Ustadz Musthofa Ahmada Lc
Kesedihan, kegundahan dan kecemasan merupakan perasaan yang kadangkala hadir dalam jiwa kita, menyertai hidup ini, di saat hal yang tidak kita inginkan menimpa kita. Dalamnya kesedihan dan kegundahan itu tergantung berat dan ringannya hal yang tidak kita inginkan tersebut. Ada yang bertahun-tahun harus bersabar menahan rasa sakit jasadnya, kangker ganas, liver yang mematikan, tumor, maah kronis, paru-paru, dll. Ditambah lagi dengan biaya yang tidak ringan yang harus ia tanggung. Ada juga yang terpaksa harus berpisah dengan orang–orang yang ia cintai untuk selama-lamanya. Orang-orang yang sangat berarti dalam hidupnya, sebagai penopang keluarga. Di tambah lagi dengan tanggung jawab manunaikan amanah untuk mengasuh dan mendidik anaka gar menjadi penerus yang sholih dan sholihah. Atau harus kehilangan harta benda, yang susah-paya mendapatkannya.
Tak disangka dalam sekejap, begitu cepatnya harta itu musnah, bencana alam datang tak di duga-duga. Ada juga yang sudah bertahun-tahun merasakan begitu berat beban hidup, apa yang ia hasilkan tidak sesuai dengan keringat yang ia cucurkan, tak kenal panasnya terik matahari, tak kenal derasnya air hujan menjatuhi badannya yang sudah tampak lusuh… sehari kadang hanya bisa makan dua kali, dan terkadang harus berpuasa, menahan lapar karena memang tidak ada yang dihasilkan… Dan masih begitu banyak gambaran hidup yang terkadang membuat hati menangis, meskipun mata mampu manahan airnya agar tidak menetes, tapi hati tidak bisa di bohongi…akan ke manakah semua ini akan di curahkan?? Akan ke manakah semua ini akan di adukan?? Jiwa yang besar, hati yang lapang, meyakini, bahwa semua itu adalah salah satu bentuk kekuasaan-Nya. Berasal dari-Nya dan kembali hanya kepadaNya.
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Alloh.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Alloh tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadîd: 22 – 23)
Tapi meskipun keyakinan itu begitu kuat dalam hati, tetap saja ia merasa seolah belum bisa menerima suratan takdir. Saat itu, tolaklah bisikan-bisikan syetan ini. Dengan perasaan rendah diri dihadapan-Nya, mengaku bahwa jiwanya penuh dengan dosa dan kesalahan. Jiwanya masih jauh dari perintah-perintah-Nya, lalai dengan kewajiban taat dan mengabdi hanya kepada-Nya. Bahkan ketika melakukan apa yang menjadi larangan-Nya –yang menjadi penyebab datangnya musibah dan berbagai kesulitan hirup-, saat itu ia merasa seolah tak ada gelisah dan cemas. Teringatlah ia dengan firman-Nya :
“Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Alloh”. Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Alloh, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rosul kepada segenap manusia. dan cukuplah Alloh menjadi saksi.” (QS. An-Nisâ’: 78 – 79)
Hingga membuatnya mau kembali kepada-Nya dengan jiwa penuh dengan penyesalan dan pengakuan akan dosa dan kesalahan-kesalahannya. Dengan keyakinan, bahwa tiada Dzat yang bisa mengilangkan semua penyebab kegundahan dan kegelisahan itu kecuali hanya Dia semata.
“Dan jika Alloh menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan dia sendiri. dan jika dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-An`âm : 17)
“Jika Alloh menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Alloh menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Yûnus: 107 ).
