada perkara yang bermanfaat tetapi pada perkara yang berbahaya atau mengurangi kesempurnaan, maka hasilnya adalah kerugian dan hilangnya kebaikan serta terjadinya keburukan dan bahaya. Betapa banyak orang yang bersemangat dalam menempuh jalan untuk meraih sesuatu yang tidak bermanfaat, mereka tidak memperoleh kecuali kelelahan, kepayahan dan kebinasaan.
Kemudian apabila seorang hamba telah menempuh jalan untuk meraih perkara yang bermanfaat serta bersemangat dan bersungguh-sungguh di dalam mengusahakannya, maka tidak sempurna kecuali dengan bersandar dan memohon pertolongan kepada Alloh dalam mendapatkannya. Tidak bersandar pada diri dan kekuatannya tetapi bersandar secara sempurna lahir dan batin kepada-Nya. Sehingga kesulitan-kesulitan menjadi mudah, urusan-urusan menjadi gampang serta membuahkan hasil yang baik dan sempurna baik dalam perkara agama maupun dunia. (Bahjatu Qulubil Abror : 29-30)
Perkara yang bermanfaat di dalam Agama
Perkara yang bermanfaat di dalam Agama adalah perkara yang kembali kepada dua hal, yaitu: ilmu yang bermanfaat dan amal sholih.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mensucikan hati dan ruh serta membuahkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Yaitu ilmu yang dibawa Nabi yang berupa hadits, tafsir dan fikih. Termasuk ilmu yang membantu untuk memahaminya, yakni ilmu bahasa arab. Cara seseorang dalam mempelajarinya menyesuaikan waktu dan tempat. Hal ini berbeda-beda tergantung pada keadaan. Sebagai gambaran sederhananya, seseorang bersungguh-sungguh dalam menghafalkan dasar-dasar ilmu yang dipelajarinya. Jika tidak bisa atau sulit menghafalnya bisa dengan membacanya berulang-ulang dengan merenungi maknanya sehingga tertanam di dalam hatinya. Setelah itu, baru mempelajari tahapan berikutnya yang merupakan penjelasan dan pengembangan dasar-dasar tersebut. Karena seseorang, apabila menghafal dan menguasai dasar-dasar suatu ilmu, akan mudah baginya untuk mempelajari semua kitab-kitab yang mengembangkan ilmu tersebut, baik yang kecil maupun yang besar. Dan barangsiapa mengabaikaan dasar-dasar suatu ilmu, maka ia tidak akan bisa menguasai ilmu tersebut.
Dan amal sholih adalah amal yang menggabungkan ikhlas dan ittiba’(mengikuti) kepada Rosul. Yaitu mendekatan diri kepada Alloh dengan meyakini apa yang wajib diyakini untuk-Nya yang berupa sifat kesempurnaan dan hak Alloh yang wajib dilaksanakan hamba-Nya yang berupa ibadah kepada-Nya. Juga dengan mensucikan Alloh dari apa yang tidak pantas dengan keagungan-Nya serta mempercayai Alloh dan Rosul-Nya di dalam setiap berita yang diberitakan oleh keduanya berkaitan dengan perkara yang sudah berlalu maupun yang akan terjadi tentang para rosul, kitab-kitab, malaikat-malaikat, keadaan-keadaan akhirat, surga, neraka, pahala, siksa dan lain-lainnya. Kemudian berusaha untuk melakukan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hak-hak Alloh maupun hak-hak makhluk. Lalu menyempurnakannya dengan perbuatan-perbuatan yang sunah terutama sunah muakad pada waktu-waktunya. Hal itu dilaksanakan dengan memohon pertolongan Alloh dan penuh keikhlasan yang tidak tercampuri oleh tujuan-tujuan hawa nafsu. Begitu pula merupakan amal sholih, mendekatkan diri kepada Alloh dengan meninggalkan hal-hal yang diharamkan lebih-lebih sesuatu yang menggiurkan dan disenangi hawa nafsu. Maka seorang hamba mendekatkan diri kepada Robbnya dengan meninggalkan larangan-larangan sebagaimana ia mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-perintah. Kapan saja ia diberi taufik oleh Alloh untuk menempuh jalan ini di dalam beramal dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam melaksanakannya, maka akan menjadi orang yang beruntung dan sukses. Kesempurnaanya tergantung pada amal-amal yang ia kerjakan dan kekurangnya tergantung pada amal-amal yang ia tinggalkan.
