Husnudzon Kepada Alloh

Oleh : Ust. Hizbul Majid

Husnudzon (berprasangka baik) kepada Alloh Tabaraka Wata’ala adalah bagian dari ibadah hati yang sangat agung. Ia memiliki pengaruh positif terhadap seorang hamba baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Karena kebutuhan hamba kepada Alloh Tabaraka Wata’ala dalam segala keadaannya, maka berhusnudzon kepada Alloh Tabaraka Wata’ala adalah salah satu karakter orang-orang yang beriman. Firman Alloh Subhanahu wa ta’ala:

وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“ …. dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqoroh:195)

Berkata Sufyan Ats-Tsauri ketika menjelaskan ayat diatas,

أَيْ أَحْسِنُوْا بِاللهِ تَعَالَى الظَّنَّ

“Artinya, berbaik sangkalah kalian kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala.”[1]

Husnudzon kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala adalah meyakini nama, sifat dan perbuatan Alloh Subhanahu wa ta’ala sesuai keagungan-Nya. Misalnya, meyakini bahwa Alloh l merahmati semua hamba-Nya dan memaafkan mereka jika mereka bertaubat dan kembali kepada-Nya. Alloh Subhanahu wa ta’ala akan menerima amal ketaatan dan ibadah mereka. Serta meyakini, Alloh Subhanahu wa ta’ala mempunyai hikmah yang sempurna dalam setiap yang Dia takdirkan dan tentukan.

Bukanlah husnudzon kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala, orang yang merasa husnudzon kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala tetapi tidak mengiringinya dengan amal kebaikan apapun. Juga berarti ia tidak memahami ibadah yang agung ini dengan pemahaman yang benar. Karena husnudzon tidak tegak dengan meninggalkan kewajiban-kewajiban dan menjalankan kemaksiatan-kemaksiatan. Maka siapa yang berprasangka baik kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala semacam itu, ia telah tertipu, berharap yang salah, berpaham murji’ah yang tercela, serta merasa aman dari siksa Alloh Subhanahu wa ta’ala. Semua ini tercela dan membinasakan dirinya sendiri.

Berkata Al-Hasan Al-Bashri (tentang orang-orang yang hanya berpangku tangan dengan alasan husnudzon kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala),

كَذَبُوْا وَاللهِ، لَوْ أَحْسَنُوْا الظَّنَّ بِاللهِ لَأَحْسَنُوا الْعَمَلَ

“Mereka berdusta, demi Alloh, seandainya mereka benar-benar husnudzon kepada Alloh Tabaraka Wata’ala pastilah mereka akan beramal.”[2]

Ibnul Qoyyim berkata,”Perbedaan antara husnudzon dengan ghurur (terpedaya) sangatlah jelas. Husnudzon yang benar ialah jika ia membawa, mendorong, membantu dan menggiring kepada amal kebaikan. Sedangkan ghurur ialah jika ia membawa kepada kemalasan beramal dan berkubang dengan kemaksiatan. Husnudzon adalah roja’ (pengharapan). Maka siapa yang pengharapannya mendorongnya kepada ketaatan dan menjauhkannya dari kemaksiatan, maka ia pengharapan yang benar. Sedangkan siapa yang kemalasannya adalah pengharapannya dan pengharapannya adalah kemalasannya serta mengabaikan amal keabaikan, maka ia orang yang terpedaya.”[3]

Syaikh Sholih al-Fauzan berkata, “Berhusnudzon kepada Alloh Tabaraka Wata’ala harus disertai dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat. Jika tidak, maka itu termasuk merasa aman dari siksa Alloh Tabaraka Wata’ala. Oleh sebab itu, behusnudzon kepada Alloh Tabaraka Wata’ala harus disertai dengan melaksanakan sebab-sebab kebaikan yang jelas dan mejauhi semua sebab yang menghantarkan kepada keburukan. Inilah pengharapan yang terpuji. Adapun husnudzon kepada Alloh Tabaraka Wata’ala dengan meninggalkan perkara yang wajib dan menerjang perkara yang haram, maka ia pengharapan yang tercela, maka itu termasuk bentuk merasa aman dari adzab Alloh Tabaraka Wata’ala.”[4]

Oleh karena itu diantara do’a yang dipanjatkan oleh Sa’id bin Jubair –salah seorang tabi’in-,

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ صِدْقَ التَّوَكُّلِ عَلَيْكَ، وَحُسْنَ الظَّنِّ بِكَ

“Ya Alloh, sesungguhnya aku memohon kejujuran dalam bertawakkal kepada-Mu, serta kebaikan dalam berhusnudzon kepada-Mu.”[5]

Merealisasikan husnudzon kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala

Ada beberapa kondisi dimana setiap muslim senantiasa meningkatkan husnudzonnya kepada Alloh l dan yang terpenting adalah dalam dua kondisi:

Pertama: Saat dia menjalankan ketaatan. Diriwayatkan dari Abu Huroiroh, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

Aku sesuai persangkan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang, maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta. Jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa. Dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.[6]

Berdasarkan hadits di atas, husnudzon kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala memiliki hubungan kuat dengan amal sholih. Karena sesudahnya disebutkan anjuran untuk berdzikir dan mendekatkan diri dengan amal ketaatan kepada-Nya. Maka siapa yang berprasangka baik kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala pasti ia terdorong untuk berbuat baik.

