Pertanyaan: Boleh tidak mudhorobah (akad bagi hasil) dengan sistem jaminan? Pemodal meminta agunan kepada pengusaha, akad tetap mudhorobah. Kalau rugi tidak ditanggung pemodal. Jaminan untuk jaga-jaga.
Jawab: Alhamdulillah, segala puji bagi Alloh yang telah memberikan kemudahan kepada hambanya dan telah menunjukkan berbagai kemaslahatan kepada mereka.
Syaikh Muhammad bin Sholih Utsaimin rahimahullah pernah ditanya[1]: Apakah syarat mudhorobah?
Jawab beliau: “Syarat mudhorobah dengan harta adalah: (Yang pertama) hendaknya modal diketahui, (yang kedua) hendaknya modal dari mata uang, dirham atau dinar atau mata uang kertas. Karena apabila modal itu berupa barang, maka barang itu nilainya berbeda-beda. Adakalanya di saat akad harganya seribu, dan di saat penyisihan modal bernilai dua ribu atau lima ratus. Oleh karena itu para fuqoha melarang modal berasal dari selain mata uang. Berdasarkan perkataan mereka, maka jika engkau memberikan beberapa mobil kepada seseorang dan mengatakan: “Ini adalah (untuk) mudhorobah,” maka yang demikian itu tidak benar. Karena mobil adakalanya di saat akad harganya seratus ribu, dan ketika pemilahan modal seharga delapan puluh ribu atau dua ratus ribu.
Sebagian ulama mengatakan: “Sesungguhnya diperbolehkan modal mudhorobah berasal dari selain mata uang, akan tetapi disyaratkan nilainya dihitung seperti nilai waktu akad hingga diketahui untung dari ruginya ketika mudhorobah telah terlaksana.” Pendapat ini adalah yang rojih (lebih kuat). Dan itulah yang dilakukan saat ini, orang-orang memberikan tanah lahan untuk mudhorobah, dan mereka memberikan mobil untuk mudhorobah. Akan tetapi harus diperkirakan nilai modal pada saat terjadi akad sebagaimana yang telah engkau dengar.
Syarat yang ketiga: Bagian bagi pekerja bagian dari hak bersama dari keuntungan, artinya: Apabila engkau memberikan kepada pekerja seratus ribu untuk berbisnis maka engkau berikan kepadanya sepertiga, seperempat atau setengah dari keuntungan yang telah kalian sepakati. Jika engkau berikan kepadanya kadar tertentu seperti engkau mengatakan: “Ambillah uang ini dan gunakan untuk berbisnis, engkau berhak mendapatkan seratus riyal,” maka hal ini tidaklah dibenarkan. Karena bisa jadi ia sedikit beruntung, dan bisa jadi beruntung jauh melebihi dari seratus riyal. Maka sahamnya harus bagian dari hak bersama.
Saham bagi orang yang bekerja tersebut juga harus jelas diketahui, tidak sah jika engkau mengatakan: “Ambillah uang ini untuk berbisnis, engkau mendapatkan sebagian keuntungannya.” Hendaknya engkau katakan: “Engkau akan mendapatkan setengah, atau seperempat, seperdelapan atau sepersepuluh dari keuntungan,” dan yang semisal dengannya.
Berdasarkan hal ini, maka jika engkau mengatakan: “Ambillah uang ini untuk berbisnis mobil dan perabotan pecah-belah serta kain. Dan engkau berhak mendapatkan keuntungan bisnis kain, sementara saya mendapatkan keuntungan dari mobil serta barang pecah-belah.” Maka hal ini tidaklah diperbolehkan, karena adakalanya keuntungan ada pada bisnis yang ini dan tidak ada pada bisnis yang satu. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dalam bermuzaro`ah[2], seseorang berakad muzaro`ah dengan orang lain dan berkata: “Engkau akan mendapatkan tanaman bagian timur dan aku mendapatkan bagian barat.” Atau “engkau mendapatkan hasil tanaman sya`ir (jenis gandum) sementara saya mendapatkan hasil tanaman burr (jenis gandum yang lebih baik dari sya`ir),” dan yang semisal dengannya. Hal ini adalah diantara syarat mudhorobah.
Demikian juga jika bisnis mengalami kerugian, maka kerugian tersebut merupakan kerugian pada modal, sementara pekerja tidak dibebani tanggungan sedikitpun. Sehingga jika pemilik modal memberikan kepadanya seratus ribu dengan akad mudhorobah kemudian bisnis mengalami kerugian dan hanya mengembalikan modal sembilan puluh ribu maka pemilik modal tidak boleh membebani pekerja sedikitpun. Hal itu karena kerugian tersebut atas modal dan tidak ada sedikitpun tanggungan bagi pelaku kerja.”
Maka dengan demikian, seseorang yang melakukan kerjasama mudhorobah harus menanggung laba-rugi bersama. Tidak boleh ada yang dirugikan atau di bebani dengan tanggungan. Seandainya kerjasama mudhorobah (bagi hasil) tersebut gagal dan mengalami kerugian, maka sesungguhnya yang merugi tidak hanya pemodal saja, melainkan pengusaha yang bekerja di lapangan pun juga mengalami kerugian. Ia mengalami rugi tenaga, waktu, pemikiran dan lain sebagainya. Dan umumnya seorang pengusaha tidak akan berharap usahanya akan gagal, maka yang ia harapkan adalah keberuntungan yang berlipat-lipat. Dengan demikian kegagalan itu bukan keinginannya dan tidak menjadi tanggungannya, akan tetapi tanggungan bersama, pemodal rugi modal (uang) sementara pelaksana rugi tenaga, waktu, pemikiran, kesempatan mendapat keuntungan dan lain sebagainya. Wallôhu a`lam bishshowâb.
[1] Pertemuan terbuka yang ke 165 bersama Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin di rumah beliau, yang diadakan setiap hari Kamis. Dimulai pada akhir-akhir bulan Syawal, 1412 H dan berakhir pada Hari Kamis 14 Shofar, 1421 H. Sumber: Pelajaran-pelajaran audiu yang diunggah dari http://www.islamweb.net
[2] Pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada seseorang untuk ditanami, baik pengairan dan bibitnya dari pemilik tanah atau dari orang yang mengerjakannya. Dan hasil tanaman dibagi mereka berdua sesuai prosentasi yang disepakati.
Sumber : Majalah Lentera Qolbu Tahun ke-2 Edisi ke-6
Leave a Reply