Perkara yang bermanfaat di dalam Dunia
Seorang hamba harus mencari rejeki. Dianjurkan untuk melakukan pekerjaan yang sesuai dengan keadaannya. Dalam hal ini manusia berbeda-beda. Di dalam bekerja hendaknya seorang hamba bertujuan supaya bisa memenuhi kewajiban terhadap dirinya dan keluarganya. Juga berniat supaya tidak meminta-minta dan bergantung pada orang lain. Di samping itu, berniat agar bisa menunaikan ibadah-ibadah maliyah (ibadah-ibadah yang dilakukan dengan harta) seperti zakat, shodaqah dan infak yang bersifat khusus maupun umum. Hendaknya dia memilih pekerjaan yang baik dan halal, bukan yang buruk dan haram. Nah, apabila seorang hamba usahanya di dunia untuk mencapai tujuan-tujuan yang mulia ini lalu menempuh jalan yang sesuai dengan keadaannya, maka segala gerakan dan apa yang dilakukannya menjadi amal untuk mendekatkan diri kepada Alloh.
Agar usaha yang dilakukannya sempurna, seorang hamba diperintahkan agar tidak bersandar kepada kemampuan, kekuatan, kecerdasan, pengetahun dan kecerdikannya dalam menjalankan usaha. Tetapi hendaknya ia memohon pertolongan, bertawakal dan berharap kepada Alloh supaya diberi kemudahan dan kesuksesan di dalam urusannya. Lalu memohon kepada-Nya agar rejeki yang didapatkanya diberkahi. Berkahnya rejeki yang pertama adalah diperolehnya rejeki dengan dasar ketakwaan dan niat yang baik. Termasuk berkahnya rejeki adalah digunakannya pada perbuatan-perbuatan yang wajib dan sunah. Dan termasuk berkanya rejeki adalah tidak lupa berbuat kebaikan kepada orang lain di dalam mu’amalah. Alloh berfirman:
وَلاَ تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
Dan jangajlah kau melupakan keutamaan di antara kamu
(QS. Al-Baqoroh : 237)
Yaitu dengan cara memberi kemudahan kepada orang yang mampu, memberi tangguh kepada orang yang tidak mampu dan menunjukkan kecintaan ketika melakukan jual beli dengan suatu pemberian besar ataupun kecil. Dengan demikian seorang hamba akan mendapatkan banyak kebaikan.
Bila mendapatkan musibah
Setelah mencurahkan segenap tenaga untuk memperoleh sesuatu yang bermanfaat, bisa jadi di tengah perjalannya ia mendapatkan musibah. Ketika itu, ia dilarang menyadarkan musibah itu kepada sesuatu yang ditinggalkan dan dianggap akan bermanfaat apabila dilakukannya. Tetapi hendaknya ia ridho kepada qodho dan takdir Alloh agar bertambah keimanannya, tenang hatinya dan tentram jiwanya. Karena mengatakan “andaikata aku berbuat ini dan itu” bisa membuka perbuatan syetan dengan berkurangnya keimanan, penentangan kepada takdir dan terbukanya pintu kesedihan dan kesusahan yang akan melemahkan hati.
Rosululloh bersabda:
Jika kamu ditimpa suatu musibah, janganlah mengatakan “andaikata aku berbuat ini dan itu” tatapi katakanlah “Alloh telah takdirkan dan Dia melakukan apa yang dikehendaiki-Nya” karena ucapan “andaikata” akan membuka perbuatan syetan. (HR Muslim)
Keadaan seperti yang ditunjukkan oleh Nabi ini adalah jalan yang paling agung untuk mendapatkan ketenangan hati dan sebab yang paling kuat untuk mendapatkan qona’ah dan kehidupan yang baik. Yaitu semangat dan bersungguh-sungguh dalam mendapatkan perkara yang bermanfaat, memohon pertolongan kepada Alloh, bersyukur atas karunia-Nya dan ridho terhadap takdir bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan-Nya.
Semoga kita diberi kemudahan oleh Alloh untuk mengikuti petunjuk Nabi-Nya dan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Amin.
Referensi:
Riyadhusholihin karya Imam Nawawi, Bahjatu Qulubil Abror karya Syaikh As-Sa’di, Syarah Riyadhusholihin dan syarahnya karya Syaikh Utsaimin dan lain-lain.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 03 Tahun 02
Leave a Reply