Al-Hasan al-Bashri berkata,”Sesungguhnya seorang mukmin selalu berhusnudzon kepada Robbnya, maka ia memperbagus amalnya. Dan sesungguhnya seorang pendosa berpesangka buruk kepada Robbnya sehingga ia berbuat buruk.” [7]

Kemudian Ibnul Qoyyim menjelaskan, siapa yang memperhatikan persoalan ini dengan benar, maka ia akan mengetahui bahwa husnudzon kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala adalah baiknya amal itu sendiri. Karena seorang hamba terdorong menjalankan amal baik karena ia berprasangka bahwa Robbnya akan memberi balasan dan pahala atas semua amal-amal baiknya, serta menerimanya. Husnudzon-lah yang mendorongnya beramal sholih. Maka jika prasangkanya baik, baik pula amalnya. Jika tidak, husnudzon bersamaan dengan mengikuti hawa nafsu, maka itu adalah kelemahan.

Ringkasnya, husnudzon pasti disertai dengan menjalankan sebab-sebab menuju keselamatan. Sebaliknya, jika menjalankan sebab-sebab kehancuran, pasti ia tidak berhusnudzon. (Disarikan dari al-Jawab al-Kâfi: 13-15)

Abu al-Abbas al-Qurthubi  berkata, “Dikatakan yang maknanya: berprasangka (yakin) dikabulkan doa saat berdoa, diterima saat bertaubat, diampuni saat istighfar, dan berprasangka akan diterima amal-amal saat menjalankannya sesuai dengan syarat-syaratnya. Ia berpegang teguh dengan Dzat yang janji-Nya benar dan karunia-Nya melimpah. Aku mengatakan, “Hal ini dikuatkan oleh Sabda Rosululloh n,

ادْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإجَابَةِ

Berdoalah kepada Alloh sementara kalian merasa yakin akan dikabulkan.” (HR. Al-Tirmidi dengan sanad shohih).

Bagi orang yang bertaubat dan beristighfar, juga orang yang beramal agar bersungguh-sungguh dalam menjalankan niat baiknya dengan disertai keyakinan bahwa Alloh Subhanahu wa ta’ala akan menerima amalnya dan mengampuni dosanya. Karena Alloh Subhanahu wa ta’ala telah berjanji akan menerima taubat yang benar dan amal-amal yang sholih. Seandainya ia menjalankan amal-amal tersebut dengan keyakinan atau prasangka bahwa Alloh tidak akan menerimanya dan amal-amal tersebut tak memberikan manfaat baginya, itu namanya putus asa dari rahmat Alloh Subhanahu wa ta’ala. Sedangkan berputus asa dari rahmat Alloh Subhanahu wa ta’ala termasuk dosa besar. Barang siapa meninggal di atasnya, maka ia akan mendapatkan apa yang diprasangkakannya. Adapun merasa mendapat ampunan dan rahmat dengan mengerjakan maksiat-maksiat, maka hal itu adalah kejahilan dan tertipu. Mereka itulah yang akan masuk dalam jeratan paham murji-ah.

Kedua: Saat tertimpa musibah dan menghadapi kematian. Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda tiga hari menjelang wafatnya,

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللهِ الظَّنَّ

Janganlah salah seorang kalian meninggal dunia kecuali ia berhusnudzon kepada Alloh.” (HR. Muslim)

Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah (10/220) disebutkan, wajib atas seorang mukmin berprasangka baik kepada Alloh. Tempat yang lebih banyak diwajibkan berhusnudzon kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala: Saat tertimpa musibah dan saat kematian. Dianjurkan berhusnudzon kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala bagi orang yang menghadapi kematian. Terus memperbagus prasangka kepada Alloh dan meningkatkannya walaupun itu terasa berat saat menghadapi kematian dan sakit. Karena seharusnya seorang mukallaf senantiasa husnudzon kepada Alloh.

Jauhi Prasangka Buruk Kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala

Sikap berburuk sangka merupakan sikap orang-orang jahiliyah, yang merupakan bentuk kekufuran yang dapat menghilangkan atau mengurangi tauhid seseorang. Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الأمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لا يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Alloh seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Alloh.’ Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’ Katakanlah: ‘Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.’ Dan Alloh (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Alloh Maha Mengetahui isi hati.” (Ali-Imran: 154)

Perlu untuk kita ketahui bersama, berprasangka buruk kepada Alloh dapat terjadi pada tiga hal, yaitu:

  1. Berprasangka bahwa Alloh Subhanahu wa ta’ala akan melestarikan kebatilan dan menumbangkan al haq (kebenaran). Hal ini sebagaimana persangkaan orang-orang musyrik dan orang-orang munafik. Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya,

بَلْ ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ أَبَدًا وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُمْ وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ قَوْمًا بُورًا

“Tetapi kamu menyangka bahwa Rosul dan orang-orang mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya (terbunuh dalam peperangan, pen) dan syaitan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 12)

Perbuatan seperti ini tidak pantas ditujukan kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala karena tidak sesuai dengan hikmah Alloh janji-Nya yang benar. Inilah prasangka orang-orang kafir dan Neraka Wail-lah tempat mereka kembali.

  1. Mengingkari Qodho’ dan Qodar Alloh Subhanahu wa ta’ala yaitu menyatakan bahwa ada sesuatu yang terjadi di alam ini yang di luar kehendak dan taqdir Alloh. Seperti pendapat Sekte Qodariyah.
  2. Mengingkari adanya hikmah yang sempurna dalam taqdir Alloh Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana pendapat Sekte Jahmiyah dan Sekte Asy’ariyah.

Wallohu a’lam bish showâb.

Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 04 Tahun 04

[1] Tafsir Ats-Tsauri: hal, 59.

[2] Tafsir Abu Su’ud: 2/235.

[3] Al-Jawabul Kaafi: hal, 24.

[4] Al-Muntaqa’ min Fatawa Al-Syaikh al-fauzan: 2/269.

[5] Hilyatul Auliya’: 4/274.

[6] HR. Bukhari dan Muslim.

[7] Diriwayatkan Imam Ahmad dalam al-Zuhd, hal. 402.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.