Ia curahkan dan adukan semuanya hanya kepada-Nya…
Demikianlah seharusnya, sebagaimana Alloh menceritakan seorang hamba-Nya yang sholihah, yang bisa dijadikan sabagai suri tauladan bagi banyak manusia. Di saat ia menghadapi kegelisahan dan kegundahan hatinya, ia mendatangi orang alim lagi sholih agar berkenan membantunya untuk mencari jalan keluar dari semua kegundahan dan kegelisahannya, beliaulah Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam . Setelah memohon bantuan dari beliau ia tidak lupa untuk mengadukan itu semua hanya kepada Alloh semata. Wanita sholihah itu adalah Khaulah Binti Tsa`labah. Dituturkan dalam Al-Quran yang artinya:
- “Sesungguhnya Alloh telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Alloh. Dan Alloh mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Alloh Maha mendengar lagi Maha melihat.”(QS. Al-Mujâdalah: 1)
Ia datang kepada Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam untuk menyampaikan apa yang sedang ia hadapi, seraya berkata wahai Rosululloh, bagaimana dengan suamiku ini. Ia sekarang menganggapku seperti ibunya sendiri, setelah ia menghabiskan masa mudaku, setelah aku menjadi tua, setelah aku tidak lagi mampu memberinya putra ( menjadi tradisi orang–orang sebelum Islam, bahwa seorang suami jika mengganggap istrinya seperti ibunya sendiri berarti ia telah menceraikan istrinya.), aku mohon petunjukmu wahai Rosulullah, dan aku mengadu hanya kepada-Mu ya Alloh! Maka turunlah ayat di atas. Ini menggambarkan bagaimana seharusnya seorang hamba ketika sedang menghadapi goncangan dalam hidupnya, tidak ada tempat untuk bertanya kecuali kepada orang–orang alim lagi sholih, dan tidak ada tempat untuk mengadu kecuali hanya kepada-Nya semata.
Tidak hanya satu itu, Allah juga menceritakan hamba-Nya yang lain. Seoarang hamba yang hanya mengadukan kesedihan dan kegelisahannya kepada Alloh semata. Dialah nabi dan utusannya; Ya’qub `alaihissalam :
“Ya’qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Alloh aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Alloh apa yang kamu tiada mengetahuinya.”
Yaitu di saat beliau kehilangan putranya yang paling disenangi, Nabi Yusuf `alaihissalam.
Tidak luput juga, panutan kita yang termulia, Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam senantiasa mengadukan segala permasalahannya hanya kepada-Nya. Saat keluar dari Thoif ketika mengajak mereka untuk meluruskan ibadah mereka hanya kepada Alloh, siksaan dan hinaan yang beliau dapatkan. Dalam doanya,[1] sebuah gambaran bagaimana keprasahan beliau hanya untuk-Nya semata.
“Ya Alloh, hanya kepada-Mu lah aku mengadukan kelemahanku ini, sedikitnya kepawaikanku, hinanya aku di hadapan manusia (orang-orang kafir )! Wahai Dzat yang paling luas kasih sayangnya, Engkaulah Tuhan pelindung orang–orang yang lemah.
Ya Alloh, Engkaulah Tuhanku… Kepada siapa Engkau serahkan jiwa ini?? Apakah kepada yang jauh, orang-orang yang akan bermuka masam kepadaku?! Atau kepada musuh yang Engkau beri kekuasaan untuk menguasaiku?? Aku tidak akan peduli dengan semua itu, asalkan Engkau tidak murka kepadaku. Karena keselamatan darimu begitu luas menyertaiku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu…cahaya wajah-Mu yang mampu menyinari semua kegelapan, hingga perkara dunia dan akhirat menjadi baik..( aku berlindung) dari kemarahan-Mu, dari kemurkaan-Mu. Milik-Mulah keridhoan, hingga Engkau meridhoi…tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari-Mu.[2]
Begitulah diriwayatkan lantunan doa beliau kepada Robbnya. Di saat beliau diusir dan dilempari batu oleh penduduk Thoif. Sebuah kepasrahan dan pengaduan hanya kepada-Nya semata. Seberat apapun bencana dan musibah yang menerpa, tidak membuatnya putus asa. Asalkan ridho dan rahmat-Nya menyertai dalam setiap langkahnya.
“Katakanlah: “Dia-lah Alloh, yang Maha Esa.
Alloh adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS. Al-Ikhlâsh: 1 – 2)
Akankah kita kembali kepada selain-Nya?? berlari dan berlindung kepada selain-Nya?? Semoga Alloh meneguhkan kita untuk hanya kembali kepada-Nya. Amin.
[1] Ar-Rohîqul Makhtûm juz 1 hal 100.
[2] Kisah pengusiran Nabi oleh penduduk Thoif memang ditunjukkan dalam hadits yang shohih. Namun doa yang disitir dalam peristiwa tersebut meskipun populer di tengah masyarakat, namun haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah. (As-Siroh An-Nabawiyyah Ash-Shohîhah –DR. Akram Dhiya juz 1 hal 187)
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 01 Tahun 02
Leave a Reply