100 Persen Gaji Suami Apakah Harus Diberikan Kepada Istri?

100 Persen Gaji Suami Apakah Harus Diberikan Kepada Istri?

100 PERSEN GAJI SUAMI APAKAH HARUS DIBERIKAN KEPADA ISTRI?

SOAL NOMOR 10

Assalamualaikum. Apa gaji suami, setiap bulan harus diberikan kepada istri 100 % ustad, kalau suami butuh minta sama istri?

Abdullah

JAWABAN

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah. Alhamdulillah washshalatu wassalam ‘ala Rasulillah.

Di dalam Islam, harta suami terpisah dari harta istri. Harta suami adalah harta suami dan harta istri adalah harta istri. Untuk harta gabungan yang dimiliki oleh suami dan istri, maka harus ditentukan persentasi kepemilikannya, sehingga tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari, misalkan: 40%-60%, 60%-40%, 30%-70% dan seterusnya.

Di saat suami-istri tidak bisa menentukan persentasi kepemilikan suatu barang dan mereka mengakui bahwa barang tersebut adalah dari usaha bersama dan berpenghasilan yang sama, maka persentasinya menjadi 50%-50% untuk menyelesaikan perselisihan.

Seorang istri tidak boleh menguasai harta suami, begitu pula sebaliknya. Tetapi seorang suami boleh memberikan saran terhadap penggunaan harta istri, tanpa harus memaksanya, begitu pula sebaliknya.

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan hal ini, di antaranya adalah sebagai berikut:

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mahar kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An-Nisa’ : 4)

Di dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa mahar itu adalah milik istri, dan pada asalnya suami tidak boleh mengambilnya. Akan tetapi, jika istri memberikan sebagian hartanya kepada suaminya, maka suaminya boleh menerimanya. Ini sangat jelas menunjukkan ada pemisahan harta antara suami dan istri.

Begitu pula di dalam hadits:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهْوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Hindun bertanya, “Ya Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang pelit dan dia tidak memberikan apa yang bisa mencukupiku dan juga anakku, kecuali yang aku ambil dari hartanya sedangkan dia tidak mengetahuinya.” Beliau pun berkata, “Ambillah apa yang mencukupimu dan juga anakmu dengan jalan yang makruf.”[1]

Pada hadits ini, kita bisa mengetahui bahwa Hindun benar-benar menjaga harta suaminya, tetapi ketika suaminya tidak memberikan nafkah yang harus suaminya keluarkan, maka dia pun mengambilnya dari harta suaminya, tetapi tetap dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sebanyak nafkah wajib saja. Besaran nafkah adalah sesuai dengan batasan yang dianggap sebagai nafkah dalam adat suatu kaum.

Sebagian daerah memiliki adat, bahwa yang mengatur seluruh keuangan adalah istri, dan suami hanya bisa mengusulkan. Ketika istri menyetujuinya maka istri memberikannya kepada suaminya, dan ketika istri tidak menyetujuinya maka istri menahannya.

Di dalam syariat kita, jika suatu adat menyelisihi syariat Islam maka kita harus mendahulukan syariat, karena dalam kenyataannya, ada sebagian adat bertentangan dengan syariat.

Akan tetapi, jika suami ingin menitipkan hartanya 100% atau sebagian besar hartanya ke istri, maka tugas istri adalah menjaga harta suaminya dan bertugas sebagai bendahara harta suaminya. Yang menentukan pengeluarannya adalah suami. Sebagamana dalam hadits berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن سَلامٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، قَالَ: خَيْرُ النِّسَاءِ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكِ.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Salam radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik wanita adalah yang membuatmu senang jika engkau melihatnya, yang menaatimu ketika engkau memerintahkannya dan yang ketika engkau tidak ada, dia menjaga dirinya (dari perselingkuhan) dan (menjaga) hartamu.”[2]

Terdapat pengecualian bagi istri, jika dia ingin menginfakkan atau menghadiahkan dari harta suami, dan suami dalam kebiasaannya pasti mengizinkan infak atau hadiah tersebut, maka hal tersebut boleh dilakukan oleh istri dan ini termasuk ke dalam tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Hal ini sebagaimana pada hadits berikut:

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ -صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ-: إِذَا أَطْعَمَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ، كَانَ لَهَا أَجْرُهَا، وَلَهُ مِثْلُهُ بِمَا اكْتَسَبَ، وَلَهَا بِمَا أَنْفَقَتْ، وَلِلْخَازِنِ مِثْلُ ذَلِكَ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang istri memberi makan (bersedekah) dari rumah suaminya dan (makanan itu) bukanlah makanan yang basi, maka dia mendapatkan pahala dan juga untuknya (suaminya) mendapatkannya juga semisalnya sesuai apa yang dia peroleh, dan dia (istrinya) mendapatkan sesuai dengan apa yang dia infakkan. Untuk orang yang menyimpankannya (untuk disalurkan nantinya) seperti itu juga, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun.”[3]

Jika tidak ada kebiasaan seperti itu, misalkan suaminya dikenal sebagai orang yang sangat pelit, maka hukumnya kembali kepada hukum asal di atas, yaitu istri harus tetap izin dulu kepada suaminya, sebagaimana dalam hadits berikut:

عن أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ -صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ- يَقُولُ: لاَ تُنْفِقُ الْمَرْأَةُ مِنْ بَيْتِهَا شَيْئًا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَلاَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: ذَلِكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا.

Diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang istri menginfakkan sesuatu dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya!” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah! Bagaimana dengan makanan?” Beliau menjawab, “Itu adalah sebaik-baik harta kita.”[4]

Begitu pula jika suami tidak memberikan nafkah yang wajar kepada istri dan orang yang ditanggungnya, maka istri boleh mengambil harta suaminya untuk memenuhi kewajiban suami tersebut, sebagaimana hadits ‘Aisyah tentang Hindun di atas.

Karena adat yang sudah menyebar, mungkin sebagian kaum menolak atau tidak setuju dengan apa yang disampaikan di atas, tetapi kita ingatkan bahwa syariat Islam sudah mengatur segala aspek kehidupan manusia. Jika harta suami terpisah dengan harta istri, dan harta gabungan pun sudah diketahui persentasinya, maka ini akan memudahkan untuk hal-hal sebagai berikut:

  1. Perhitungan waris, jika salah satunya meninggal dunia
  2. Pemisahan harta suami-istri, jika terjadi perceraian
  3. Pengambilan nafkah untuk istri, anak-anak dan orang-orang yang ditanggung oleh suami, sehingga istri tidak merasa hartanya diambil oleh suaminya untuk nafkah tersebut
  4. Penggunaan harta istri jika dia ingin memiliki sesuatu yang itu menjadi hak miliknya dan lain-lain.

Dan yang sangat kita sayangkan, dengan adanya penyerahan 100% harta suami atau sebagian besarnya ke istri menimbulkan hal-hal yang tidak baik sebagai berikut:

  1. Keributan dalam perhitungan waris ketika salah satunya meninggal
  2. Keributan dalam perhitungan pembagian harta ketika terjadi perceraian
  3. Salah satu dari suami atau istri merasa terzalimi dengan pasangannya, misalkan: istri merasa terzalimi karena uang nafkah harus memakai hartanya juga, dan suami merasa terzalimi karena tidak bisa mengeluarkan harta untuk kemaslahatannya dan kemaslahatan orang yang ditanggungnya dan lain-lain. Betapa banyak permasalahan terjadi karena ini.
  4. Meningkatnya angka para suami yang takut kepada istrinya, bahkan sampai seperti tidak memiliki harga diri di hadapan istrinya. Padahal dalam Islam suami adalah pemimpin dalam rumah tangga, dan masih banyak dampak negati lainnya.
  5. Meningkatnya angka perceraian karena sering terjadi keributan akibat perselisihan masalah harta.

Memang kita katakan, ada dampak positif ketika sang istri memegang harta suaminya, seperti: suaminya semakin kecil kemungkinannya untuk berzina, suaminya semakin tidak membeli barang-barang yang tidak bermanfaat, suaminya tidak berlaku boros dan lain-lain. Akan tetapi, semua permasalahan itu bisa diselesaikan jika suaminya adalah suami yang saleh. Dan bukan berarti setiap istri bisa amanah memegang harta suaminya. Banyak sekali kejadian sang istri justru berlaku boros, berfoya-foya dengan harta suaminya, padahal suaminya telah membanting tulang untuk mencari harta.

Oleh karena itu, kami nasihatkan terutama untuk para bujang dan gadis, agar berusaha untuk memilih pasangan yang saleh/salehah dan berakhlak mulia, sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah yang bertentangan dengan syariat Islam.

Wallahu a’lam bishhawab. Billahittaufiq.

Dijawab oleh:

Ust. Said Yai Ardiansyah, M.A.

  • Direktur Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur
  • Ketua Yayasan Kunci Kebaikan OKU Timur
  • S1 Alumnus Universitas Islam Madinah, KSA
  • Ustadz Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia Korwil Palembang dan OKU

[1] HR Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714.

[2] HR Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, XVIII/440. Hadits ini memiliki Syahid dari Abu Hurairah dalam riwayat Al-Bazzar dan Ath-Thayalisi dalam Musnad keduanya. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini shahih dalam Shahih Al-Jami’ no.  no. 3299.

[3] HR Al-Bukhari no. 1440 dan Muslim no. 1024.

[4] HR. Ibnu Majah no. 2295. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini hasan dalam Shahih Ibni Majah.

Baca juga artikel:

Muroqobah Adalah Amalan Terbaik

Bertakwa Kepada Allah

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.